loading...

Wednesday, April 14, 2021

Istri Istri Muhammad (Ep 1)


Salah satu pernyataan yang senantiasa saya dengar dan semua anak muslim dengar sejak kecil dari para ustadz dan selalu diulang-ulang adalah pernyataan bahwa Muhammad menikahi janda-janda tua yang tidak cantik, dan pernikahan itu bukan untuk pemuas nafsu birahi melainkan untuk mengangkat derajat wanita dan memperkuat persaudaraan.


Diantara pernyataannya adalah sebagai berikut: Rasulullah s.a.w menikahi sebelas orang wanita. Tentu saja hal itu Nabi lakukan bukan untuk menyalurkan nafsu seks, sebab sepuluh diantara sebelas wanita itu nabi nikahi ketika mereka sudah menjanda dan telah tua renta. [Buku Pintar Agama Islam -Syamsul Rijal Hamid- ‘Penebar Salam’, Bogor 2002, halaman 99].


Dan ada lagi pernyataan; Semua wanita yang beliau nikahi tidak lain adalah para janda, yang tidak bisa dikatakan muda, apalagi cantik. Satu-satunya isteri yang dinikahi dalam keadaan perawan hanyalah Aisyah r.a. Meski pada usia yang masih muda, tapi ukuran usia nikah di semua peradaban dunia ini tidak bisa disamakan. [dikutip dari: Jawaban situs Eramuslim]. Jadi menurut pernyataan diatas, istri-istri Muhammad adalah :

• Janda

• Tidak cantik

• Tidak muda (tua renta)

• Bukan untuk pemuas nafsu seks.


Apakah klaim tersebut benar atau tidak, atau hanya kebohongan belaka? Kita akan membahasnya.


Tidak lama setelah kematiah Khadijah, istri pertamanya, Muhammad langsung mengoleksi wanita-wanita (istri dan budak). Hal yang tidak dilakukannya ketika Khadijah masih hidup (ini juga menjadi sebuah pertanyaan besar, kenapa?). Di antara umur 50 sampai 58 tahun, Muhammad memiliki dan mengawini setidaknya tujuh wanita. Umur istri-istrinya mulai dari anak ingusan berumur 6 tahun (Aisyah) hingga wanita 30-an tahun (Hindun). Lebih mengejutkan lagi di usia yang sudah 60 tahun, Muhammad masih mengoleksi istri sebanyak 4 orang dengan umur dari 17 tahun (Safiyah) sampai 35 tahun (Maimunah).


Tulisan ini saya ambil dari berbagai sumber, seperti:


a) Sirah Nabawiyah klasik Ibnu Ishaq/Ibnu Hisyam, Ibnu Sa'ad, Al-Tabari. Dimana sirah ini sudah ditulis sejak abad ke 8-9


b) Muhammad - Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik Martin Lings. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2002. Buku ini telah mendapat penghargaan dari pemerintah Pakistan dan terpilih sebagai biografi Nabi Muhammad yang terbaik dalam bahasa Inggris saat Konferensi Sirah Nasional di Islamabad tahun 1983. Tahun 1990, pengarangnya memperoleh bintang kehormatan dari Presiden Hosni Mubarak - Mesir.


c) Sejarah Hidup Muhammad Syaikh Shafi’ur Rahman Al-Mubarakfury, Robbani Press, Jakarta, 2002 Buku ini adalah pemenang pertama sayembara penulisan Sirah Nabawiyah yang diselenggarakan oleh Rabithah Alam Islami yang berkedudukan di Mekah.


d) Latar Belakang Perkawinan Nabi s.a.w; ‘Abbas Jamal’, Yayasan Emiliyyatil Abbasiah, Jakarta, 1999.


Menurut Al-Halabi, Muhammad berhubungan dengan lebih dari 30 wanita, namun dikatakan bahwa dia menikah secara sah hanya dengan 22 wanita. Enam wanita diantaranya adalah wanita yang menawarkan diri kepada sang nabi namun hanya empat orang yang nabi inginkan. [Al-Sira Al-Halabia, hal 417].


Menurut Persian Journal; ‘Muhammad & His Wives’, September, 2005. Istri-istri sah (wanita yang dinikahi) Muhammad berjumlah 16 orang, ditambah 2 orang budak wanita (gundik), dan 4 orang wanita yang menyerahkan diri. Ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh cendekiawan muslim Ali Dashti, mereka adalah;


1. Khadijah binti Kuwailid (wafat sebelum Muhammad hijrah ke Madinah)

2. Saudah bint Zam’a

3. Aisyah bint Abu Bakr

4. Umm Salamah (Hindun bint Umaiyah)

5. Hafsah bint Umar bin Al-Khattab

6. Zaynab bint Jash (i)

7. Juwairiyah bint Al-Harith

8. Umm Habiba

9. Safiyah bint Huyay

10. Maimunah bint Al-Harith (i)

11. Fatimah

12. Ramlah bint Abu Sufyan (putri Abu Sufyan bin Harb)

13. Asma dari Saba

14. Zaynab Al-Khuzaima (ii)

15. Hablah

16. Asma bint Al-Nu’man


Dua orang budak yang oleh para ulama juga sering disebut sebagai istri, walaupun tidak ada riwayat tentang perkawinan mereka, yakni;


1. Maria Qubtiyah

2. Rihana binti Zayd


Dan ada empat wanita lagi yang dikategorikan sebagai wanita-wanita muslim yang menyerahkan diri mereka kepada Muhammad;


1. Khaula binti Hakim

2. Maimunah (ii)

3. Zaynab (iii)

4. Umm Sharik


Al-Tabari mengatakan, “Rasul Allah menikahi lima belas wanita. Dia menggabungkan tujuh pada satu saat dan meninggalkan delapan.” [Al-Tabari, Vol IX, hal 126].


1. KHADIJAH BINTI KUWAILID


Sebagai penggembala domba, Muhammad dipanggil Abu Kabsha. Nama tersebut menempel pada masa remajanya. Dia bersedia melakukan segala hal untuk menyingkirkan julukan itu! Nama panggilan ini adalah bentuk feminin dari kata ‘domba kecil’. Disela-sela kegiatannya membantu pamannya mengembalakan kambing, Muhammad yang ketika itu sudah berusia sekitar 25-an tahun dicarikan pekerjaan di sebuah perusahaan dagang milik wanita kaya yang masih saudara jauh, bernama Khadijah, berusia 40 tahun.


Suatu hari Muhammad mendapat kepercayaan untuk melakukan perjalanan dagang ke Syria untuk menjual dan membeli barang-barang pesanan Khadijah. Kepada rekan-rekan bisnisnya, Khadijah mengatakan bahwa Muhammad adalah orang kepercayaannya (al-Amin)* . Ketika Muhammad kembali dari Syria, Khadijah yang sudah lama menjanda melamar Muhammad untuk menikah dengannya.


[*] Al-Amin adalah sebutan bagi orang kepercayaan atau orang yang dipercayakan untuk memegang suatu tanggung jawab atau jabatan, termasuk jabatan di pemerintahan. Hingga saat ini, pejabat pemerintahan di Arab biasa dipanggil ’al-Amin’. Jadi klaim Islam bahwa Muhammad mendapat gelar ‘al-Amin yang artinya adalah orang yang ‘terpercaya’ merupakan pemelesetan makna untuk mengangkat derajat kenabian. Sesungguhnya sangatlah berbeda makna antara orang yang ‘di beri kepercayaan’ atau ‘orang kepercayaan’ dengan orang yang ‘terpercaya’


Saat itu Khadijah berusia empat puluh tahun, diduga masih cantik dan janda kaya. Ia adalah wanita terkaya di Mekah. Banyak pria yang ingin menikahinya dan ia menolak semuanya. Muhammad adalah pemuda yang tidak memiliki apa-apa dan tidak punya nama. Ia tidak memiliki pekerjaan, uang, maupun ketrampilan. Meskipun Khadijah sudah berusia 40 tahun, dalam masyarakat patriakis seperti Mekah, Khadijah butuh izin dari ayahnya untuk menikah. Ini tidak gampang.


Khadijah merancang rencana yang berani. Tahu akan kelemahan ayahnya terhadap minuman keras, ia mengundang ayahnya dan menyuguhinya minuman anggur. Ketika ayahnya mabuk, ia menaburinya dengan wangi-wangian dan mengenakan pakaian Yaman yang mahal. Ia lalu menyiapkan pesta dan mengundang Muhammad dan pamannya saat ayahnya masih mabuk, agar mendapat restunya untuk menikah dengan Muhammad.


Ketika ayah Khadijah, Khuwailid, sadar dari mabuknya, ia melihat ke sekelilingnya dengan heran. Ia menanyakan apa maksud dari tanda-tanda adanya pesta pernikahan, sapi yang dipotong, wangi-wangian, dan pakaian pernikahan. Ketika ia diberitahu akan apa yang terjadi, kepadanya diberitahu “pakaian pernikahan itu dikenakan Muhammad kepadamu, menantumu”, ia menjadi sangat marah dan menyatakan bahwa ia tidak akan pernah setuju untuk memberikan putrinya kepada seorang pemuda tanpa nama.


Rombongan Muhammad juga menjawab dengan marah bahwa rancangan pernikahan itu bukan berasal dari pihak mereka, tetapi tidak lain dan tidak bukan merupakan tindakan puterinya sendiri. Kedua belah pihak mengeluarkan senjata, pertumpahan darah nyaris terjadi. Seketika Khadijah turun tangan maka rekonsiliasi pun terjadi.

[Al-Tabari, Vol 3, hal 834]


Kisah memalukan di atas diceritakan oleh Tabari dan Ibn Sa’d, tetapi ibn Hisyam tidak memasukannya dalam sirahnya. Bahkan periwayat muslim lainnya mengatakan bahwa Khuwailid mati saat kejadian itu, dan Khadijah dinikahkan dengan Muhammad oleh paman dari Khadijah. Penyangkalan ini memang sudah bisa diperkirakan. Ada banyak hadis yang dibuat untuk menghindari rasa malu. Dengan sedikit akal sehat, kita tidak sulit untuk menentukan versi mana yang benar dan mana yang tidak. Tidak mungkin kaum muslim akan mengarang sebuah hadis sedemikian luar biasanya untuk mempermalukan nabinya sendiri. Kecuali mereka memang tidak menyadari bahwa kejujuran ceritanya justru bisa mempermalukan nabinya dan agama mereka sendiri dikemudian hari.


Bagi Muhammad pernikahannya dengan Khadijah merupakan keuntungan besar. Ia “menang banyak”, baik secara finansial dan sosial, juga emosional. Dari Khadijah dia bisa mendapatkan kasih sayang seorang ibu yang hampir tidak pernah dia rasakan, dan juga jaminan keuangan dan meningkatkan derajat sosial. Tapi ternyata Muhammad bukanlah orang yang suka bekerja. Dia lebih memilih mengasingkan diri. Tapi perbedaannya sekarang, dia bukan anak-anak lagi, dia sudah menikah dan memiliki keluarga, sehingga dalam dunianya sendiri, selayaknya Muhammad tidak lagi merasa terasing. Dia merasa dihormati oleh istrinya dan anak-anaknya.


Khadijah memiliki sepuluh anak, enam dari Muhammad. Dalam sepuluh tahun perkawinan dengan Muhammad, Khadijah melahirkan enam orang anak;


1. Qasim, dari anak laki-laki pertamnya inilah asal julukan lain bagi Muhammad dimana banyak orang memanggilnya “Abu al-Qasim” (bapak dari Qasim). Qasim meninggal di usia dua tahun.

2. Zainab, perempuan

3. Ruqayyah, perempuan

4. Umm Kalthum, perempuan. Kedua anak perempuan ini (Ruqayyah dan Umm Kalthum) sempat menikah dengan Usman ibn Affan yang kemudian menjadi khalifah ketiga, dan keduanya meninggal tidak lama setelah itu.

5. Fatimah Zahra, perempuan. Ia menikah dengan Ali, sepupu dari Muhammad yang kemudian Ali menjadi khalifah keempat. Fatimah adalah satu-satunya anak Muhammad yang mencapai umur hingga 30-an tahun, tetapi ia meninggal hanya enam bulan setelah kematian Muhammad, setelah konfliknya dengan Abu Bakr tentang harta warisan Muhammad yang seharusnya menjadi hak Fatimah tapi di kuasai oleh Abu Bakr.

6. Abdul Manaf, laki-laki, ia juga meninggal saat masih bayi. Manaf adalah nama dewa kaum musyrik. Namanya mungkin dianggap memalukan, penulis muslim memberikan berbagai macam nama kepada anak ini, seperti Abdullah, Tayib, dan Tahir. Namun hal itu tidak seharusnya membuat malu kaum muslim, karena Muhammad sendiri tidak malu untuk mengakui, “Aku telah mempersembahkan seekor domba putih bagi dewa al-Uzza, saat aku masih menjadi pengikut agama kaumku.”


Setelah Muhammad menjadi seorang suami dan ayah, ia lebih memilih menyendiri ke sebuah gua, menghabiskan waktunya seharian di dunianya sendiri. Untuk apa semua itu ia lakukan? Sepertinya ia tidak peduli pada keluarganya atau mencari nafkah bagi anak-anaknya (wajarlah jika ada yang berpendapat dia sibuk berkhayal dan bermimpi).


Bersambung....

Akbarman Tanjung

No comments: