loading...

Wednesday, April 14, 2021

Istri Istri Muhammad (Ep 6)


Berikut ini adalah sebuah contoh dari argumen yang diajukan apologis muslim demi mengingkari hal yang sudah nyata mengenai riwayat umur Aisyah;


Berdasarkan narasi yang dilaporkan oleh Ahmad bin Hanbal, setelah kematian Khadijah (ra), tatkala Khaulah (ra) datang kepada Nabi (saw) dan menasehatinya untuk menikah lagi, maka Nabi (saw) bertanya balik kepadanya tentang pilihan-pilihan (calon isteri) yang ada dalam benaknya. Khaulah pun berkata: “Engkau dapat menikahi seorang perawan (bikr) atau seorang wanita yang telah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi (saw) menanyakan siapa itu yang perawan maka Khaulah menyodorkan nama Aisyah (ra). Semua orang yang mengerti bahasa Arab, sadar bahwa kata “Bikr” dalam bahasa Arab itu tidak ditujukan kepada anak gadis kecil yang baru berumur 9 tahun. Kata yang benar untuk seorang gadis cilik adalah “Jariyah”. Sebaliknya “Bikr” dipakai untuk wanita yang belum menikah, dan pastilah bahwa seseorang yang baru berumur 9 tahun itu bukanlah “wanita” (bikr).


Keterangan ini tidaklah tepat. Bikr berarti perawan dan keperawanan tidak menyangkut umur yang spesifik. Sepertinya Aisyah adalah isteri kedua Muhammad (setelah Khadijah) tetapi Muhammad tidak melakukan hubungan intim dengan Aisyah pada 3 tahun pertama, disebabkan dia masih terlalu kecil (6 tahun) dan Abu Bakar telah meminta kepadanya untuk menanti. Jadi Muhammad pun menikahi Saudah binti Zam’ah, yang mana diperlakukannya kurang baik karena dia tidak cantik. Ini semua menunjukkan bahwa pada zaman tersebut angka-angka tidak berarti banyak.


Lebih mungkin bahwa orang-orang membuat kesalahan terhadap tanggal dan tahun dari peristiwa-peristiwa tertentu. Laporan laporan tentang usia muda Aisyah adalah konsisten dengan kisah kisah kanak-kanaknya, seperti bermain-main dengan bonekanya, ayunannya, teman-teman ciliknya bersembunyi ketika Muhammad memasuki ruangan, Nabi bermain-main dengan dia, ketidaktahuannya tentang seks dan “kekagetannya” ketika Muhammad menghampirinya. Semua ini menegaskan bahwa Aisyah adalah gadis cilik.


Jadi jika ada yang mengatakan atau menduga-duga bahwa umur Aisyah antara 16,18, 20 tahun adalah hasil klaim dipaksakan (Klaimology dan cocokology), bukan berdasrkan hadis yang diriwayatkan. Selain tidak ada hadisnya, seharusnya para pembela Islam itu juga berpikir, jika Aisyah berumur 16,18, 20 tahun, tentunya Muhammad tidak perlu menunggu sampai 3 tahun untuk menggauli Aisyah.


Coba kita telaah, istri Muhammad yang lain seperti Shafiyah saja berumur 17 tahun ketika dibawa kedalam tenda Muhammad setelah suami Shafiyah dibunuh. Jadi sangat janggal jika Muhammad masih menunggu 3 tahun untuk menggauli Aisyah jika Aisyah sudah merusia 16-18 tahun. Maka kemungkinan yang paling benar adalah yang diriwayatkan dan dinyatakan oleh Aisyah sendiri. Saya tidak bisa berkata yang lebih baik dari ini; Menikahi anak gadis ingusan bukan saja merupakan bagian dari kultur bangsa manapun, tetapi sesungguhnya hal itu berlawanan dengan sifat manusia! Pria paruh baya yang psikologisnya normal tidak akan menjadikan anak kecil ini menarik secara seksual.


Boleh jadi perkawinan anak-anak ini bukan sebuah tradisi Arab pra Islam, tetapi karena Muhammad yang meletakkan hal itu sebagai contoh, maka setiap muslim akan menemukan justifikasi dan validasi untuk mengambil anak-anak sebagai pengantin perempuannya, dan orang-orang tuanya yang masa-bodoh dan yang pada umumnya miskin jadinya membolehkan saja gadis ciliknya untuk dikawini (kalau ini bukan perkosaan, paling tidak ini adalah berhubungan seks yang dipaksa sebagai suatu hubungan kelamin yang belum dia mengerti) karena ketamakan orang tuanya akan harta dan kehidupan sosial mereka yang terangkat atas perkawinan balita-nya itu.


"Tuduhan Selingkuh Terhadap Aisyah"


Kisah ini setelah Muhammad mengeluarkan ayat yang memerintahkan agar wanita berhijab. Ketika Aisyah ikut ke medan perang ia dibawa dalam tandu yang tertutup di atas punggung unta – ini memicu timbulnya krisis yang efeknya masih terasa dalam dunia Islam. Aisyah menceritakan kisahnya dalam banyak hadis. Saya kutipkan dari Terjemah Sahih Bukhari, Jilid III, no 1328. Penerbit Wijaya:


“Setelah Rasulullah s.a.w selesai dari peperangan (Kami berkemah) ketika kami mendekati kota Madina. Kemudian ia mengumumkan agar berangkat pada malam hari. Saya terbangun ketika mereka mengumumkan keberangkatan, dan saya pergi dari perkemahan pasukan, dan setelah selesai buang hajat, saya kembali ke binatang tunggangan saya. Saya menyentuh dada saya dan ternyata kalung saya yang terbuat dari mote-mote Zifar (yaitu mote-mote dari Yaman, separoh berwarna hitam, separoh berwarna putih) sudah hilang. Maka saya kembali untuk mencari kalung saya, dan oleh karena pencaharian kalung itu memisahkan saya dari rombongan. (Sementara itu) orang-orang yang biasa memikul saya di unta saya, datang dan mengambil Hawdaj saya dan menaruhnya di atas punggung unta saya yang biasa saya tunggangi, karena mereka menganggap saya ada di dalamnya. Pada jaman itu, berat badan wanita sangat ringan karena mereka tidak memiliki lemak, dan tidak banyak daging di tubuh mereka karena mereka terbiasa hanya makan sedikit. Jadi, orang-orang itu tidak merasa ada perbedaan berat Hawdaj itu ketika mereka mengangkatnya, dan mereka menaruhnya di dekat unta. Pada waktu itu saya masih seorang wanita muda. Mereka menyuruh unta itu berdiri dan mereka semua pergi (dengan unta itu). Saya menemukan kalung saya setelah pasukan itu pergi.”


Oleh karena peraturan perempuan wajib berhijab sudah diterapkan, berarti tidak seorangpun yang dapat melihatnya atau berbicara kepadanya, dan karena Aisyah masih kecil, masih anak-anak, berat badannya tidak membuat suatu perbedaan yang berarti. Sehingga orang-orang yang mengangkat tandu Aisyah ke atas untanya tidak tahu kalau ia tidak ada didalamnya. Jadi istri favorit Muhammad hilang.. Saya lanjutkan hadisnya;


“Ketika saya sedang duduk di tempat peristirahanku, saya sangat mengantuk dan jatuh tertidur. Safwan bin Al-Muattal As-Sulami Adh-Dhakwani berada di belakang pasukan. Ketika ia tiba di tempatku pada pagi hari, ia melihat seseorang yang sedang tertidur dan ia mengenaliku karena ia telah pernah melihatku sebelum kerudung diwajibkan (diperintahkan). Lalu saya terbangun ketika ia membacakan Istirja’ (Inna lillahi wa inna llaihi raji’un = Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada Allah kami kembali) segera ketika ia mengenali saya. Saya langsung menutupi wajah saya dengan kerudung saya, dan demi Allah, kami tidak berbincang sepatah kata pun, dan saya tidak mendengarnya mengucapkan apapun selain dari Istirja. Ia melepaskan kekang untanya dan membuat untanya berlutut, meletakkan kakinya di kaki depan unta itu dan ia bangun dan menungganginya. Dan ia menggiring unta yang membawa saya sampai kami bertemu dengan pasukan di siang hari yang terik ketika mereka sedang berhenti untuk beristirahat.”


Aisyah telah sendirian dengan seorang pria yang bukan muhrimnya. Bagi sebagian orang, itu sudah cukup untuk menimbulkan isu yang buruk mengenai dirinya: “(Oleh karena kejadian itu) beberapa orang mendatangkan kehancuran atas diri mereka sendiri,” kata Aisha, “dan orang yang menyebarkan fitnah itu adalah ‘Abdullah bin Ubai Ibn Salul” – bersama 3 orang lainnya (termasuk seorang pria bernama Mistah bin Uthatha dan saudari dari Zaynab binti Jahsh), juga beberapa orang lainnya. Kabar burung beredar, bahkan Muhammad juga terpengaruh oleh kabar itu dan menjauhkan diri dari Aisha. Aisha menceritakan:


“Setelah kami kembali ke Medina, saya sakit selama sebulan. Orang-orang sibuk membicarakan saya, menyebarkan kabar buruk dan fitnah sedangkan saya sama sekali tidak mengetahuinya, tetapi saya dapat merasakannya dalam kesakitan saya, oleh karena saya tidak menerima kebaikan yang biasa diberikan Rasulullah jika saya dalam keadaan tidak sehat. (Tetapi sekarang) Rasulullah hanya datang, memberi salam pada saya dan bertanya, ‘Bagaimanakah (perempuan) itu?’ Lalu ia pergi. Hal itu menimbulkan keraguan saya, tapi saya tidak menemukan kejahatan (fitnah) hingga saya sembuh dari sakit saya dan saya pergi keluar dengan Umm Mistah (yaitu ibu dari Mistah) ke Al-Manasi’ dimana kami biasa membuang hajat...”


Akhirnya Umm Mistah menceritakan pada Aisha soal pergunjingan itu, yang tentu saja membuat Aisyah yang masih lemah merasa semakin terpuruk:


“Lalu penyakit saya menjadi semakin parah, dan ketika saya tiba di rumah, Rasulullah datang padaku, dan setelah ia memberi salam padaku, ia berkata, ‘Bagaimanakah (perempuan) itu? Saya menjawab, ‘Maukah engkau mengijinkan saya untuk mengunjungi orang-tua saya? Karena saya ingin mendapatkan kepastian mengenai kabar burung itu dari mereka. Rasulullah mengijinkan saya (dan saya pergi kepada orang-tua saya) dan bertanya pada ibu saya, ‘Oh, Ibu! Apakah yang digunjingkan orang-orang? Ia berkata, ‘Oh anakku! Janganlah kuatir, karena bagi wanita yang cantik dan dicintai oleh suaminya hanya akan ditemukan sedikit kesalahan, sedangkan suaminya mempunyai banyak istri lain.’ Saya berkata, ’Subhanallah (terpujilah Allah!) apakah orang-orang benar-benar membicarakan hal ini?’ Malam itu saya terus menangis hingga subuh, saya tidak dapat berhenti menangis dan saya juga tidak bisa tidur. Lalu di pagi hari saya masih terus menangis.”


Aisyah mempunyai alasan yang tepat untuk menangis, karena Muhammad pada akhirnya seperti mempercayai kabar burung itu, walaupun Aisyah mempunyai orang-orang yang membelanya. Aisyah melanjutkan riwayat hadisnya...


“(Ketika turunnya Wahyu Ilahi tertunda), Rasulullah memanggil ‘Ali bin AbuThalib dan Usama bin Zaid untuk bertanya dan meminta nasehat mereka soal menceraikan saya. Usama bin Zaid mengatakan bahwa ia mengetahui ketidakbersalahan saya, dan ia menghormati saya. Usama berkata, ‘(Wahai utusan Allah!) Dia adalah istrimu, dan kami tidak tahu apa-apa selain hal yang baik mengenai dia.”


Dengan gaya mencemoohkan, ‘Ali, yang kemudian menjadi pahlawan yang hebat dalam kelompok muslim, mengingatkan Muhammad bahwa “ada banyak perempuan tersedia untuk nabi.” Aisyah tidak pernah melupakan perkataan Ali ini, dan untuk membalasnya ia kemudian menyanggah klaim Ali bahwa Muhammad telah mengangkatnya menjadi Khalifah:


“Kapan Rasulullah mengangkat orang itu (Ali), melalui wasiat kah?Sesungguhnya ketika Rasulullah wafat beliau sedang beristirahat di dadaku dan ia meminta baskom air untuk mencuci muka dan kemudian tidak sadarkan diri, dan saya bahkan tidak melihat kalau ia telah wafat, jadi kapan ia mengangkat orang itu melalui wasiat?”

[Sahih Bukhari, vol 4, buku 55, no 2741]


Hadis riwayat Aisyah berlanjut:

“Ali bin Abi Talib berkata, ‘Wahai Rasulullah! Allah tidak menaruh engkau dalam kesulitan ini, dan ada banyak perempuan lain selain darinya, namun, tanyailah hamba perempuan itu (budak perempuan Aisyah) yang akan mengatakan kepadamu tentang kebenaran.’ Maka Utusan Allah memanggil Barira (budak perempuan) dan berkata, ‘Wahai Barira! Apakah kamu ada melihat sesuatu yang membangkitkan kecurigaanmu?’ Barira berkata padanya, ‘Demi Dia yang telah menurunkan padamu kebenaran, saya tidak pernah melihat apa-apa padanya (yaitu Aisyah) yang akan saya tutup-tutupi, kecuali bahwa ia adalah seorang perempuan muda yang tertidur dan membiarkan adonan roti untuk keluarganya begitu saja sehingga kambing-kambing datang dan memakannya.”


Muhammad merasa puas dengan jawaban ini, dan kembali kepada

orang-orang yang menuduh Aisyah. Lalu Aisyah menceritakan:


“Maka, pada hari itu, Rasulullah naik ke atas mimbar dan mengeluh tentang ‘Abdullah bin Ubai bin Salul di hadapan para Sahabatnya, dan berkata, ‘wahai kamu orang-orang Muslim! Siapakah yang akan melepaskan aku dari orang yang telah menyakiti aku dengan pernyataan-pernyataannya yang jahat mengenai keluargaku? Demi Allah, aku tidak tahu apa-apa selain hal yang baik mengenai keluargaku dan mereka telah menyalahkan seorang pria yang padanya hanya kuketahui hal-hal yang baik dan ia tidak pernah masuk ke dalam rumahku kecuali aku ada bersama dengannya’. Sepanjang hari itu saya menangis dengan air mata yang tidak ada habisnya, dan saya tidak pernah bisa tidur."


Bersambung.....

Akbarman Tanjung

No comments: