loading...

Sunday, April 18, 2021

Istri istri Muhammad (Ep 16)


Ibnu Majah jelas-jelas meriwayatkan bahwa Muhammad cuek saat anaknya (Ibrahim) sekarat, sampai dijemput dua kali..! Saya membandingkan ketika anak saya masih balita dan saya mendapat berita anak saya sakit, saya gelisah dan buru-buru minta izin pulang dari kantor. Nah, apalagi anak sekarat! Saya yakin semua orang tua normal akan merasakan hal yang sama dengan yang saya rasakan. Kecuali Muhammad!


Seperti dalam masalah Zainab, klaim wahyu-wahyu dikeluarkan untuk membereskan permasalahan rumah tangga Muhammad. Ayat-ayat yang katanya wahyu surga dibawah ini, membatalkan sumpah yang dibuat Muhammad untuk tidak mendekati lagi sang budak, Maria orang Koptik tersebut, dan menegur para istrinya dengan tuduhan tidak patuh dan durhaka. Ayat-ayat itu bahkan mengisyaratkan bahwa Muhammad boleh menceraikan semua istri-istrinya dan menggantinya dengan yang lebih patuh (note: mungkin maksudnya yang tidak marah-marah kalau sang nabi asyik-masyuk bersama budaknya). Lalu, Muhammad mengurung diri dan menjauh dari istri-istrinya selama sebulan.


Akhirnya, lewat campur tangan Umar dan Abu Bakar, Muhammad berdamai dan memaafkan para istrinya. Ini saja sudah merupakan kejanggalan, dimana Muhammad memaafkan istri-istrinya justru atas kesalahan Muhammad sendiri yang kepergok meniduri Mariah Qiptiyah, pembantu/budak yang ditempatkan dirumah Hafsyah. Tapi dengan bantuan ayat-ayat yang diklaimnya dari Allah, maka kaum muslim menganggap masalah selesai. Wow..! apakah saya harus mengacungkan jempol saya keatas atau sebaliknya ke bawah, atas pola pikir muslim pada peristiwa ini? Simak ayat-ayatnya;


At-Tahrim (66), ayat; 1-5:

1. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Alla halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


2. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.


(Catatan : Allah mewajibkan kepada kita untuk melanggar sumpah? Untuk apa bersumpah kalau untuk dilanggar! Aneh, ayat pembenaran untuk menutupi perilaku nabi)


3. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”


4. Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantumembantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat malaikat adalah penolongnya pula.


5. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.


Rahasia apakah yang dimaksud dalam ayat diatas? Inilah riwayat turunnya surah at-Tahrim, ayat; 1-5:

Suatu hari Muhammad pergi ke rumah Hafsa isterinya, anak perempuan Umar, dan menjumpai pembantunya yang menarik, hadiah dari penguasa Mesir yaitu Maria atau Mariyah. Muhammad mengatakan pada Hafsa bahwa ayahnya, Umar, memanggilnya. Ketika Hafsa pergi, Muhammad membawa Mariyah ke kamar. Bagi Mariyah menolak keinginan Muhammad adalah hal yang tak terpikirkan, mengingat statusnya. Ia adalah seorang budak perempuan yang jauh dari keluarganya, sementara Muhammad sendiri diagungkan sebagai nabi oleh pengikutnya di kota itu.


Sementara itu, Hafsah yang menyadari bahwa ayahnya tidak memanggilnya, dan juga yang kepulangannya ke rumah tidak diduga oleh Muhammad akan secepat itu, ia memergoki bagaimana suaminya tengah “asyik” berduaan di kamar tidurnya, diranjangnya dengan pembantunya. Hafsah menjadi sangat histeris, dan tentu saja sebagai seorang istri, mana mungkin Hafsah sanggup melihat peristiwa ini di ranjangnya sendiri. Sehingga hal itu menjadi sebuah skandal. Nabi meminta Hafsa untuk tenang dan berjanji untuk tidak melakukan hal itu lagi dengan Mariyah, dan meminta Hafsah tidak menceritakan rahasia itu kepada siapa pun.


Kisah ini dilaporkan oleh Ibn Sa’d dalam Tabaqat :

Waqidi memberitahu kami bahwa Abu Bakr bercerita bahwa utusan Allah s.a.w telah melakukan hubungan seksual dengan Mariyah di rumah Hafsah. Ketika Hafsah duduk di belakang pintu yang terkunci. Ia berkata kepada nabi, “Wahai Utusan Allah, apakah yang engkau lakukan disini di dalam rumahku pada waktu giliranku?” Utusan Allah berkata, “Kendalikanlah dirimu dan biarkanlah aku pergi karena setelah ini aku tidak akan menggaulinya lagi dan menjadikannya haram untukku”. Hafsah berkata, “Aku tidak terima, kecuali engkau bersumpah padaku”. Hazrat (Yang Mulia) berkata, “Demi Allah aku tidak akan menyentuhnya lagi”.

[Ibnu Sa’d-Tabaqat, Vol Vll, hal 223. Publisher Entesharat-e Farhang va Andisheh-Tehran. Penerjemah Dr. Mohammad Mahdavi Damghani]


Meskipun demikian, Hafsa yang tidak sanggup mengontrol emosinya, memberitahukan kejadian itu kepada istri nabi yang lain yakni Aisyah, sehingga kasus itu menyebar. Mungkin saja Muhammad mengalami beban mental, sehingga ia memutuskan untuk menghukum semua isteri-isterinya, dan mengumumkan bahwa ia tidak akan tidur lagi dengan salah seorang pun dari mereka selama satu bulan.


Tentu saja hal ini menjadi terlalu berat bagi Sang Utusan Allah. Karena itu Allah dengan cekatan datang untuk menolong nabinya dan katanya mewahyukan Surah At-Tahrim atau Muhammad yang berada dibalik ayat ayat Allah tersebut?. Dalam Surah ini, Allah menegur nabinya karena bersikap terlalu keras terhadap dirinya sendiri, demi menyenangkan hati isteri-isterinya. Ini merupakan situasi yang sulit dan karena itu tak seorang pun bisa menolongnya kecuali Allah sendiri. Yang jelas, tak ada yang mustahil selama firman bisa keluar dari mulutmu dan orang percaya itu dari Allah. Bagaikan Tuhan ada di saku celanamu.


Namun pembelaan banyak ulama untuk mengaburkan kasus seksual nabi dengan Mariyah di rumah Hafsyah, dan atas ancaman Muhammad ingin menceraikan istri-istrinya hingga turunnya surah At-Tahrim ayat 1-5 adalah dengan menyodorkan hadis berikut;


Sahih Muslim, Buku 9, No 3496:

Rasul Allah, biasa menghabiskan waktu dengan Zainab, anak perempuan Jahsh dan minum madu di rumahnya. Ia (Aisyah) berkata: Aku dan Hafsa setuju bahwa orang yang Rasul Allah akan kunjungi pertama kali harus mengatakan: Aku lihat bahwa engkau memiliki bau-bauan magafir (permen dari mimosa). Ia (Nabi Suci) mengunjungi salah seorang dari mereka dan ia berkata kepadanya seperti ini: Aku telah mengambil madu di rumah Zainab bint Jash dan aku tidak akan melakukannya lagi. Mengenai hal inilah (ayat berikut diwahyukan): ‘mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri isterimu..? ‘Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa… Ini berkaitan dengan apa yang ia katakan: “Tetapi aku telah mengambil madu.”


Eksistensi Hadis di atas dan perbedaannya dengan yang dikisahkan dalam Tabaqat-ibnu Sa'ad dan diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan Umar (dalam hadis Bukhari, Vol 3, Buku 43, No 648, atau Sahih Bukhari-Dar-us-Salam reference-Hadith no.2468), menyingkapkan fakta lain bahwa ternyata pengikut-pengikut Muhammad rela untuk melakukan apa saja demi menyelamatkan gambaran diri dari perilaku Nabi mereka agar tidak ternoda.


Jka kita menerima kisah mengenai minum madu untuk membenarkan surat At-Tahrim, justru sangat tidak logis dan konyol! Madu itu sendiri tidak memiliki bau yang tidak enak. Lebih daripada itu, sangat sulit memikirkan jika insiden meminum madu itu sampai-sampai menyebabkan Muhammad memutuskan ingin menceraikan isteri-isterinya.


Bisakah sebuah insiden yang tidak signifikan seperti meminum madu, mencetuskan begitu banyak kegaduhan sehingga Tuhan harus mengintervensi dengan memberikan peringatan kepada isteri-isteri Muhammad bahwa ia akan menceraikan mereka semua dan bahwa Dia (Allah) akan memberikan pada Muhammad isteri-isteri yang masih perawan dan yang setia? Penjelasan ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal, kecuali bahwa sebenarnya ini merupakan “istilah lain” yang dipakai, untuk mengaburkankan apa yang telah Muhammad teguk bersama Mariyah dikamar Hafsah.


Sahih Bukhari, Vol 3, buku 43, No 648, atau Sahih Bukhari, no. 2468:

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a: Aku sangat ingin bertanya kepada Umar Bin Khattab tentang kedua wanita dari antara isteri-isteri Nabi, dalam kaitan dengan siapakah Allah berkata (dalam Quran): Jika kalian berdua (isteri-isteri Rasul) bertobat kepada Allah, sebab hati kamu berdua telah condong (menentang apa yang disukai oleh Rasul) (At-Tahrim, 66:4). Aku melaksanakan Haji bersamasama dengan ‘Umar (dan dalam perjalanan pulang berhaji), ia pergi ke suatu tempat (untuk buang hajat), dan aku juga pergi bersamanya dengan membawa ember berisi air. Ketika ia telah selesai buang hajat dan telah kembali. Aku menuangkan air ke tangannya dari ember itu dan melaksanakan wudhu. Aku berkata, "Ya Amirul Mu’minin..! Siapakah kedua wanita dari antara isteri-isteri Nabi yang kepadanya Allah telah berfirman,‘Jika kamu berdua bertobat'(QS 66:4)?" Ia menjawab, "Aku heran kamu tidak tahu dan mempertanyakannya, Oh Ibn ‘Abbas. Mereka adalah Aisyah dan Hafsa.”


Umar melanjutkan dalam hadisnya... "Pada hari-hari itu, ada rumor bahwa Ghassam (satu suku yang tinggal di Sham), tengah menyiapkan kuda-kuda mereka untuk menginvasi kami. Rekanku berangkat (untuk bertemu Nabi pada hari gilirannya) dan pulang pada malam hari, mengetuk pintu rumahku dengan kasar, bertanya apakah aku sedang tidur. Aku menjadi takut (dengan ketukan keras di pintu) dan segera menemuinya. Ia mengatakan bahwa sebuah kejadian besar tengah terjadi. Aku bertanya padanya: Apakah itu? Apakah Ghassam sudah datang? Ia menjawab bahwa ini adalah hal yang lebih serius dan buruk dari itu, dan menambahkan bahwa Rasul Allah telah menceraikan semua isteri-isterinya. Aku berkata, Hafsah adalah seorang pembuat masalah! Aku pikir masalah seperti ini akan terjadi.’ Maka aku mengenakan pakaianku dan menawarkan untuk memimpin sembahyang subuh bersama Nabi."


Umar lebih jauh lagi mengatakan... "Nabi tidak mengunjungi isteri-isterinya karena rahasia yang diceritakan Hafsah kepada Aisyah, dan ia berkata bahwa ia tidak akan menemui isteri-isterinya selama satu bulan sebab ia marah pada mereka. Kemudian Allah menegur dia atas sumpahnya. Ketika dua puluh sembilan hari telah berlalu, pertama-tama Nabi pergi menemui Aisyah. Aisyah berkata pada sang nabi, ’Engkau sudah bersumpah bahwa engkau tidak akan datang menemui kami selama satu bulan, dan hari ini baru hari yang keduapuluh sembilan, karena setiap hari aku menghitungnya.’ Nabi berkata, ’Bulan ini juga terdiri dari dua puluh sembilan hari.’ Aisyah berkata, ’Ketika Pilihan Wahyu Ilahi disingkapkan, Nabi memulainya denganku, dengan mengatakan padaku,’Aku memberitahukanmu sesuatu, tetapi engkau tidak perlu terburu buru memberikan jawaban hingga engkau berkonsultasi dengan orang tuamu.” Aisyah tahu bahwa orang tuanya tidak akan menasehatinya untuk berpisah dengan Nabi. Aisyah bertanya padanya, ’Apakah aku perlu mengkonsultasikan hal ini pada orang tuaku? Sungguh aku lebih menyukai Allah, RasulNya, dan Rumah di negeri akhirat.’ Setelah itu, Nabi memberikan pilihan pada isteri isterinya yang lain, dan mereka pun memberikan jawaban yang sama ‘sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah’."


[Hadis ini dilaporkan juga dalam : Sahih Muslim, Vol 9, no 3511 / Sahih Bukhari, Vol 3, buku 43, no 48 / Sahih Bukhari , Vol 7, buku 62, no 119. Dan pada terjemah Sahih Bukhari, penerbit ‘Widjaya’, dimuat dalam Jilid lll, hadis no.1180]


Sebagian ulama mengklaim bahwa hadis-hadis yang mencatat peristiwa yang dikisahkan oleh Abdullah bin ‘Abbas adalah dhoif, dan versi yang benar adalah yang mengisahkan soal madu. Pendapat ulama ini sangat aneh, memaksakan, keimanannya membuat pola pikirnya akrobatik. Hadis yang sanadnya jelas, masuk akal, subtansinya bekesinambungan dan kisahnya dituturkan secara rinci malah dianggap dhoif. Ini pandangan yang tidak masuk akal. Hadis ini dicatat baik oleh Bukhari dan juga oleh Muslim. Lebih jauh lagi, ini adalah satu-satunya penjelasan paling logis dari sha’n nuzul (konteks) surat At-Tahrim. Sudah menjadi ketetapan para ulama, dan saya kutip pendapat sarjana Muslim Asif Iftikhar yang menjelaskan, “sebuah hadis bisa dianggap sebagai sebuah sumber pembimbing religius hanya jika dasar dari hadis itu eksis dalam Quran dan Sunnah.


Riwayat berikut ini juga merujuk pada asbab al-nuzul Surah At-Tahrim, 1-5:

"Dilaporkan bahwa nabi telah membagi jadwal hariannya dengan para istrinya. Dan ketika tiba giliran Hafsa, ia menyuruh Hafsa pergi bergegas ke rumah ayahnya Umar Khattab. Ketika Hafsa melakukan perintahnya dan pergi, nabi memanggil budak perempuannya, yaitu Mariyah orang Koptik, yang adalah pemberian Raja Najashi. Nabi bersetubuh dengannya, dan dikemudian hari ia melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamai Ibrahim. Ketika Hafsa kembali, ia mendapati pintu rumahnya terkunci. Lalu ia duduk di balik pintu yang terkunci itu hingga nabi menyelesaikan “urusannya” dan keluar kamar dengan sukacita mewarnai wajahnya."


"Ketika Hafsa mendapatinya dalam kondisi demikian, ia menegur nabi dan berkata, 'Engkau tidak menghargai kehormatanku; engkau menyuruhku keluar dari rumahku sebagai alasan agar engkau dapat meniduri budak perempuan!'. Kemudian nabi berkata, 'Diamlah, karena walaupun dia adalah budakku dan halal bagiku, demi kepuasanmu saat ini aku akan mengharamkannya untukku'. Dan ketika nabi keluar dari rumah, Hafsa pergi kepada Aisyah dan menceritakan semuanya kepadanya. Ia juga menyampaikan kabar gembira bahwa nabi telah berjanji untuk mengharamkan Mariyah baginya."

["Tafsir dan terjemah", oleh Mohammad Kazem Mu’refi. Diterbitkan oleh Entesharat-Elmiyeh Eslami]


Itulah kenapa saya katakan, bacalah kitab sucimu dalam bahasa ibumu agar kamu faham apa yang kamu baca. Wajarkah ayat-ayat seperti ini dilantunkan dengan khidmat? Sampai sekarang juga pasti masih dibaca oleh muslim baik di pengajian atau dirumah-rumah, sebagai bagian dari ayat Qur’an yang umat muslim yakini turun dari langit, dimana dengan membaca atau mendengarkan orang membaca saja sudah mendapat pahala. Tapi seperti yang Muir katakan; “pastinya tidak ada ayat yang lebih menjijikan dari ayat ini..”


Bersambung......

Akbarman Tanjung

Istri Istri Muhammad (Ep 15)


Masih perdebatan antara Basam Zawadi vs Ali Sina tentang Syafiah...


Zawadi melanjutkan:

Suatu ketika saat Zaynab bint Jahsh dan Safiyah pergi bersama Nabi dalam salah satu perjalanannya, unta Safiyah jatuh sakit. Nabi berkata kepada Zaynab, “Unta Safiyah jatuh sakit, bagaimana kalau engkau memberikannya salah satu untamu”. Ia berkata, “Aku tidak akan pernah memberikannya kepada perempuan Yahudi seperti itu”. Nabi menjadi marah padanya dan tidak menghampirinya selama dua bulan. [Ahmad, vol. 6, hal 336-337, Terdapat dalam Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, hal 173].


Tanggapan Ali Sina:

Apa yang dapat dipelajari dari hadis ini? Bagi muslim, yang dapat dipelajari adalah apa yang tertulis. Bagi orang yang rasional, hadis ini menunjukkan betapa Safiyah merasa diasingkan di antara istri istri Arab Muhammad. Ia melakukan semuanya untuk mendapatkan kasih musuh-musuhnya. Ia memberikan mereka hadiah-hadiah. Ia berpura-pura mencintai Muhammad sedangkan jelas terlihat oleh semua orang, kecuali Muhammad, bahwa ia tidak tulus.


Wanita muda ini mempunyai insting yang kuat untuk mempertahankan hidupnya. Ya, Muhammad mungkin telah tertipu karena mengira Safiyah mencintainya. Siapakah yang mau meminta seorang wanita Khaybar untuk memasak baginya, setelah ia membunuh orang-orang yang dikasihi wanita itu, kecuali ia memang benar-benar bodoh?


Orang-orang yang narsistik hidup dalam dunia fantasi. Muhammad menyangka ia orang yang istimewa dan secara alamiah harus dicintai semua orang, kecuali orang yang dianggapnya memiliki penyakit dihatinya. Bagaimanapun, realita sangat jauh berbeda. Safiyah hanya berusaha mempertahankan hidupnya. Sekalipun ia menderita sindrom, ia tidak sebodoh itu untuk jatuh cinta pada seorang pria tua yang telah menghancurkan hidupnya dan membantai orang-orang yang dikasihinya. Sindrom bukanlah cinta.


Zawadi melanjutkan:

Nabi selalu memperlakukan Safiyah dengan sopan, kelembutan dan kasih sayang. Safiyah berkata, “Utusan Allah menunaikan ibadah Haji dengan istri-istrinya. Di perjalanan untaku jatuh berlutut karena untaku adalah yang terlemah dari semua unta, lalu aku menangis. Nabi datang padaku dan menghapus airmataku dengan baju dan tangannya. Semakin ia memintaku untuk tidak menangis, semakin keras aku menangis. [Ahmad, vol.6, hal 337, Terdapat dalam Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, hal 176].


Tanggapan Ali Sina:

Wow! Kisah ini memilukan hati ya?! Jika anda punya hati, anda akan menangis juga..? Jika anda masih punya empati, tempatkanlah diri anda pada posisi gadis muda ini. Bayangkan anda ditawan dan hidup di antara orang-orang yang telah membunuh seluruh keluarga anda yang anda cintai. Anda tidak tahu harus pergi kemana dan tidak ada seorangpun yang dapat dijadikan tempat untuk bersandar. Anda dihina oleh orang-orang di sekitar anda. Satu-satunya orang yang menunjukkan kasih pada anda adalah orang yang telah membunuh ayah dan suami anda. Ketika unta Safiyah sakit, ia menangis. Hatinya tidak sanggup lagi menanggung derita sebanyak itu.


Bodoh sekali jika kita berpikir ia menangis sesenggukan hanya karena untanya sakit. Ia menangisi penderitaannya sendiri. Saat itu ia baru berusia 17 atau 18 tahun, ia masih sangat muda. Hanya Tuhan yang tahu derita yang dirasakan Safiyah dalam hatinya. Boleh jadi wanita muda itu berdiri di depan jendelanya, di kegelapan kamarnya, memandangi bintang-bintang malam demi malam, bertanya-tanya, yang manakah dari bintang-bintang itu adalah suaminya yang dicintainya, yang manakah ayahnya. Yang manakah saudara-saudaranya dan yang manakah pamannya. Safiyah hanya sendirian, benar-benar sendirian.


Ketika Safiyah mengatakan pada Muhammad yang sedang menjelang ajal, bahwa ia berharap ia dapat menggantikan tempatnya, boleh jadi ia memang menginginkan hal itu. Kalau saya jadi Muhammad, pasti sudah berjuta kali saya ingin mati dan menyesali apa yang sudah saya lakukan.


Membaca buku-buku sirah Ibnu Ishaq, At-Tabari, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hisyam, dll. Adalah hal yang paling menyakitkan yang pernah saya rasakan sebagai muslim. Ada terlalu banyak sakit dan penderitaan dalam buku itu. Tetapi anda harus membaca apa yang tersirat. Untuk melihat yang tersirat, anda harus melepas kacamata iman yang anda pakai sejak kecil. Ketika anda melihat dengan mata telanjang, maka anda akan melihat diri anda sendiri sebagai salah satu dari sekian banyak korban. Tapi mungkin ini adalah hal yang tidak dapat dilakukan oleh kebanyakan muslim, karena doktrin yang sudah tertanam menggiring umat Islam berpikir tunggal bahwa Muhammad adalah sang manusia mulia yang menjadi korban ke dzoliman. Tapi mereka bisa tertawa dan mengejek para korban non-Muslim yang mereka sebut kafir, musyrik, jahili, atau mereka sebut sebagai kaum najis.


Tanpa mereka sadari, mereka telah sedemikian direndahkan moralnya, hingga tidak bisa lagi membedakan mana yang baik dan mana yang jahat selain halal dan haram. Walaupun tinggi ilmunya dan cerdas orangnya, namun ketika mereka melihat dengan kaca mata Islam, maka mereka semakin beriman – Ketika mereka semakin beriman, mereka akan semakin fanatic – Ketika mereka semakin fanatic, mereka semakin Radikal – Ketika mereka semakin radikal, mereka kehilangan empati dan rasa saling mengasihi. Jadi masalahnya ada pada “kaca mata”.


10. MAYMUNAH BINTI AL-HARITH


Muhammad melarang banyak hal untuk orang lain, tapi sebaliknya dia melakukan hal yang dilarang itu untuk dirinya sendiri. Itu sebabnya sampai sekarang dikalangan para ulama muslim sering berbeda pendapat tentang banyak hal mengenai Islam karena Muhammad sering melakukan hal yang kontradiktif antara larangannya dengan apa yang dilakukannya.


Muhammad menikahi Maymunah bin Al-Harith pada saat musim haji. Maymunah saat itu sedang berada diatas untanya, ketika dia melihat sang Nabi, dia menjatuhkan dirinya dihadapan sang nabi dan berkata kepadanya bahwa unta dan semua yang diatasnya adalah milik Allah dan RasulNya. Muhammad mengingatkan dia bahwa mereka tengah dalam melaksanakan ibadah haji. Namun Maymunah menjawab bahwa dia tidak ingin menunggu. Beberapa saat kemudian sang Nabi mengklaim bawa menurunkan ayat;


“…dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, kalau Nabi mau mengawininya sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min supaya tidak menjadi kesempitan bagimu…” (QS 33;50)

[Sirah Nabawiyah-Ibnu Hisyam, jilid 2, hal 635]


Muhammad tidak dapat menunggu lebih lama sampai berakhirnya musim haji dan kembali ke Madinah. Paman Muhammad yakni Al Abbas segera meresmikan pernikahan itu walau ia pernah mengomentari bahwa Muhammad sedang dalam pakaian haji. Ditegaskan pula oleh Ibn Ishaq bahwa Rasulullah menikahi Maymunah pada saat perjalanan naik haji.


Tapi kisah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq sejak abad ke-8 tersebut diatas dipermanis oleh penulis abad kekinian, seperti yang tertulis dalam buku Abbas Jamal, hal 84-86, yang menyatakan; Maimunah adalah istri terakhir Muhammad saw. Berasal dari keluarga bangsawan Quraish. Saat Muhammad s.a.w melakukan ibadah haji ditahun 7 H, maka oleh pamannya yang bernama Abbas bin Abdul Muthalib diusulkan agar Muhammad menikahi Maimunah yang akan menguatkan ikatan persaudaraan. Muhammad setuju dan pernikahan dilakukan di Saraf beberapa kilometer dari Mekah. Usia Maimunah saat itu sekitar 30 tahun. Maimunah adalah janda dari Aba Rahim bin Abdi Izzi. [Sumber : Buku Pintar Agama Islam Syamsul Rijal Hamid. Penebar Salam, Bogor, 2002, hal 102; Maimunah binti Al-Harits Al Hilaliyah, istri terakhir nabi, janda dari Aba Rahim bin Abdi I’zzi].


Bukankah dalam ajaran Islam sendiri melarang menikah disaat melaksanakan ibadah haji..? Tapi sepertinya ada berbagai pendapat mengenai hal ini. Nikahnya orang yang sedang ihram (haji atau umrah) menurut jumhur ulama tidak sah, Imam Abu Hanifah dan ulama Kufah berpendapat sah.


Tapi dalam buku Abbas Jamal, pembaca muslim digiring bahwa Ibnu Abbas-lah yang mengusulkan pernikahan itu dan Muhammad setuju saja. Kaum muslim awam pasti akan lebih percaya pada kisah Abbas Jamal, dan menganggap kisah Ibnu Ishaq yang sudah ditulis sejak abad ke-8 adalah fitnah yang dilakukan oleh musuh musuh Islam, atau oleh kalangan Islam dari golongan Syiah atau Orientalis yang sengaja menjelek-jelekkan Rasulullah. Kasihan sekali..! Sirah Ibnu Ishaq lebih tua dari hadis Bukhari.


Jika umat Islam lebih percaya kepada hadis dari pada buku sirah, inilah hadisnya;


Terjemah Sahih Bukhari, jilid II, no 899:

Dari Ibnu Abbas r.a, yang berkata ; “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w mengawini Maymunah ketika sedang berihram. 


11. MARIA QUPTIYAH (Budak dari Mesir)


Suatu hari Muhammad mengutus salah satu sahabat untuk membawa surat kepada Al-Muqawqis, penguasa Mesir, dan memerintahkan agar ia memeluk Islam...


"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Al Muqauqis pembesar bangsa Qibthi. Salam sejahtera bagi orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba'du:


Aku mengajakmu untuk memeluk Islam. Masuk Islamlah engkau, niscaya engkau selamat. Masuk Islamlah, Allah akan memberimu pahala dua kali lipat. Namun bila engkau berpaling, niscaya engkau akan menanggung dosa bangsa Qibthi.


(Allah berfirman), 'Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) sama antara kami dengan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah dan tidak mempersekutukanNya dengan apapun dan tidak  (pula) sebagian yang lain sebagai sembahan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka. 'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)'." (Ali Imran:64)


Muqauqis menjawab, "Sesungguhnya kami telah mempunyai agama tersendiri, yang tidak akan kami tinggalkan kecuali karena ada agama yang lebih baik darinya."

[Sirah Nabawiyah-Syeikh Syafiyurrahman Al-Mubarakhfury]


Al-Muqawqis tidak mengindahkan perintah Muhammad, tapi ia mengetahui kelemahan Muhammad, maka ia memberikan hadiah berupa; jubah terbuat dari bahan yang bagus, seekor bagal, dan hadiah persembahan dua wanita Kristen Koptik yang dikawal oleh seorang pertapa tua. Dua wanita Mesir itu cantik. Menurut Muqawqis kedua wanita itu memiliki kedudukan yang tinggi di Mesir. Mereka kakak beradik, bernama Shireen dan Maria Quptiyah.


Muhammad memilih Maria, adik dari Shireen yang lebih muda dan lebih cantik, Shireen ia berikan kepada salah satu sahabat. Kemudian Maria ditempatkan dirumah salah satu istri beliau, Hafsyah. Jadi status Maria adalah pembantu/budak Hafsyah. Dan Shireen diberikan kepada Hassan bin Tsabith.


Hafsah memergoki Muhammad sang suami menggauli budaknya (Mariyah Qoptiyah).


Berbagai Literatur Islam Tertua meriwayatkan hal itu:


Kitab At-Tabaqat Ibn Sa’d, Vol 8, hal. 195

 

Ibnu Sa’d menulis: “Abu Bkr menceritakan bahwa Rasul SAW melakukan persetubuhan dengan Mariyah di rumah Hafsa. Ketika rasul keluar rumah, Hafsa duduk digerbang (di belakang pintu yg terkunci). Dia bilang pada nabi, O rasul, apa anda melakukan ini di rumahku dan ketika giliranku? Nabi berkata, kendalikan dirimu dan biarkan aku pergi karena aku telah membuatnya (Mariyah) haram bagiku. Hafsa berkata, "Aku tidak terima kecuali kamu bersumpah bagiku." Hazrat (yg mulia) itu berkata, "Demi Allah aku tidak akan menyentuhnya lagi.”

 

Kitab Asbabun Nuzul Imam Suyuti, Halaman 585:

 

Diriwayatkan oleh Anas: Suatu hari Rasulullah menggauli seorang budak wanita miliknya. Aisyah dan Hafshah lantas terus-menerus memperbincangkan kejadian tersebut sampai akhirnya Rasulullah menjadikan budaknya itu haram bagi diri beliau (tidak akan digauli lagi). Allah lalu menurunkan At-Tahrim ayat 1: "Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."


Kitab Asbabun Nuzul Imam Suyuti, Halaman 586:


Suatu ketika, Rasulullah menggauli Maria, seorang budak wanitanya, di rumah Hafsah. Tiba-tiba Hafsah muncul dan mendapati Maria tengah bersama Rasulullah. Hafsah lalu berkata, "Wahai Rasulullah, kenapa harus di rumah saya, tidak di rumah istri-istri engkau yang lain?" Rasulullah lalu berkata, "Wahai Hafsah, mulai saat ini haram bagi saya untuk menyentuhnya kembali. Rahasiakanlah ucapan saya ini dari siapapun." Akan tetapi ketika Hafsah keluar dan bertemu dengan Aisyah, ia lantas membocorkannya. Allah lalu menurunkan ayat 1, "Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu demi menyenangkan hati istri-istrimu...."


Tafsir Maududi Q33:50 (http://www.quranenglish.com/tafheem_quran/033-2.htm).


Setelah kejadian yang memalukan antara Muhammad dan Maria dirumah Hafsyah tersebut, Maria ditempatkan dirumah yang pernah dihuni Safiyah. Disana Muhammad malah lebih leluasa mengunjunginya hingga Maria hamil. Karena itu istri-istrinya yang lain menjadi cemburu dan protes secara terang terangan yang membuat Maria semakin tidak nyaman. Akhirnya Maria ditempatkan di Madinah atas. Pada mulanya Aisyah dan istri lainnya merasa lega. Tapi mereka segera merasa bahwa protesnya sia-sia.


Menurut para sejarah Islam, Maria atau dalam tradisi Islam disebut ‘Mariyah Qiptiyah’, bukanlah istri Nabi atau ‘Ummul Mu’minin’ (Ibu

umat Muslim). Ibnu Hiyam pun dalam sirahnya tidak menyebutkan bahwa Maria sebagai salah satu istri nabi. Maria tetap memeluk agama Kristen koptik dan tetap berstatus budak. Usia Maria saat itu tidak dapat dipastikan. Yang bisa dipastikan adalah Maria pasti masih muda, karena tidak mungkin penguasa Mesir, Al-Muqawqis, meberikan wanita-wanita tua sebagai hadiah. Ada yang menyebutkan umur mereka sekitar 18–20 tahun. Kemudian Maria hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama ‘Ibrahim’. Namun Ibrahim meninggal dunia di usianya yang baru 2 tahun.


Sahih Bukhari, Vol 2, buku 18, no 153 atau Sahih al-Bukhari, 1043:

Gerhana matahari terjadi dalam masa hidup Rasul Allah ketika (putranya) Ibrahim wafat. Lalu orang mengatakan bahwa matahari mengalami gerhana karena kematian Ibrahim. Rasul Allah berkata, “Matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian atau kehidupan (yaitu kelahiran) seseorang. Apabila engkau melihat gerhana, berdoalah dan sebutlah nama Allah”.


Hadis Ibnu Majah, no 1577:

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Malik dari Abu Utsman dari Usamah bin Zaid yang berkata, "Anak (dari salah seorang isteri) Rasulullah dalam keadaan sakratul maut, maka ia mengutus seseorang menemui Rasulullah agar beliau pulang. Namun beliau balik mengutus seseorang untuk menyampaikan bahwa milik Allah lah yang Ia ambil, dan bagi-Nya yang Ia beri, di sisi-Nya segala sesuatu telah ditentukan ajalnya. Maka hendaklah ia (isteri beliau) sabar dan mengharap pahala. Akan tetapi isteri beliau kembali mengutus seseorang dan bersumpah atasnya, maka Rasulullah pun bangkit, demikian juga dengan aku. Beliau bersama Mu'adz bin Jabal, Ubay bin Ka'b dan Ubadah bin Ash Shamit. Ketika kami masuk mereka meraih bayi Rasulullah, sementara ruh bayi itu bergejolak dalam dadanya." Abu Utsman berkata, "Menurutku Usamah bin Zaid mengatakan, "Seperti air dalam geriba. " Usamah bin Zaid berkata, "Rasulullah pun menangis. Sehingga Ubadah bin Ash Shamit berkata kepada beliau, "Kenapa engkau menangis ya Rasulullah?" beliau menjawab: "Ini adalah kasih sayang yang Allah berikan kepada anak cucu Adam, dan Allah akan menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang.”


Dalam hadis Ibnu Majah ini, mengapa periwayat atau penerjemah hadis memberikan tanda kurung dalam kalimat ‘Anak (dari salah seorang isteri) Rasulullah’? kalau memang bunyi kalimat aslinya seperti itu, seharusnya tanda kurungnya tidak perlu digunakan. Mungkin penerjemah hadis ingin menegaskan pembacanya bahwa Maria adalah istri sah nabi karena ia melahirkan Ibrahim, anak Muhammad. Padahal Maria tetap berstatus budak sampai kematiannya.


Tadinya Muhammad tidak mau pulang, padahal anaknya – Ibrahim - sedang sekarat, sampai dijemput dua kali. Lalu tiba-tiba dia mengatakan “ini adalah kasih sayang yang Allah berikan”. Kasih sayang? kasih sayang apa..!? Dalam hadis, Ibnu Majah jelas-jelas meriwayatkan bahwa Muhammad cuek! sampai dijemput dua kali..!


Bersambung......

Akbarman Tanjung

Istri Istri Muhammad (Ep 14)


Lanjutan perdebatan antara Basam Zawadi vs Ali Sina tentang Syafiah...


Basam Zawadi melanjutkan:

Safiyah menjalin hubungan yang hangat dan simpatik dengan semua anggota keluarga Nabi. Ia menghadiahkan Fatima az-Zahra perhiasan untuk menunjukkan kasihnya kepada Fatima, dan ia juga memberikan hadiah-hadiah kepada beberapa orang istri Nabi, yaitu perhiasan-perhiasannya yang dibawanya dari Khaybar. [Ibn Sa’d, Tabaqat, vol Vlll, hal 100, Terdapat dalam Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, hal 172].


Tanggapan Ali Sina:

Dengan kata lain, ia berusaha untuk mendapatkan simpati mereka sehingga menurunkan tingkat kebencian mereka kepadanya. Membuat senang orang lain adalah strategi kaum yang lemah agar dapat tetap eksis.


Zawadi mengatakan:

Berkenaan dengan tuduhan bahwa Safiyah dipaksa menikah atau dimanfaatkan, seperti yang dituduhkan oleh kaum Islamofobia, klaim ini sama sekali tidak berdasar. Kita semua tahu bahwa Safiyah tetap setia kepada Nabi hingga ia wafat.


Tanggapan Ali Sina:

Benarkah demikian?! Jadi apakah Safiyah menolak menemui semua pria yang mengiriminya mawar dan meneleponnya lewat telepon selularnya demi cintanya pada Muhammad..? Apakah ia mempunyai pilihan? Jika anda memenjarakan istri anda, anda tidak dapat mengatakan bahwa ia setia kepada anda. Safiyah sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat semaunya.


Zawadi melanjutkan:

Pada kenyataannya, kita mendapati Nabi memberikan penawaran berikut ini kepadanya, seperti yang ditulis oleh Martin Lings: Ia (Muhammad) kemudian berkata kepada Safiyah bahwa ia akan membebaskannya, dan ia memberikan pilihan untuk tetap menjadi orang Yahudi dan kembali kepada kaumnya atau masuk Islam dan menjadi istrinya. “Saya memilih Allah dan Utusan-Nya”, katanya, dan mereka menikah tepat sebelum berangkat pulang. [Martin Lings, Muhammad: His Life Based On The Earliest Sources (George Allen & Unwin, 1983), hal 269]


Tanggapan Ali Sina:

Membebaskan katamu? Suami Safiah dibantai. Ayah dan pamannya dibunuh. Saudara-saudaranya digorok. Kerabat-kerabat perempuannya menjadi budak di rumah-rumah orang muslim. Kemana ia dapat pergi? Jika ia tidak menikahi Muhammad, ia akan menjadi budak seks orang-orang muslim lainnya. Bukankah awalnya Safiyah milik Dihyah, dan karena kecantikannya maka Safiyah diambil oleh Muhammad untuk dimilikinya, bukan untuk dibebaskan. Please be smart..! itu sebabnya saya katakan; Ketika kita membaca sebuah hadis, kita juga harus didorong untuk berpikir secara rasional. Kebenaran itu ada disana, tapi tidak dalam kata-kata yang tertulis, namun dalam implikasi dari perkataan perkataan itu. Dan yang terpenting adalah pelajari kisah keseluruhannya, episode per episode.


Zawadi melanjutkan:

Pernikahan dengan Safiyah juga mempunyai signifikansi politis, karena itu akan menurunkan kekerasan dan membangun sekutu. John L. Esposito menuliskan: "Sudah menjadi kebiasaan para pemimpin Arab melakukan pernikahan politik untuk memperkuat persekutuan. Yang lainnya menikahi para janda sahabatnya yang gugur di medan perang dan yang membutuhkan perlindungan. [John L. Esposito, Islam: The Straight Path, hal 19-20]


Tanggapan Ali Sina :

John Esposito telah menjual hati nuraninya. Dengan siapa Muhammad hendak memperkuat ikatan politiknya dengan menikahi Safiyah? Sukunya dimusnahkan, dibantai, diusir, dan ayahnya dipenggal. Satu pikiran rasional saja sudah bisa menghapus semua klaim ini.


Zawadi mengatakan:

Tindakan signifikan menikahi Safiyah ini sesungguhnya adalah penghormatan besar untuk Safiyah, karena ini bukan hanya untuk memelihara kehormatannya, tapi juga mencegahnya agar tidak dijadikan budak.


Tanggapan Ali Sina:

Nah..! Akhirnya..! Basam Zawadi mengatakan sesuatu yang dapat saya setujui. Itulah sesungguhnya apa yang saya katakan sejak awal di atas. Lihatlah bagaimana apologis muslim ini berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Sebelumnya ia mengatakan bahwa Muhammad menawarkan kebebasan kepada Safiyah. Kini ia mengakui bahwa pilihan lain untuk Safiyah hanyalah menjadi budak seks orang-orang islam lain. (Hahaha..! Itu artinya, Safiyah tidak punya pilihan lain! Ibarat makan buah si malakama. Jadi bukan karena Safiyah tulus menerima Muhammad - AT).


Zawadi melanjutkan :

Haykal mencatat; Nabi memberinya kebebasan dan kemudian menikahinya, mengikuti teladan para penakluk lainnya yang menikahi putri-putri dan istri-istri para raja yang telah mereka taklukkan, partly in order to alleviate their tragedy and partly to preserve their dignity. [Muhammad Husayn Haykal, The Life of Muhammad (North American Trust Publications, 1976), hal 373]


Tanggapan Ali Sina:

Saya benar-benar tidak dapat memahami pikiran muslim seperti anda. Bayangkan ada orang yang merampok rumah anda dan setelah membunuh anak-anak laki-laki anda, ia menjadikan putri-putri dan istri anda sebagai budak, kemudian si perampok mengakui putri anda sebagai istrinya, lalu ia berhubungan seks dengan putri anda. Apakah itu dapat mengurangi tingkat kepedihan dari tragedi tersebut atau bahkan anda malah merasa terhormat?


Pemikiran yang menyimpang ini berkaitan dengan fakta bahwa bagi orang Islam tindakan melegalkan pernikahan berarti memberikan kehormatan kepada si wanita dan keluarganya. Wanita adalah aurat, objek yang memalukan. Hanya jika ia menikah, maka ‘kemaluannya’ tertutupi. Sekali seorang wanita dianggap telah dinikahi dalam situasi dan kondisi apapun, maka ia dapat digauli dengan paksa (diperkosa secara sah). Dan berdasarkan hukum Islam itu bukanlah perkosaan. Betul apa benar?


Zawadi melanjutkan:

Dengan menikahi Safiyah, Nabi bermaksud untuk mengakhiri permusuhan dan kekerasan yang ditunjukkan orang Yahudi kepadanya dan kepada Islam selama ini, namun sayangnya mereka tetap membenci Islam dan nabi, semata-mata hanya karena kelicikan dan keras kepala memang sudah menjadi sifat bawaan mereka. [Lihat Muhammad M. as-Sawwaf, Zawjat ar-Rasul at Tahirat wa Hikmat T’adudihinn, hal 76-79, Terdapat dalam Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, hal 168]


Tanggapan Ali Sina:

Anda tahu, wahai Zawadi..? Pemikiran seperti ini memuakkan..!! Kapan orang-orang Yahudi memusuhi dan membunuhi orang lain karena suku orang itu atau karena agama orang itu? Kapan..? Orang Islam benar-benar berharap orang Yahudi mengasihi Muhammad karena ia telah meniduri seorang perempuan Yahudi, dan menyebut perempuan itu sebagai istrinya, dan membantai kaum Yahudi lainnya. Maka mereka harus melupakan kenyataan bahwa Muhammad telah membantai seluruh anggota keluarga dan sukunya?


Bagaimana bisa ada orang yang sangat terputus dari realita? Apa kaum muslim tidak bisa melihat bahwa memaksa dan membunuh adalah hal yang salah? malah mengharapkan kita berterimakasih kepada mereka karena telah memperkosa anak-anak perempuan kita setelah mereka membaca ayat mengenai pernikahan. Bagaimana kita dapat hidup berdampingan dengan orang-orang seperti itu? Bisakah kita berharap orang-orang Yahudi melupakan kejahatan Hitler dan sekaligus mengakui Hitler sebgai manusia mulia?


Pikir..! Apakah orang-orang Yahudi itu membalaskan dendamnya pada orang-orang Jerman? Sepertinya tidak! Ini menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi itu tidak seburuk seperti yang di doktrinkan Muhammad dan agama islamnya kepada kita. Itulah faktanya..!


Zawadi melanjutkan:

Sesungguhnya, ketika Bilal ibn Rabah, seorang sahabat Nabi, membawa Safiyah bersama perempuan-perempuan Yahudi lainnya ke hadapannya dengan melewati orang-orang Yahudi yang telah dibantai, Muhammad secara pribadi menegur Bilal dan berkata, “Apakah engkau tidak mempunyai belas kasihan, saat engkau membawa dua wanita ini melewati mayat suami-suami mereka?” [Alfred Guillaume (terj), The Life of Muhammad : A translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah (Oxford University Press, 1978), hal 515]


Tanggapan Ali Sina:

Marilah kita membaca kutipan selengkapnya dari Sirah Ibn Ishaq itu; “Setelah Utusan Allah menaklukkan al-Qamus, benteng Ibn Abi al-Huqaiq, Safiyah bint Huyay bin Akhtab dibawa kepadanya, dan seorang perempuan lain bersamanya. Bilal, yang membawa mereka, membawa mereka melewati beberapa orang Yahudi yang telah dibantai. Ketika wanita yang bersama Safiyah melihat mereka, ia berteriak, memukuli wajahnya, dan menaruh abu tanah di kepalanya. Ketika Rasul Allah melihatnya, ia berkata, ‘Singkirkan iblis perempuan ini dari hadapanku!’ Perempuan itu menyembunyikan Safiyah dibelakangnya agar Utusan Allah tidak melihat Safiyah dan mengambilnya”.


Kemudian Bilal membawa Safiyah dan saudari iparnya itu kepada Muhammad agar ia dapat memilih salah satu dari antara mereka untuk melayaninya malam itu, sedangkan Muhammad bersama para jihadisnya baru saja selesai menyiksa Kinana (suami Safiyah) sampai mati. Ketika melihat jenazah abangnya, adik perempuan Kinana itu menjadi histeris. Sang Nabi Allah menampar wajahnya dan berkata, “Singkirkan iblis perempuan ini dari hadapanku!”


Kesalahan perempuan itu hanyalah menjerit saat melihat jasad abangnya dipenggal. Kemudian Sang ‘Insan Kamil’ ini menegur Bilal dan berkata, “Apakah engkau tidak mempunyai belas kasihan, saat engkau membawa dua wanita ini melewati mayat suami dan saudara mereka?” Seperti itukah yang dimaksud orang islam ketika mereka berbicara mengenai belas kasihan nabi mereka? Oh my Gosh..!


Bersambung......

Akbarman Tanjung

Istri Istri Muhammad (Ep 13)


Masih tentang Syafiah. Dibawah ini adalah perdebatan antara Ali Sina vs Basam Zawadi. Apabila kalian mengklaim bahwa cara beragama kalian mengedepankan logika bukan doktrin tentang kemuliaan seseorang, mari simak perdebatan ini. Bagi saya ini adalah perdebatan antara Dalil dan Logika. Kecuali kalian mengakui bahwa apa yang kalian yakini bukan berdasarkan logika, tapi yang penting yakin..!


Seorang apologis muslim bernama Basam Zawadi mengutip berbagai hadis untuk membuktikan tidaklah adil jika mengatakan bahwa pernikahan Muhammad dengan Safiyah adalah pemaksaan (perkosaan) dan bahwa sesungguhnya wanita itu mencintainya. Inilah yang ditulisnya;


Zayd ibn Aslam mengatakan, “Ketika Nabi sakit parah dan berada di ujung ajalnya, istri-istrinya berkumpul di sekelilingnya. Safiyah bint Huyay mengatakan, ‘Wahai Utusan Allah, demi Allah, saya ingin menggantikan tempatmu.’ Mendengar perkataannya itu, istri istri Nabi mengedipkan mata padanya. Nabi melihat mereka dan berkata, ‘Cucilah mulut kalian’. Mereka berkata, ‘Untuk apa, Utusan Allah?’ Ia berkata, ‘Karena kalian mengedipkan mata padanya, demi Allah, ia mengatakan kebenaran”.

(Ibn Sa’d, Tabaqat, vol 8, hal 101, terdapat dalam Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, hal 175)


Tanggapan Ali Sina:

Keyakinan yang mencengkram Zawadi telah membuat ia tidak melihat dinamika. Agar dapat memahami dinamika situasi tersebut, kita harus melihat melampaui kata-kata yang tertera dalam hadis (bukankah hal itu yang diajarkan Islam; melihat yang tersirat, bukan hanya yang tersurat?). Setiap episode, atau hadis yang diisolir, hanya bermakna sedikit. Hanya jika kita menyatukan semuanya, seperti potongan-potongan teka-teki gambar (puzzle), barulah gambar yang sebenarnya akan kelihatan.


Safiyah adalah seorang tawanan. Ayahnya dan pamannya dipenggal, dan suaminya disiksa sampai mati. Semua saudara laki-lakinya dan kerabat pria dibantai dan semua kerabatnya yang perempuan diperbudak oleh Muslim. tinggallah ia sendirian. Ia terperangkap ditengah-tengah musuh. Apakah masuk akal jika orang dalam situasi seperti itu mencintai orang yang menangkapnya dan orang itu telah membunuh orang orang yang dikasihinya? Film tentang seorang wanita yang kemudian mencintai penculiknya pun, si penculik tidak membunuh seluruh keluarga si wanita!


 Zawadi melanjutkan dengan hadisnya;

“Inilah Umm al-Mu’minin, Safiyah, mengenang saat-saat ia membenci Nabi karena telah membunuh ayahnya dan mantan suaminya. Nabi meminta maaf kepadanya dan berkata, “Ayahmu memerintahkan orang-orang Arab untuk memerangiku dan telah melakukan tindakan yang keji”, ia memohon maaf sedemikian rupa sehingga Safiyah membuang kepahitannya terhadap Nabi.

(Al Bayhaqi, Dala’il an-Nubuwwah, vol. 4, hal 230, Terdapat dalam Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, hal 166)


Tanggapan :

Apakah ini masuk akal? Semudah itukah Muhammad meminta maaf dan Safiyah dengan legowo memaafkan setelah suami dan ayahnya dibunuh? Muhammad membantai ayahnya, suaminya dan saudara-saudaranya, lalu kemudian membenarkan tindakan-tindakannya itu, dan seperti yang dikatakan Zawadi, ia meminta maaf (apa benar Muhammad minta maaf?) lalu wanita itu memaafkannya? Saya tidak tahu persis apa yang sedang ditutup tutup Zawadi, (walau sebenarnya saya tahu. Otaknya dipenuhi dengan doktrin), tapi argumennya tidak masuk akal. 


Anda membunuh ayah dan suami seseorang serta seluruh anggota keluarganya, kemudian anda menjelaskan mengapa anda harus melakukannya, lalu kemudian orang itu memaafkan anda begitu saja? Apakah ketika Muhammad menceritakan kejahatan orang tua Safiyah lalu Safiyah percaya begitu saja dan berterimah kasih? Apakah Safiyah berpikir bahwa Muhammad lebih tahu tentang ayahnya dari pada dia sendiri sebagai anaknya? Cara berpikir seperti inilah yang membuat Muslim percaya pada absurditas apapun. Jika Muslim menggunakan sedikit saja akal sehatnya, mereka pasti akan skeptis.


Basam Zawadi mengatakan;

Ya, memang benar pertama-tama Safiyah sangat marah pada Nabi namun kemudian ia mengampuninya. Ini terjadi terutama berkaitan dengan kenyataan bahwa ia selalu memandang Muhammad sebagai seorang Nabi. Safiyah berkata, “Aku adalah anak kesayangan ayah dan pamanku. Ketika Utusan Allah datang ke Medinah dan tinggal di Quba, orang-tuaku pergi menemuinya pada malam hari dan ketika mereka terlihat sangat gelisah dan letih aku menyambut mereka dengan riang. Namun aku terkejut karena tidak seorangpun dari mereka melihatku. Mereka sangat berduka sampai-sampai mereka tidak menyadari kehadiranku. Aku mendengar pamanku, Abu Yasir, berkata kepada ayahku, ‘Benarkah dia (Muhammad) orangnya?’ Ia berkata, ‘Demi Allah, iya’. Pamanku berkata: ‘Dapatkah engkau mengenalinya dan mengkonfirmasi hal ini?’ Ia berkata, ‘Ya’. Pamanku berkata, ‘apa yang kau rasakan mengenai dia?’ Ia berkata, ‘Demi Allah, aku akan menjadi musuhnya seumur hidupku.”

(Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, vol. 2, hal. 257-258, Terdapat dalam Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, hal.162).


Cerita di atas menggambarkan kewaspadaan dan kecerdasan Safiyah. Cerita itu juga menunjukkan bahwa orang Yahudi telah mengetahui kenabian Muhammad, dan mengenalnya sebaik mereka mengenal anak-anak mereka. Namun demikian, mereka mempunyai rasa benci dan kepahitan kepada Islam dan kepada Nabi. Tambahan lagi, cerita itu menunjukkan adanya permusuhan dan kebencian besar yang dirasakan Bani Huyay terhadap Utusan Allah. Safiyah tidak mewarisi apapun dari ayahnya karena Allah telah mempersiapkan hatinya untuk Islam dan menyiapkan jiwanya untuk iman Islam.

(Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, hal.162-163).


Tanggapan :

Orang-orang yang narcistik mengalami delusi bahwa semua orang mengetahui kehebatan dirinya dan jika ada orang yang menentang mereka, itu karena iri hati. Hadis di atas adalah satu contohnya. Bagaimana kita dapat diyakinkan bahwa orang-orang yang mengetahui seseorang adalah utusan Tuhan kemudian memutuskan untuk menolaknya dengan keras? Apakah ini benar benar masuk akal? Tidak! Tidak bagi orang yang normal. Tapi dapat masuk akal bagi orang yang narcistik. Narcisisme adalah sebuah gangguan mental. Fungsi otak mengalami gangguan. Orang yang narcistik mengalami gangguan untuk memahami realita. Mereka meyakini bahwa mereka benar dan siapa yang tidak sepakat dengan mereka adalah sesat. Bukan sebaliknya. Bagaimana bisa ada orang yang punya argumen sebodoh itu?


Lebih jauh lagi, bagaimana orang Yahudi di Medinah dapat mengetahui bahwa Muhammad adalah Mesias yang mereka harapkan kedatangan Nya? Bukti apa yang dapat mereka lihat? Mengapa bukti itu sekarang tidak ada lagi? Orang Islam selalu mengklaim bahwa Muhammad disebutkan dalam kitab terdahulu. Salah satu klaimnya Kidung Agung 5:15 dalam Alkitab, semua itu tidak ada (Silahkan membaca Kidung Agung 5:15). Namun ketika menemukan kenyataan bahwa tidak ada nubuat tentang

Muhammad dalam Alkitab, maka kaum muslim mengatakan bahwa Alkitab (Injil) telah dipalsukan. Sungguh ini klaim absurditas yang terus berputar-putar di kepala muslim.


Muhammad tidak pernah disebutkan sama sekali dalam kitab manapun. Tidak ada bukti apapun mengenai dia dalam kitab suci apapun yang datang sebelum dia. Jadi bagaimana ayah dan paman Safiyah dapat mengetahui bahwa Muhammad adalah “dia”? Tidak satupun yang dapat membuat kita percaya bahwa ia disebutkan dalam kitab itu sebagai orang yang dijanjikan bagi orang Yahudi dan Kristen, Baik dari kitab Torah (Taurat), Injil, apalagi Talmud. Siapapun yang percaya pada klaim-klaim ini sepertinya kurang kecerdasannya, atau orang cerdas yang lebih mengutamakan iman.


Banyak Muslim sangat membenci Baha’u’llah. Akankah mereka menolak untuk percaya setelah mereka yakin bahwa Baha’u’llah adalah seorang utusan Tuhan? Tentu saja tidak! Argumen seperti ini bertentangan dengan akal. Hanya orang yang kurang akal yang dapat mempercayai absurditas ini. Tunjukkanlah pada saya satu orang yang mengakui bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang tertulis dalam kitabnya namun ia tidak percaya kepadanya? Ini mustahil! Ini adalah argumen terbodoh yang dapat dibuat orang.


Tragedinya bukanlah pada sebuah kebohongan itu saja, namun kenyataan bahwa pada tingkat dimana mereka tidak dapat lagi berpikir secara rasional. Mereka melihat segala sesuatunya buram. Bagi mereka realita sudah terganggu. Bagaikan berkaca pada sebuah cermin yang berlekuk-lekuk. Jika anda mau melihat secara jujur dan jernih, maka paradigma anda akan berubah. Anda akan mulai melihat segala sesuatunya dalam dimensi yang sebenarnya. Bukan hanya opini anda yang berubah, keseluruhan orientasi kognitif fundamental anda berubah.


Banyak muslim percaya bahawa alasan orang-orang yang mengkritisi Islam adalah karena mereka itu iri hati, atau hatinya berpenyakit. Mereka yang berpikir jernih tidak merasa perlu untuk membuktikan klaim islam. Bagi mereka, itu tidak dibutuhkan, karena sudah sejelas keberadaan matahari. Jika anda tidak melihat matahari, itu karena anda tidak ingin melihatnya. Sebagai akibatnya, siapapun yang tidak sepakat dengan muslim dan islam akan direndahkan martabatnya sebagai manusia dan dipandang sebagai sekutu setan. Oleh karena itu, merampas hak azasi manusia adalah tindakan yang mereka benarkan.


Zawadi mengutip situs Islam lainnya;

“Nabi yang datang berikutnya dan yang terakhir secara akurat ditulis dalam Taurat, yang juga memuat tanda-tanda yang mudah dikenali orang Yahudi”, tetapi orang Yahudi menolaknya karena ia adalah seorang Arab sedangkan mereka mengharapkan seorang Yahudi.


Tanggapan :

Nah, tunjukkanlah pada saya dimana? Di bagian mana dalam Taurat, Muhammad diceritakan dengan sangat akurat sehingga orang dapat mengenalinya dengan mudah? Taurat yang mana? Ayat yang mana dan halaman berapa..?


Islam dibangun di atas fondasi yang rapuh. Klaim ini, seperti halnya semua klaim orang Islam lainnya, adalah sebuah klaim kosong! Ketika Muhammad berkata bahwa ia disebutkan dalam Alkitab, para pengikutnya tidak mempunyai Alkitab untuk mereka baca dan verifikasi. Mereka mempercayai begitu saja apa yang dikatakan pada mereka. Pada masa kini semua orang mempunyai akses kepada banyak Kitab. Bahkan online. Tunjukkanlah pada saya dimana Muhammad disebutkan? Jika anda berpikir kehormatan anda dapat dipulihkan dengan cara anda membunuh anak anda sendiri yang murtad, maka tentunya anda tidak merasa malu kalau hanya sekedar berbohong!


Zawadi melanjutkan pembelaannya:

Karakter Safiyah Ini menunjukkan betapa Safiyah adalah seorang yang sangat bertaqwa kepada Allah; Abdul Allah ibn Ubaydah berkata, “Sekelompok orang berkumpul di kamar Safiyah, salah seorang istri Nabi. Mereka mengingat Allah, membaca Qur’an dan bersujud. Safiyah memanggil mereka dan berkata, ‘Kamu bersujud dan membaca Qur’an tapi mengapa kamu tidak meratap (karena takut akan Allah)?”

[Abu Nu’aym al Asbahani, Hilyat al-Awliya‘, vol 2, hal 55, Dikutip dalam Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of the Prophet Muhammad: Their Strives and Their Lives, hal 177].


Tanggapan:

Tidak, ini tidak menunjukkan ketulusannya. Oleh karena episode ini terjadi setelah kematian Muhammad dan ia sudah tidak remaja lagi. Besar kemungkinan ia telah pulih dari sindrom yang dideritanya dan kemudian menjadi sarkastis. Ketika Barak Obama mencium tangan Raja Saudi. Saya bisa katakan, “Lain kali Obama harus sujud dan mencium sepatu Raja”. Apakah perkataan itu menunjukkan bahwa saya adalah orang yang sangat setia mengabdi pada Raja Saudi? Ternyata memang akal sehat dan berpikir rasional sangat dibutuhkan muslim.


Zawadi melanjutkan:

Ia masih mengalami kesulitan-kesulitan setelah kematian Nabi. Suatu ketika budak perempuannya menemui Amir Al-Muminin, Umar dan bertanya, “Amir al-Muminin! Safiyah mencintai hari Sabbath dan tetap menjalin hubungan dengan orang-orang Yahudi!” Umar menanyai Safiyah mengenai hal itu, dan Safiyah berkata, “Aku tidak mengasihi hari Sabbath lagi setelah Allah menggantikannya dengan hari Jum’at untukku, dan aku hanya menjalin hubungan dengan orang-orang Yahudi yang mempunyai hubungan kekerabatan denganku”. Kemudian ia menanyai budak perempuannya apa yang telah merasukinya sehingga ia mengadukannya kepada Umar dan budaknya itu menjawab; “Setan!” Lalu Safiyah berkata; “Pergilah, kamu sudah bebas”. Ini menunjukkan dan membuktikan bahwa Safiyah tetap menjadi seorang muslim yang setia bahkan setelah kematian Nabi.

[Diambil dari situs geocities.com/mutmainaa1/people/safiyah]


Tanggapan :

Nah! Hadis ini memberi banyak informasi. Budak Safiyah melihatnya melaksanakan Sabbath dan berhubungan dengan orang-orang Yahudi di Medinah. Gadis malang ini sendiri adalah seorang budak. Tuhan tahu trauma apa yang telah dialaminya. Mungkin ia ditangkap dari Iran atau Mesir. Kini ia mendapati dirinya dikelilingi oleh orang-orang jahat yang beranggapan ia adalah najis. Ia melaporkan apa yang dilihatnya kepada Umar, boleh jadi dengan harapan ia akan mendapatkan sedikit kebaikan. Apa yang dapat dikatakan Safiyah ketika ia diinterogasi? Dapatkah ia berdebat dengan Komandan Orang-orang Islam saat itu, seorang pria yang dikenal gampang marah dan mengatakan pada pria itu bahwa ia tidak percaya pada Muhammad dan Islam?


Safiyah harus menyembunyikan imannya demi keselamatan dirinya. Budak perempuan itu, yang kini menyadari bahwa perkataannya bertentangan dengan perkataan seorang Ummul Mu’minin, kuatir dan takut akan hidupnya dan menyalahkan Setan yang telah membuatnya melakukan hal ini. Setiap kisah adalah sebuah tragedi di dalam tragedi lainnya, semua orang adalah korban dari orang yang mengorbankan orang lain. Setan pasti bangga akan keberhasilannya ini.


Ketika kita membaca sebuah hadis, kita juga harus didorong untuk berpikir secara rasional. Kebenaran itu ada disana, tapi tidak dalam kata-kata yang tertulis, namun dalam implikasi dari perkataan perkataan itu. Untuk memahami hadis, bacalah apa yang tidak tertulis disana, bacalah yang tersirat, bukankah itu yang diajarkan islam? Saya orang Iran, fasih berbahasa Arab. Saya membaca Qur’an dan hadis, dan hampir semua buku-buku yang sama yang dibaca para Ulama Muslim. Namun, saya melihat apa yang tidak mau dilihat oleh ulama muslim selama 1400 tahun. Itu karena saya tidak menelan semuanya mentah-mentah. Saya merenungkan dan menganalisanya. Semua orang dapat melakukannya. Penting sekali ketika kita membaca sebuah buku, apakah buku religius atau tidak, kita membacanya secara kritis.


Bersambung......

Akbarman Tanjung

Istri Istri Muhammad (Ep 12)


Kembali pada kisah Safiyah. Ketika Muhammad menyerang Khaybar, mereka diserang secara mendadak. Kaum muslim melakukan penyergapan yang dipimpin Muhammad sendiri. Peperangannya disebut gazwah. Kaum Yahudi Madinah yang diserang bukanlah pasukan musuh yang siap melawan.


Kemudian Muhammad pun menangkap Kinana, suami Safiyah, dan menyiksa dia karena Muhammad ingin tahu dimana harta kekayaan dari Benteng tersebut disembunyikan. Ia menusukkan batangan besi yang panas pada mata Kinana. Tapi sepertinya Kinana adalah pemuda ksatria, ia tidak buka mulut. Namun seorang Yahudi lain telah mengabarkan kepada Muhammad dimana ia dapat menemukan harta kekayaan tersebut. Akhirnya Kinana mati dibawah penyiksaan. 

(Kisah ini juga terdapat pada Sirah Nabawiyah-Ibnu Hisyam, jilid 2, halaman 307)


Safiyah merupakan yang tercantik diantara para tawanan wanita. Ia baru berumur 17 tahun, istri dari Kinana. Bilal membawa Safiyah beserta saudara sepupu perempuan Kinana, menghadap Muhammad. Namun ketika sepupu perempuan Kinana ini melihat jenazah saudaranya terpotong-potong, ia pun menjadi histeris.


Di ceritakan bahwa jeritan tangis sepupu perempuan Kinana membuat Muhammad marah besar dan berkata, “Bawa setan perempuan ini pergi dari hadapanku”. Anehnya kemudian Muhammad berkata kepada Bilal, “Tidakkah engkau mempunyai perasaan manusiawi sehingga menjejerkan wanita-wanita ini di depan jenazah orang yang mereka cintai?”


Kisah ini juga terdapat dalam Sirah Nabawiyah-Ibnu Hisyam, jilid 2, halaman 306-307:

"Ketika Safiah melihat korban-korban saudaranya, ia berteriak sambil memukul wajahnya dan menumpahkan tanah keatas kepalanya. Ketika Rasulullah melihatnya beliau bersabda; 'Jauhkan dariku wanita syetan ini!' Kemudian Rasulullah memerintahkan Safiyah berjalan di belakang beliau dan mengenakan baju beliau kepadanya. Kaum muslim pun paham bahwa beliau memilih Safiyah untuk diri beliau sendiri. Beliau bersabda kepada Bilal; 'Sungguh kasih sayang dicabut darimu, ketika engkau berjalan bersama kedua wanita ini melewati korban-korban keluarganya."


[Catatan: Wah! Betapa hebatnya sang Nabi yang penuh dengan belas-kasih dan perasaan manusiawi ini! Tapi bukankah jenazah orang yang Safiyah cintai itu mati akibat dari kekejaman pengikut nabi sendiri? Aneh bukan..?]


Selanjutnya Muhammad membawa Safiyah ke tendanya, dan Safiyah telah menjadi seorang janda karena suaminya mati beliau bunuh. Tentu saja (muslim berkilah), bahwa fakta ia muda dan cantik tidak ada hubungannya dengan keputusan Nabi, masih ada beratus-ratus wanita lain yang juga telah menjadi janda pada hari tersebut.


Berikut ini adalah periwayatan Tabaqat-Ibnu Sa’d;

“Safiyah dilahirkan di Medina. Ia berasal dari suku Yahudi Banu Al-Nadir. Ketika suku ini diusir dari Medina tahun 4 H, Huyai adalah salah satu dari orang-orang yang menetap di wilayah subur Khaybar bersama Kinana Ibn al-Rabi’ yang menikahi Safiyah sesaat sebelum muslim menyerang Khaybar. Ia berumur 17 tahun. Sebelumnya Safiyah adalah istri dari Sallam Ibn Mishkam yang telah menceraikannya. Disinilah, satu mil dari Khaibar, Nabi menikahi Safiyah. Dia dipelihara dan dirawat untuk nabi oleh Umm Sulaim, ibu dari Anas bin Malik. Mereka menginap disana. Abu Ayyub al-Ansari menjaga tenda nabi sepanjang malam. Pada saat subuh, Nabi yang melihat Abu Ayyub berjalan hilir mudik itupun bertanya kepadanya apa maksudnya, dan ia menjawab: “Saya khawatir akan engkau karena perempuan muda itu. Engkau telah membunuh ayahnya, suaminya, dan banyak dari keluarganya, dan dia juga masih seorang kafir. Saya sungguh khawatir terjadi apa apa pada engkau karena dia. Nabipun mendoakan Abu Ayyub al-Ansari. Safiyah telah meminta kepada Nabi untuk menunggu hingga ia telah lebih menjauh dari Khaibar. “Kenapa?” tanya Nabi. “Saya mengkhawatirkan engkau karena orang-orang Yahudi yang masih dekat dengan Khaibar!”


Alasan Safiyah menolak pendekatan Muhammad didalam tendanya tentu jelas bagi setiap orang yang berpikir. Saya percaya, praktis semua wanita memilih untuk berkabung ketimbang melompat ke atas tempat tidur bercengkerama dengan si pembunuh ayahnya. Karena pada hari itu juga Muhammad baru saja membunuh suami dan banyak anggota keluarganya. Tetapi kenyataannya Nabi Allah ini tak dapat menahan keinginan biologis untuk satu hari saja dengan membiarkan perempuan muda ini berkabung.


Ini semua menggambarkan karakter Muhammad. Ia adalah seorang yang tidak memiliki empati, ia tidak mengenal ‘Golden Rule’, itu sebabnya ia tidak bisa mempraktekkan kedalam ajaran agamanya tentang aturan emas, seperti; “Jangan menyakiti orang lain seperti kita tidak ingin disakiti, atau ampuni dan berdoalah bagi musuhmu” Ia hanya focus pada kepentingan dirinya dan kelompoknya, dan dengan mengatasnamakan Tuhan ia membunuh mereka yang menghalanginya. Dengan cara-cara yang di praktekan oleh Muhammad dalam menyebarkan agamanya, maka saya menyimpulkan; tuhan hanya atas nama, sebagai alat, bukan tujuan!


Terjemah Sahih Bukhari, jilid II, no 1095:

Dari Anas bin Malik r.a, yang berkata ; Nabi s.a.w tiba di perkampungan Khaibar. Setelah beliau menyerang dan diberi kemenangan oleh Allah swt untuk menduduki sebuah benteng perkampungan Yahudi. Lalu diceritakan oleh para sahabat kepada beliau tentang kecantikan Safiyah binti huyai bin Akhtab yang suaminya (Kinana) telah dibunuh kaum Muslim, sedangkan mereka baru saja menikah. Maka Rasulullah s.a.w mengambilnya. Kemudia Rasulullah pergi membawa Safiyah. Setelah kami sampai di Saddir Rauha, Rasulullah campur dengan Safiyah. Kemudian beliau membuat kue pada sebuah tempat kecil, lalu beliau berkata; “Beritahulah orang-orang disekitarmu.” Yang demikian itu adalah pesta perkawinan Rasulullah s.a.w dengan Safiyah. Setelah itu kami terus berjalan kembali ke Madinah.”


Untuk kelanjutan kisah ini kita tidak tahu persis apakah benar atau telah direkayasa oleh ahli sejarah muslim yang ingin mengosongkan adanya kesan pemaksaan/perkosaan, karena sejarah ditulis oleh pihak yang berkuasa. Tetapi ini adalah semua referensi yang kita miliki, dan untuk menemukan kebenarannya kita hanya bisa bergantung pada dokumen-dokumen yang terlihat bias ini, yang dilaporkan dan ditulis oleh pihak dari orang-orang islam itu sendiri yang memuja Muhammad sedemikian rupa.


Kisah selanjutnya menggambarkan Abu Ayyub yang mengkhawatirkan keselamatan Nabi, karena Nabi telah membunuh ayah, suami dan sejumlah anggota keluarga Safiyah. Hal ini logis bagi Abu Ayyub untuk menjaga Muhammad karena Muhammad tidur dengan seorang wanita dimana orang-orang yang dicintai oleh wanita tersebut baru saja dibunuhnya. Namun tampak bias alasan penolakan Safiyah terhadap pendekatan seksual Muhammad dalam periwayatan Ibnu Sa’d. Tampak sekali kurang masuk akal.


Ketika Muhammad membawa wanita muda ini ke dalam tendanya, beliau baru saja membunuh banyak orang Yahudi, dan memperbudak orang-orang Yahudi lainnya sebagai tawanan. Jikalau masih ada orang Yahudi yang tertinggal, maka mereka mungkin lebih mengkhawatirkan hidup mereka sendiri ketimbang masalah apakah apakah Safiyah diperkosa atau tidak di tendanya Muhammad. Lagipula wanita ini telah ada di dalam tenda hanya berdua dengan Muhammad, jadi bagaimana orang-orang Yahudi akan mengetahui kalau-kalau mereka melakukan hubungan intim?

 

Kalau tidak bodoh, alasan ini kedengarannya terlalu polos dan tampaknya dipaksakan oleh muslim untuk mengklaim seolah-olah Safiyah sendiri menginginkan hubungan intim dengan Muhammad, sehingga Safiyah mengkhawatirkan keselamatan Nabi (jadi bukan karena ada unsur pemaksaan/perkosaan). Masihkah kita mempercayai apa yang kita dengar atau apa yang kita baca tanpa berpikir? Namun saya masih percaya ada orang-orang waras dan jujur yang menyadarinya sebagai sebuah kebohongan.


Dikatakan lebih lanjut, “Hari berikutnya Walima (pesta pernikahan) diselenggarakan atas Nabi.” Harap dicatat, penulis riwayat ini berkata, bahwa pernikahan terjadi diperjalanan setelah Muhammad semalaman berduaan dengan Safiyah di tendanya. Beliau melakukan hubungan intim dengan Safiyah atau tidak ini tidak mendatangkan persoalan kepada Nabi, karena ia telah mengantongi wahyu Allah yang mengatakan bahwa tidur dengan wanita yang ditangkap dari peperangan boleh-boleh saja, dan tanpa harus menikahinya pun sah-sah saja, sekalipun mereka telah bersuami tadinya;


“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki… “ (An-Nisaa, 4:24)


Sekali lagi saya ingatkan, kata dalam kurung pada ayat-ayat Qur’an biasanya adalah tambahan atau interpretasi dari penerjemah. Ayat di atas menunjukkan bahwa Muhammad tidak berpendapat bahwa para budak mempunyai hak-hak apapun, dan setiap tawanan wanita statusnya menjadi budak bagi sang penawan. Ketika Muslim berkuasa, ini akan menjadi nasib buruk bagi semua wanita non-Muslim. Muslim tidak dapat mengubah sedikitpun apa yang telah dikatakan atau dikerjakan oleh Muhammad. Dan ini telah dikonfirmasikan dalam kitab yang lebih tinggi kedudukannya, yaitu al-Qur’an:


Al-Mu’minuun (QS 23;1-7):

1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,

2. (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya,

3. dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,

4. dan orang-orang yang menunaikan zakat,

5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,

6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

7. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.


Tawanan wanita sama dengan budak. Karena bisa diperjual-belikan dan halal di setubuhi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tenaga kerja wanita kita di Arab, banyak yang diperkosa secara bergilir, karena bagi mereka TKI adalah budak, dan budak wanita halal di setubuhi majikannya. Menyimak QS 23 ayat 7 diatas, saya bertanya-tanya; Apa yang dimaksud dengan orang-orang yang melampaui batas jika memperkosa tawanan wanita, meniduri budak, dan membunuhi orang-orang yang menentang Muhammad tidak dianggap melampaui batas?


Kita kembali pada Safiyah. Ibnu Sa’d, menyatakan; “Para istri Nabi lainnya menunjukkan cemburunya dengan melakukan pelecehan terhadap ke-Yahudi-an Safiyah. Namun Nabi selalu membelanya. Suatu kali Safiyah disakiti dengan olok-olokan dari istri-istri Nabi yang Arab itu secara melampaui batas. Maka iapun (Safiyah) mengeluhkan hal tersebut kepada Nabi yang merasa sangat mengasihinya. Ia menghiburnya. Ia membesarkan hatinya. Ia memberi pikiran logis kepadanya. Ia berkata: “Safiyah, bersikap teguh dan beranilah. Mereka tidak memiliki apapun yang melebihi engkau. Katakan kepada mereka: “Aku adalah anak putri Nabi Harun, keponakan Nabi Musa, dan istri dari Nabi Muhammad.” Ketika ia dibawa bersama dengan para tahanan perang lainnya, Nabi berkata kepadanya, “Safiyah, ayahmu selalu membenci aku hingga Allah menetapkan keputusan terakhir (dibunuh).” Safiyah menjawab, “Tetapi Allah tidak menghukum seseorang atas dosa orang lain."


Hal ini (apa yang dikatakan Muhammad) jelas berlawanan dengan perilaku Muhammad sendiri yang sudah menghancurkan seluruh Bani Qaynuqa dengan alasan bahwa beberapa diantara mereka telah membunuh seorang muslim ketika mereka membela dengan membalaskan kematian seorang Yahudi karena sebuah insiden di pasar Madinah. Kemudian Muhammad menyerang dan membunuh anggota suku itu ketika membalas kematian satu orang Muslim! Padahal muslim tersebut telah terlebih dahulu membunuh seorang Yahudi, namun itu tidak dianggap/diperhitungkan oleh Muhammad. beliau hanya membutuhkan sebuah alasan sebagai legalitas menyerang mereka dan mendapatkan jarahan.


Ini sungguh mengabaikan ayat yang berkata: “(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS 53:38). Jika umat Islam menganggap ayat Qur’an adalah firman Allah, maka jelas bukan Allah yang membuat keputusan akhirnya, tapi Muhammad. Jadi tampak jelas betapa Muhammad mencuci tangannya menggunakan air-ayat yang justru bertentangan dengan perilakunya terhadap Yahudi.


Ayah Safiyah dibunuh oleh Muhammad, bukan oleh Allah, tapi Muhammad mengklaim seolah-olah Allah-lah yang memutuskan untuk ia laksanakan. Jika Allah menginginkan kematian seluruh orang-orang Yahudi, tentu Ia telah melakukannya dengan cara-Nya sendiri. Allah tidak membutuhkan pembunuh bayaran dengan menghalalkan harta jarahan untuk melaksanakan kehendak-Nya.


Dikatakan lebih lanjut, “Kemudian Nabi memberinya kebebasan untuk memilih apakah Safiyah mau tetap bergabung dengan kaumnya, ataukah menerima Islam dan masuk dalam hubungan pernikahan dengan dia”. Memberinya kebebasan? Kebebasan macam apakah itu? Muhammad telah membunuh suaminya dan semua anggota keluarganya. Kemanakah Safiyah harus pergi sekarang? Bukankah kaumnya telah terbunuh dan diusir, wanita-wanita dan anak anaknya telah ditawan dan dijadikan budak..?! Masih tega-teganya penulis muslim berkata bahwa Safiyah diberikan kebebasan untuk memilih..!?


Lebih lanjut Ibnu Sa’d memuji Safiyah;

“Dia sangat pintar dan lembut hati dan berkata: “Oh Rasul Allah, aku telah berharap akan islam, dan aku telah menegaskan sebelum undanganmu. Kini ketika aku mendapat kehormatan berada dihadapanmu, dan diberi kebebasan untuk memilih diantara kafir dan islam, maka aku bersumpah demi Allah, bahwa Allah dan Rasul-Nya adalah lebih berharga kepadaku ketimbang kebebasan diriku dan bagaimana aku sebelumnya bergabung dengan kaumku.”


Apakah ini benar-benar sebuah pengakuan yang jujur dari Safiyah sendiri atau karangan Ibnu Sa’ad? Sebuah pernyataan yang berlebihan dari seorang tawanan wanita yang ayah dan suaminya dibunuh, justru menimbulkan kecurigaan atas sebuah hiperbola yang dipaksakan..!


Ibnu Sa’ad melanjutkan; Ketika Safiyah dijadikan istri oleh Nabi, ia masih sangat muda, dan menurut sebuah laporan ia hampir berumur 17 tahun dan berperawakan amat sangat cantik. Ia tidak hanya sangat dalam mencintai Nabi, tetapi juga sangat besar rasa hormatnya kepadanya sebagai Rasul Allah. Sebab ia telah mendengar apa yang dikatakan oleh ayah dan pamannya ketika mereka pergi ke Medinah. Ketika hijrah ke Medinah mereka datang bertemu dengan dia untuk mengetahui apakah dia betul Rasul Allah yang sejati seperti yang disampaikan oleh Alkitab. Ketika mereka pulang dan berbicara bersama malam itu, Safiyah ada ditempat tidurnya dan mendengar pembicaraan mereka. Salah satunya berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang dia?” Ia menjawab, “Ia adalah Nabi yang sama yang dinubuatkan oleh kitab kita.” Lalu berkata yang lain, “Apa yang harus dilakukan?”Dan jawabannya adalah bahwa mereka harus melawannya dengan segala kekuatan.


Kisah diatas juga diriwayatkan oleh Abu Dawud. Pada umumnya, seberapa dalam pengetahuan seorang anak perempuan berusia hampir 17 tahun tentang agama dan kitabnya? Bagaimanakah caranya kedua orang Yahudi itu mengenal Muhammad sebagai nabi yang dinubuatkan oleh Kitab Sucinya, lalu kok malah memutuskan untuk melawannya dengan segala kekuatan mereka?


Semestinya bila mereka tahu ada seorang nabi yang benar dan sesuai dengan nubuatan kitabnya, logikanya mereka pasti akan mendukungnya, bukan sebaliknya..! Dan dengan seenaknya ketika mereka tidak mendukung Muhammad, mereka dianggap benci kepada Muhammad karena Muhammad orang Arab. Padahal tidak ada bukti apapun bahwa Muhammad telah dinubuatkan dalam kitab mereka..!


Bersambung.....

Akbarman Tanjung

Istri Istri Muhammad (Ep 11)

 

Seorang ulama mengklaim bahwa Juwairiyah menjadi orang beriman yang sungguh-sungguh dan menghabiskan hari-harinya menjalankan sembahyang. Sumber klaim ini bisa ditemukan dalam buku ‘Usud-ul-Ghaba’, yang ditranslasikan seorang muslim India-Muhammad Yusuf Khandelvi. Disebutkan; biasanya ketika Nabi datang pada Juwairiyah maka ia menemukan Juwairiah sedang sembahyang, kemudian saat ia kembali pada waktu yang lain pun, ia masih saja menemukan Juwairiyah tengah sembahyang.


Mari kita melihat kisah ini dari sebuah perspektif yang lebih realistis. Letakkan diri anda dalam sepatu seorang wanita muda yang telah menjadi milik seorang pembunuh suaminya sendiri! Jika anda adalah seorang wanita yang berada dalam posisi Juwairiyah, bagaimana perasaan anda terhadap sang pembunuh suamimu, yang juga membunuhi banyak dari anggota keluargamu serta membunuh  yang engkau kasihi? Anggaplah bahwa engkau tidak punya tempat lain untuk pergi.


Juwairiyah tak punya pilihan lain yang lebih baik kecuali menerima tawaran Muhammad untuk menikahinya. Sekarang, apa yang seorang wanita akan perbuat ketika pria ini datang mengunjunginya untuk melakukan hubungan layaknya suami-istri? Boleh jadi ia memikirkan sebuah cara yang paling mungkin untuk menghindari pria ini, yaitu sholat. Seperti itulah kira-kira yang dilakukan oleh Juwairiyah. Setiap kali ia mendengar langkah kaki Muhammad, ia berpura-pura sedang sembahyang, dengan harapan bahwa Muhammad akan pergi ke isteri-isterinya yang lain.


Menurut seorang pejuang muslim, Abu Sa’id al-Khudri, ada beberapa wanita yang sangat cantik diantara para tawanan Bani Mustaliq. “Kami menginginkan mereka, karena kami menderita oleh karena istri-istri kami tidak ada, (tapi pada waktu yang sama) kami juga menginginkan tebusan untuk mereka.” Allah di Qur’an mengijinkan mereka untuk berhubungan seksual dengan budak-budak. Ketika dalam peperangan kami menangkap perempuan yang kami jadikan budak.


“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu...” (QS.4:24).


Akan tetapi jika mereka berniat untuk menahan wanita-wanita itu sebagai budak, mereka tidak dapat memperoleh uang tebusan untuk wanita-wanita itu. Jadi, Abu Sa’-id menjelaskan, “kami memutuskan untuk berhubungan seksual dengan mereka tetapi dengan melakukan ‘azl, yaitu coitus interruptus (mengeluarkan sperma diluar vagina). agar tidak hamil.” Namun demikian, Muhammad mengatakan; “Bukanlah soal, karena setiap jiwa yang harus dilahirkan hingga hari kebangkitan, maka akan tetap dilahirkan.” Pembuahan dan kelahiran tergantung pada Allah saja. Ini mengindikasikan bahwa melakukan 'azl' kepada tawanan wanita ia perbolehkan.


Ini adalah aspek yang problematis dari status kenabian yang dijunjung setinggi langit oleh para pengagumnya sebagai teladan tingkah-laku yang sempurna sampai akhir zaman. Menjadikan wanita sebagai hadiah perang, dengan mengabaikan kehendak mereka. 


Bahkan hingga saat ini, wanita sering diperlakukan sebagai komoditi. Sudah tentu, fenomena ini telah termanifestasi dalam berbagai tingkatan dalam semua budaya dan kelompok masyarakat, namun dalam dunia Islam sangatlah sulit dihapuskan karena sanksi profetis dan ancaman neraka yang diterimanya. Muhammad berpartisipasi dalam penangkapan para tawanan wanita. Dan ia mendapatkan wanita-wanita dari para tawanan itu, namun dengan cara yang menyiratkan seolah-olah wanita itu menyadari bahwa semua itu sudah takdirnya.


Tak ada seorang pun yang bermartabat bisa bersikap masa bodoh terhadap kejahatan kemanusiaan dizaman kapanpun, kecuali mereka sendiri bersedia menjadi bagian dari kriminalitas yang tak tahu malu. Sekarang sepenuhnya tergantung kepada anda para pembaca, bagaimana kalian akan menunjukkan rasa kemanusiaanmu.


8. UMM HABIBAB - Ramlah Bint Abu Sufyan


Umm Habiba adalah janda muda yang cantik menurut beberapa sumber. Ia telah menikah dengan Ubaydillah bin Jash. Ubaydilah adalah anak dari bibi Muhammad sendiri, dan sekaligus adalah saudara kandung Zaynab istri Zayd yang dinikahi Muhammad sebelumnya.


Ibnu Ishaq berkata, "Adapun Ubaydillah bin Jahsy, ia mencari agama Ibrahim yang lurus hingga masuk Islam dan hijrah bersama kaum muslim ke Habasyah. Ketika hijrah, ia membawa istrinya, Ummu Habibah binti Abu Sufyan yang juga telah masuk Islam. Namun ketika tiba di Habasyah, ia malah masuk agama Nasrani dan keluar dari Islam. Ia meninggal di Habasyah dalam keadaan memeluk agama Nasrani."


Muhammad bin Ja'far bin Az-Zubair berkata kepadaku; Sesudah Ubaydillah memeluk agama Nasrani, ia berjalan melewati sahabat sahabat Rasulullah saw yang berada di Habasyah. Mereka berkata, "Kami telah melihat, sedang kalian berusaha untuk melihat tetapi tidak bisa melihatnya. Ini karena jika anak anjing ingin membuka kedua matanya untuk melihat, ia takut untuk melihat.”


Setelah Ubaydillah bin Jahsy meninggal, kemudian Rasulullah saw menikahi istrinya, yakni Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Muhammad bin Ali bin Husain berkata kepadaku, "Rasulullah saw mengutus Amr bin Umaiyyah Adh-Dhamiri menghadap An-Najasyi, kemudian An-Najasyi melamar Ummu Habibah untuk Rasulullah saw dan beliau memberi mahar kepadanya sebesar empat ratus dinar." Muhammad bin Ali berkata, "Kami lihat Abdul Malik bin Marwan menentukan mahar wanita sebesar empat ratus dinar berdasarkan mahar Rasulullah kepada Ummu Habibah. Wakil Rasulullah dalam pernikahan tersebut adalah Khalid bin Sa'id bin Al-Ash."

[Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, Jilid I, hal 188]


Penulis lain mengindikasikan bahwa Ubaydillah belum meninggal ketika Muhammad menikahi istrinya. Ubaydillah dan istrinya tidak bersama lagi setelah Ubaydillah memeluk agama Nasrani. Atas pernikahan Muhammad dengan istrinya ini Ubaydillah berkata; “Engkau bukanlah seorang nabi ataupun Rasul Allah. Berhentilah mengatakan demikian. Engkau adalah orang yang hanya mementingkan diri sendiri.” [bint Al-Shati, hal 203].

Nampaknya ketika kita menempatkan diri kita pada posisi Ubaydillah, sungguh beralasan jika ia berkata demikian!


Sepertinya Ramlah dan Umm Habiba adalah orang yang sama. Ia anak perempuan Abu Sufyan yang dinikahi oleh Ubaydillah bin Jahasy dan dikaruniai seorang anak perempuan. Mereka termasuk golongan yang ikut hijrah ke Habasyah (Ethopia). Namun di Habasyah Ubaydillah bin Jahasy pindah agama menjadi Nasrani dan jadilah Ramlah hidup sendiri. Pernikahan dengan Muhamamad sendiri terjadi ditahun 7 H. Menurut versi Islam Ramlah dikisahkan berusia 40 tahun. Namun uniknya lagi-lagi sumber Encyclopedia Wikipedia memberikan data yang jauh lebih muda.


Sumber : wikipedia.org. Ramlah binti Abi Sufyan, aka Umm Habiba, was the daughter of Abu Sufyan. She was born c. 595 and died in 662 or 666.


Jika data Wikipedia benar maka usia Ramlah saat dinikahi oleh Muhammad ditahun 7 H adalah; 629 – 595 = 34 tahun. Ramlah atau Umm Habiba adalah istri ke-8 Muhammad.


9. SAFIYAH BINT HUYYAI BIN AKHTAB


Berikut ini adalah kisah tentang Safiyah Binti Huyyai bin Akhtab. umurnya sekitar 17 tahun. Wanita Yahudi ini ditangkap ketika pasukan Muhammad menyerang Khaybar dan membawanya kepada Nabi sebagai bagian dari rampasan perang. Muhammad memberi perintah agar Kinana, suami Safiyah, dianiaya hingga mati supaya ia (Kinana) mengaku dimana harta benda benteng Khaybar tersebut disimpan. Pada malam yang sama itu juga, Muhammad mengambil Safiyah dan dibawa ke tendanya.


Sahih Bukhari, Vol 4, Buku 52, No 143 & Vol 5, buku 59, No 523:

Ketika kami mencapai Khaybar, Muhamamd berkata bahwa Allah membuat dia bisa menaklukkan mereka. Saat itulah kecantikan Safiyah digambarkan kepadanya. Suaminya telah dibunuh (oleh Zaid), jadi Rasul Allah memilihnya untuk dirinya sendiri. Dia membawanya bersama dia hingga kami tiba di satu tempat di mana haidnya selesai dan dia memperistrikannya, menyetubuhinya, dan memaksanya memakai cadar.”


Al-Tabari melaporkan, ketika Rasul membawa Safiyah, dalam perjalanan Safiyah dirias dan disisir rambutnya, membuatnya pantas untuk Nabi. Rasul menghabiskan malam itu dengannya di tendanya. Abu Ayyub dengan pedangnya, menjaga Rasul, mengelilingi tenda hingga dia melihat Rasul keluar di pagi hari. Abu Ayyub berkata, “Aku sangat khawatir tentang engkau akan wanita ini karena engkau telah membunuh ayahnya, suaminya dan kaumnya.” Ketika Abu Sufyan mendengar Muhammad telah mengambil Safiyah, dia berkata; “Hidung kuda jantan itu tidak bisa dikontrol.” [At-Tabari, Vol VIII, hal 110].


Kisah ini dilaporkan secara detil oleh At-Tabari, juga dapat ditemui dalam Sirah Ibn Ishaq. Yang berikut ini dilaporkan dalam buku Tabaqat yang disusun oleh Ibn Sa’d;


Dua tahun sebelumnya Muhammad telah memancung kepala Huyai, ayahnya Safiyah, beserta 800-an pria dari Bani Qurayza. Huyai Ibn Akhtab, ayah Safiyah, adalah pemimpin Bani Nadir, salah satu suku Yahudi dari Madinah. Para pengikut Muhammad telah membunuh sepasang suami istri Arab yang sebelumnya telah menandatangani traktat perdamaian dengan Muhammad. Nabi memutuskan untuk membayar uang darah kepada keluarga korban yang salah bunuh. Ia lalu pergi ke Bani Nadir untuk meminta kepada mereka agar membayarkan uang darah ini.


Permintaan itu sangat aneh, sebab orang-orang Yahudi itu tak ada sangkut pautnya dengan pembunuhan tersebut. Namun orang orang Yahudi ini takut kepada Muhammad, karena Muhammad sebelumnya telah menghancurkan suku Yahudi yang lain, yaitu Bani Qaynuqa dan oleh karena itu mereka takut hal ini akan terjadi juga kepada mereka.


Orang-orang Yahudi Madinah selalu bersikap mengalah, sebenarnya mereka adalah orang-orang pandai tapi bisa dibilang pengecut. Dan mereka telah membayar mahal atas sikap pengecutnya itu. Para tua-tua bani Nadir akhirnya mengumpulkan uang yang diminta. Muhammad dan para sahabatnya duduk dibawah sebuah dinding-perteduhan dikawasan Yahudi sambil menanti.


Ketika Muhammad dan para sahabat duduk-duduk menunggu, Muhammad tiba-tiba bangkit dan pergi tanpa mengatakan apa-apa. Para sahabatnya melihat bahwa ia berjalan terus, maka mereka pun pergi juga. Akhirnya Muhammad mengatakan kepada mereka, bahwa malaikat Jibril yang memberitahukan kepadanya, bahwa orang-orang Yahudi sedang merencanakan untuk melemparinya dengan sebuah batu besar dari atas dinding-perteduhan dan ingin membunuhnya.


[Catatan: Kalau benar ada peringatan dari Jibril tentang rencana pembunuhan, mengapa para pengikutnya ditinggalkan diam-diam? 

Kalau Bani Nadir betul-betul ingin membunuhnya, mereka tidak perlu melemparkan batu padanya. Muhammad ada dalam tangan mereka ketika itu. Orang-orang Yahudi itu justru takut, dan inilah yang harus mereka bayar dengan nyawa mereka kelak].


Muhammad kemudian menyerang Bani Nadir dan memutuskan aliran air mereka. Ketika mereka menyerah, Muhammad berketetapan untuk membunuh mereka semua. Namun Abdullah Ibn ubay, seorang pemimpin tua Madinah mengintervensi. Muhammad khawatir hal ini akan menyebabkan perpecahan diantara pengikutnya sehingga ia akhirnya memutuskan tidak membunuh Bani Nadir.


Sebagai gantinya ia mengambil semua harta kekayaan dan properti milik bani Nadir serta mengusir mereka. Maka Bani Nadir pun mengungsi ke Khaybar, yang merupakan benteng orang-orang Yahudi di sebelah Utara Madinah. Inilah yang membuat Safiyah tinggal di Khaibar dan menikahi Kinana, pemimpin muda dari kota tersebut. Akan tetapi, ayah Safiyah, Huyai bin Akhtab, dipancung lehernya ketika Muhammad menyerang suku Yahudi yang terakhir di Madinah, yaitu Bani Qurayzah.


Bersambung.....

Akbarman Tanjung

Istri Istri Muhammad (Ep 10)

 

Menariknya kisah tentang bagaimana Muhammad menikahi Juwairiyah seperti yang ditulis oleh para sejarawan muslim awal, membuat anomali dimana Allahnya pun memuji-muji Muhammad dengan ayat ayat seperti berikut ini:

- “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. 68:4).

- “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” (QS 33;21).


Pertanyaannya adalah; apakah ia benar-benar Insan Kamil dengan standar budi pekerti dan moral yang baik, serta teladan yang baik untuk diikuti tanpa kritik apapun?


Mari kita analisa berdasarkan logika umum, apakah Muhammad benar-benar teladan yang baik bagi kemanusiaan..? Muhammad menyerang penduduk bani Mustaliq tanpa peringatan dan mengejutkan mereka. Ini disebut terror. Mengapa? Karena mereka adalah sasaran empuk dan banyak yang bisa dijarah. Seperti biasanya kaum muslim membunuh orang-orang Yahudi, menjarah harta milik mereka, kemudian memperbudak orang-orang yang tersisa. Apakah ini adalah tingkah-laku seorang yang patut diteladani?


Sejarawan muslim menulis, “Sesuai dengan praktek pada masa itu, semua tawanan dijadikan budak dan dibagi-bagikan di antara prajurit-prajurit muslim yang menang”. Ketika kita membaca sejarah Islam, kita melihat ini seolah-olah adalah praktek umum yang dilakukan oleh orang-orang pada zaman itu. Ironisnya, isepanjang sejarah Arab pra-Islam yang disebut zaman Jahiliah, justru hal seperti ini tidak terjadi. Pada zaman itu mereka berperang antar suku, tapi tidak menjarah, dan tidak menganggap menyetubuhi wanita dari suku lawan sebagai tindakan lazim. Namun pertanyaannya tetaplah sama; Beginikah tingkah-laku seorang utusan Tuhan?


Muhammad sendiri disebut sebagai rahmat Allah bagi semesta alam (QS 21;107). Apakah perbedaan antara “Rahmat Allah” ini dengan seorang pemimpin berdarah dingin yang menjarah milik orang lain? Jika hal ini didalilkan sebagai praktek yang biasa dilakukan orang Arab, tidak dapatkah seorang utusan Tuhan mengubahnya dan memperbaikinya? Mengapa sampai terlibat dalam praktek barbar yang sama seperti itu? Bukankah dikatakan bahwa ia datang justru untuk memberi kabar baik dan teladan untuk diikuti semua orang?


Mengapa orang dengan klaim manusia mulia itu bersikap sama barbarnya dengan orang-orang yang dia perangi karena musyrik dan jahili? Apakah ia datang untuk memberi teladan yang baik untuk diikuti atau mengikuti perbuatan-perbuatan buruk orang-orang pada jamannya?


Para apologis muslim mengatakan bahwa Muhammad “tersentuh”. Sudah tentu ia tidak tersentuh oleh belas kasihan. Muhammad tidak membebaskan Juwairiyah karena ia mengasihani wanita ini. Ia sama sekali tidak menunjukkan rasa belas kasihan seperti itu. Tapi Muhammad menginginkan Juwairiyah untuk memuaskan syahwat dirinya sendiri.


Tidak seperti yang dipikirkan banyak orang, niat-niat Muhammad bukanlah untuk mempertobatkan orang kepada keluhuran nurani dari ajaran agama. Tapi lebih kepada mendapatkan kekuasaan dan dominasi. Agama hanyalah sebagai alat. Ia menimbang tiap kasus dan memperhitungkan untung-ruginyanya. Maka dalam banyak kasus, lebih baik bagi Muhammad jikalau orang-orang tidak diperingatkan, sehingga bisa diserang seperti bani Mustaliq dan lainnya. Muhammad tidak cukup bijak untuk memperingatkan bani Mustaliq dan banyak kelompok lainnya yang telah ia serang, dan yang harta bendanya mereka jarah. Pengumpul hadis lainnya meriwayatkan:


Sahih Muslim, Buku 019, No 4292;

Ibn ‘Aun melaporkan: Aku menulis kepada Nafi’ menanyakan darinya apakah perlu memperingatkan (pada orang-orang kafir) berupa undangan untuk menerima (Islam) sebelum memerangi mereka. Ia menulis (sebagai jawaban) padaku bahwa hal itu penting ketika di awal berdirinya Islam. Tapi Rasul Allah menyerang Banu Mustaliq saat mereka tidak siap dan ketika ternak mereka sedang minum air. Ia membunuh mereka yang melawan dan menawan yang lainnya. Pada hari itu juga, ia menawan Juwairiya bint al-Harith. Nafi’ mengatakan bahwa tradisi ini dikaitkan dengannya oleh Abdullah bin Umar yang (ia sendiri) adalah salah seorang dari anggota pasukan yang melakukan penyerangan.”


Para jihadis muslim menyimpan sunnah ini (contoh-contoh yang harus diteladani dari Muhammad) setelah kematian nabinya. Ketika sebuah pasukan muslim menginvasi sebuah kota, mereka tidak mengijinkan orang-orang di kota itu untuk berpaling pada Islam selama tiga hari. Selama tiga hari itu, mereka membunuh sebanyak mungkin orang yang bisa mereka bunuh, menjarah harta benda mereka dan memperkosa anak-anak perempuan dan isteri-isteri mereka. Hanya setelah penduduk kota itu sudah semakin berkurang dan perempuan-perempuan muda dan anak-anak yang bisa dijual sebagai budak sudah ditangkap, barulah dijalankan kampanye Islamisasi dengan mandatnya agar semua orang memeluk Islam.


Orang-orang Yahudi dan Kristen diberikan perlindungan untuk hidup, yaitu supaya mereka masuk kedalam "dhimmitude". Dhimmi artinya orang yang dilindungi. Tetapi kaum dhimmi harus membayar atas perlindungan yang mereka dapatkan dari orang-orang Islam. Pembayaran ini dikenal sebagai jizyah, dan menjadi pajak sebagai salah satu sumber penghidupan untuk orang-orang muslim, yang dengannya mereka bisa hidup sebagai parasit dari pekerjaan pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang non-Muslim yaitu kaum dhimmi.


Sahih Bukhari, Vol 4, Buku 53, No 388 :

Diriwayatkan oleh Juwairiya bin Qudama At-Tamimi; Kami berkata kepada Umar bin Al-Khattab, Oh Pemimpin orang-orang beriman! Nasehatilah kami.” Ia berkata,”Saya menasehatimu untuk menggenapi ketentuan Allah (yang diadakan dengan orang-orang Dhimmi) sebagai keputusan dari Rasulmu dan sebagai sumber penghidupan dimana engkau bergantung (yaitu pajak dari kaum Dhimmi)”


Aisyah yang mendampingi rasul dalam penyerangan Bani Mustaliq,

menceritakan bagaimana Juwairiyah ditangkap sebagai tawanan;


"Ketika Muhammad mendistribusikan para tahanan dari Banu Al Mustaliq, ‘Barrah’ (nama asli Juwauriyah) jatuh ke tangan Thabit ibn Qays. Ia telah menikah dengan sepupunya, yang terbunuh dalam peperangan itu. Kemudian Juwairiyah memberikan pada Thabit sebuah keterangan, persetujuan untuk membayarnya sebanyak sembilan ‘okes’ emas untuk kebebasannya. Juwairiyah adalah seorang wanita yang sangat cantik. Ia membuat setiap orang yang melihatnya menjadi terpana. Ia kemudian datang kepada nabi untuk memintanya menolong dalam masalah ini."


Aisyah melanjutkan.. "Segera setelah aku (Aisyah) melihatnya dari pintu ruanganku, aku menjadi tidak suka padanya, sebab aku tahu bahwa rasulullah akan melihatnya seperti aku melihatnya. Ia masuk ke dalam dan memberitahukan padanya siapa dia, bahwa dia adalah anak perempuan al-Harith ibn Dhirar, ketua dari sukunya. Ia berkata: 'engkau bisa melihat keadaanku saat ini. Sekarang aku telah menjadi milik Thabit, dan sudah memberikan padanya sebuah surat untuk tebusan, dan aku datang untuk meminta pertolonganmu atas masalah ini.’ Ia berkata: 'Apakah engkau ingin sesuatu yang lebih baik dari itu? Aku akan membayar hutangmu, dan menikahimu.’ Ia katakan: ‘Oh demikian utusan Allah; Jadilah demikian. Jawabnya.”

[alsalafiyat/juwairiyah.htm]


Kisah ini mengakhiri setiap argumen mengenai motivasi Muhammad yang sesungguhnya sehingga ia mengambil sedemikian banyak wanita. Ia melakukan itu bukan untuk menolong para janda (seperti yang sering dislogankan), tetapi karena mereka itu muda dan cantik. (Bagaimana mungkin menolong janda, bila ia sendiri yang menyebabkan seorang istri jadi janda?) Muhammad dan para pengikutnya membunuh suami Juwairiyah. Terpana oleh kecantikan Juwayriyah, Muhammad menawarkan diri untuk membebaskannya, tetapi hanya dengan satu kondisi supaya ia bisa menikahinya.


Setelah wanita ini datang pada Muhammad untuk memohonkan pertolongan, orang yang memproklamirkan dirinya sebagai “rahmat Allah atas manusia” ini memberinya sebuah pilihan yang sebenarnya itu sesuatu yang bukan Juwairiyah inginkan, dimana harga yang harus ia bayar adalah menjadi isteri dari pembunuh suaminya sendiri! Pilihan lain apa yang bisa ia dapatkan? Saat itu Juwairiyah baru berusia 20 tahun, sementara Muhammad sendiri 58 tahun.


Para apologis muslim berkeras menyatakan bahwa kebanyakan isteri-isteri Muhammad adalah para janda-janda tua. Mereka ingin membuat kita percaya bahwa Muhammad menikahi mereka karena belas kasihaan. Sebenarnya mereka itu adalah wanita wanita yang muda dan cantik. Jika sebagian dari mereka menjadi janda, itu karena Muhammad telah membunuh suami-suami mereka, atau suami mereka mati terbunuh sebagai suhada setelah masuk Islam.


Dalam banyak kejadian, Muhammad mendemonstrasikan secara tepat hal yang bertentangan, dan membuktikan bahwa ia tidak memiliki kemampuan psikis apapun untuk mengetahui apa yang terjadi sebelumnya, karena kegagalannya menyingkapkan atau memperoleh informasi melalui rahmat Allah yang begitu ia inginkan. Sebagai contoh, ketika ia menyerang Khaibar, ia menyiksa Kinana, bendahara kota itu, hingga Kinana tewas, karena Muhammad ingin mendapatkan informasi dari Kinana dimana harta kekayaan kota itu disimpan.


Perhatikan bahwa dalam contoh seperti ini, dimana situasinya sangat penting untuk mengetahui harta kekayaan kota, tapi Muhammad tidak tahu, hingga ia kesal dan membunuh Kinanah. Muhammad sama sekali tidak memiliki kearifan umum untuk memperlihatkan bahwa ia adalah seorang pemimpin moral yang merefleksikan kebajikan.


Bersambung.....

Akbarman Tanjung

Istri Istri Muhammad (Ep 9)

 

Aisyah benar, Allah bertindak sangat–sangat cepat untuk memenuhi hasrat dan syahwat nabinya. Simak ayat berikut;


Al-Ahzab (QS 33;53):

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah rumah nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu nabi lalu nabi malu kepadmu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih baik bagimu, hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.


Asbab al-nuazul ayat ini adalah tentang perkawinan Muhammad dengan Zaynab, dimana penghulunya menurut Muhammad adalah Allah sendiri. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang berkata, "Saya paling tahu surah tentang tabir ini. Pada malam Zaynab diberikan kepada Rasulullah, ia mengadakan jamuan dan mengundang orang-orang. Tak berapa lama kemudian Nabi ingin agar orang-orang itu segera pulang. Ia berdiri untuk memberi tahu mereka, sehingga beberapa orang pergi. Sekali lagi ia berdiri, namun beberapa tetap duduk. Ia berdiri untuk ketiga kalinya, dan baru kesemuanya pergi. Jadi ia memasuki rumahnya (dimana Zaynab menunggu) dan aku mengikutinya, namun nabi menghalanginya dengan menurunkan tabir dan mengatakan, “keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu nabi."


Shahih Bukhari, no. 4417:

Telah menceritakan kepada kami (Muhammad bin Abdullah Ar Raqasyi) Telah menceritakan kepada kami (Mu’tamir bin Sulaiman) dia berkata; Aku mendengar (Bapakku) berkata; Telah menceritakan kepada kami (Abu Mijlaz) dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu yang berkata; Tatkala Rasulullah s.a.w menikahi Zainab binti Jahsy, beliau mengundang orang-orang, lalu beliau menjamu mereka, mereka pun menikmati hidangan tersebut, kemudian mereka duduk dan berbincang-bincang.” Lalu beliau merubah posisi seakan-akan ingin berdiri, namun orang-orang tidak juga berdiri, ketika beliau berdiri maka orangorang pun ikut berdiri.” Setelah itu tiga orang duduk lagi. Nabi s.a.w datang dan hendak masuk ke kamar Zainab, namun orang-orang masih tetap duduk-duduk, setelah itu mereka berdiri dan beranjak pergi. Anas berkata; Lalu saya mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka sudah beranjak pergi.” Kemudian beliau masuk dan saya mengikuti beliau masuk, lantas beliau menurunkan kain tirainya antara saya dengan beliau.” Lalu Allah Azza Wa Jalla menurunkan (ayat): “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk ke rumah Nabi…(Al Ahzab: 53).


Sebenarnya ada masalah bagi budaya Arab pra-Islam dimana mereka sangat menghormati budaya dan etika mereka terhadap anak angkat yang sudah di adopsi menjadi seperti anaknya sendiri. Untuk bisa keluar dari pergunjingan dan isu buruk atas hubungannya dengan Zaynab, ayat-ayat pun keluar. 


Al-Ahzab (33;40) :

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.


Mungkin banyak muslim moderat yang merasa malu dengan hal ini–atau setidaknya mereka tidak menginginkan orang banyak mengetahui tentang hal ini. Yahya Emerick dalam The Life and Work of Muhammad hanya menceritakan bahwa Zaynab bint Jahsh dinikahi oleh Nabi, dan bahwa Zaynab belum lama berselang telah menceraikan Zayd bin Haritha yang oleh kaum muslim diberikan alasan karena latar-belakang mereka yang tidak selevel. Emerick tidak menyebutkan insiden yang melibatkan Muhammad melihat Zaynab tidak berpakaian lengkap, atau wahyu ilahi yang tertulis dalam Surah 33. Ia hanya mengisahkan Muhammad mengadopsi Zayd dan kemudian dikenal dengan Zayd bin Muhammad, tanpa pernah menyebutkan mandat illahi yang diterimanya sehingga kemudian mengubahnya kembali menjadi Zayd bin Haritha.


Muhammad Husein Haykal, dalam karyanya Life of Muhammad, mengecam kaum yang ia sebut "Orientalis” yang menggunakan kisah mengenai Zaynab untuk menghina Muhammad, ia berkata:


“Kaum Orientalis Barat berhentilah sejenak untuk memberi angin kepada penolakan dan imajinasi mereka. Dalam pasal mengenai biografi Muhammad ini, beberapa diantara mereka bersusah payah untuk menggambarkan potret Zaynab yang sensual. Mereka mengemukakan bahwa ketika Muhammad melihatnya, waktu itu ia setengah telanjang, bahwa rambut hitamnya yang indah menutupi separuh tubuhnya, dan bahwa setiap lekuk tubuhnya penuh dengan nafsu dan hasrat. Yang lainnya mengemukakan bahwa ketika Muhammad membuka pintu rumah Zayd, hembusan angin menggoyangkan tirai kamar Zaynab, sehingga Muhammad dapat sedikit melihatnya berbaring di tilam dengan mengenakan gaun malamnya. Lalu mereka menceritakan kepada para pembacanya bahwa pemandangan ini menggetarkan hati Muhammad yang sangat berhasrat dalam cintanya dan kesukaannya pada wanita."


"Mereka mengatakan bahwa Muhammad telah menyembunyikan hasrat rahasianya, walau sulit baginya untuk menyembunyikannya selama itu! Gambaran ini dan juga banyak gambaran lainnya telah dilukiskan terus menerus dan dapat dibaca dalam tulisan-tulisan Muir, Dermenghem, Washington Irving, Lammens, dan yang lainnya.  Walau tidak dapat disangkali bahwa kisah-kisah ini didasari pada biografi-biografi Muslim dan kitabkitab Hadis Sahih. Tetapi buku-buku ini dapat dipertanyakan. Dan sangat disesalkan bahwa para penulis kita (penulis muslim awal) telah menggunakannya dengan ceroboh. Sangatlah tidak termaafkan bahwa para sarjana muslim ini telah membangun ‘Istana-istana di Spanyol’ berkenaan dengan hubungan Muhammad dengan wanita, istana-istana yang menurut mereka cukup dibenarkan dengan kenyataan bahwa Muhammad mempunyai banyak istri, kemungkinan besar sembilan, atau bahkan lebih, menurut beberapa versi.”


Respon Muhammad Husein Haykal terhadap hal ini pertama-tama ia ingin mengemukakan bahwa seandainya pun kisah pernikahan Zaynab dengan Muhammad adalah benar, itu masih tetap tidak meninggalkan cacat dalam kenabian Muhammad, dalam kebesarannya ataupun ajaran-ajarannya. Dengan hal ini Haykal menggambarkan;


“kenyataannya bahwa Muhammad bukanlah seorang pria yang penuh dengan nafsu seperti yang digambarkan oleh para orientalis. Ia tidak menikahi istri-istrinya karena nafsu, hasrat ataupun cinta. Jika beberapa penulis muslim dalam periode tertentu dalam sejarah telah mengijinkan diri mereka sendiri untuk mengenakan hal-hal seperti itu kepada Nabi dan oleh karena itu menghadirkan dengan niat baik argumen-argumen untuk para musuh dan para pengeritik Islam, itu karena sifat mereka yang konservatif menyebabkan mereka mengadopsi cara pandang yang materialistis terhadap segala sesuatu. Dengan cara yang demikian mereka menggambarkan Muhammad sebagai yang terbesar dalam segala sesuatu termasuk nafsu dunia ini. Tetapi gambaran yang mereka buat jelas-jelas salah.”

[Muhammad Husein Haykal, The Life of Muhammad, Isma’il Razi A. al-Faruqi, translator,1968]


Jika Husein Haykal mengatakan “kenyataannya bahwa Muhammad bukanlah seorang pria yang penuh dengan nafsu.” Mari kita ikut bertanya, kenyataan yang mana yang menggambarkan bahwa Muhammad bukanlah pria yang penuh dengan nafsu..? Bahwa apa yang digambarkan para orientalis tentang nafsu birahi Muhammad kepada Zaynab menurut Haykal adalah sebuah asumsi yang salah. Lalu bagaimana Husein Haykal bisa mengatakan bahwa gambaran yang mereka buat salah, sementara bantahan yang dia buat tentang Muhammad menikahi istri-istrinya bukan karena nafsu juga bersumber dari klaim atau asumsi berdasarkan pendapatnya sendiri..? Padahal pada narasi diatas Haykal berkata, "Walau tidak dapat disangkali bahwa kisah-kisah ini didasari pada biografi-biografi Muslim dan kitab-kitab Hadis Sahih." Berarti asumsi Husein Haykal berkontradiksi dengan pernyataannya sendiri!


7. JUWAIRIYAH BIN AL-HARRIS


Aisyah yang dikenal sebagai Ummul Mu’minin mengatakan bahwa Juwairiyah adalah tawanan wanita yang paling cantik dari kaum Yahudi Bani al-Mustaliq, ia masih muda berumur 20 tahun. “Juwariyah wanita yang sangat cantik. Siapapun lelaki yang melihatnya, pasti terpikat olehnya. Dan ketika aku melihatnya dipintu kamarku, aku diliputi perasaan was-was karena aku tahu, nabi akan tertarik melihat wanita ini seperti yang kulihat.”


Al-Bukhari, penulis biografi Muhammad dan pengumpul hadis terbesar, mengisahkan penyerangan terhadap Bani al-Mustaliq dalam kisah berikut;


Sahih Bukhari,Vol 3, Buku 46, No 717:

Dikisahkan Ibn Aun: “Aku menulis sebuah surat kepada Nafi, dan Nafi membalas suratku dan mengatakan bahwa Nabi telah menyerang Bani Mustaliq secara tiba-tiba tanpa peringatan ketika mereka tidak waspada dan hewan ternak mereka sedang dibawa ke tempat berair untuk minum. Para pejuang mereka dibunuh dan para wanita dan anak-anak mereka dibawa sebagai tawanan; pada hari itu nabi mendapatkan Juwairiya. Nafi mengatakan bahwa Ibn ‘Umar mengatakan padanya kisah di atas dan bahwa Ibn ‘Umar ada dalam pasukan itu”


Hadis ini juga bisa didapat dalam Terjemah Sahih Bukhari, Jilid lll, no.1203, penerbit Widjaya, dan dimuat dalam Sahih Muslim Buku 019, no 4292, yang mengesahkan otentisitas kisahnya.


Yang berikut ini diambil dari sebuah situs Islam:

Berita mengenai majunya pasukan-pasukan Muslim telah mencapai tempat Al-Haris. Dalam kepanikan, orang-orangnya meninggalkannya dan ia sendiri berlindung di sebuah tempat yang tidak diketahui. Tetapi penduduk lokal Muraisa berperang melawan orang Muslim dan menghujani mereka dengan panah yang tidak habis habisnya. Orang-orang Muslim meluncurkan serangan mendadak dan kejam serta mengepung musuh, yang mengalami banyak korban dan hampir 600 orang ditawan oleh kaum Muslim. Di antara jarahan yang diambil adalah 2000 ekor unta dan 5000 ekor kambing.


Di antara para tawanan terdapat Barra, anak perempuan Haris, yang kemudian menjadi Hazrat Juwairiyah, gundik sang Nabi. Sesuai dengan kebiasaan Muslim pada waktu itu semua tawanan dijadikan budak dan dibagi-bagikan di antara prajurit-prajurit muslim yang menang. Hazrat Juwairiyah jatuh ke tangan (salah satu prajurit) Thabit bin Qais. Sedangkan Hazrat Juwairiyah adalah putri pemimpin suku Yahudi, dan oleh karena itu tentulah sangat tidak pantas ia dijadikan budak seorang prajurit muslim biasa. Oleh karena itu ia meminta Thabit agar melepaskannya dan akan diganti dengan uang tebusan. Thabit menyetujuinya, jika ia dapat membayar 9 Auqya emas. Hazrat Juwairiyah saat itu tidak mempunyai uang. (Muhammad telah menjarah semua yang ia dan kaumnya miliki, bagaimana mungkin ada uang). Ia berusaha mengumpulkan uang sejumlah yang diminta dengan mengumpulkan sumbangan, dan mendekati Muhammad untuk itu.


Juwairiyah berkata kepada Muhammad, “Wahai Muhammad! Aku adalah putri Al-Haris bin Zarar, pemimpin kaumnya. Engkau tahu, kebetulan bangsa kami telah ditawan (note: kebetulan? Penggunakan kata ‘kebetulan’ digunakan penulis biografi untuk mempermanis seolah-olah Muhammad tidak bersalah atas penyerangan itu). Dan saya (Juwauriyah) telah menjadi milik Thabit bin Qais dan telah memintanya untuk melepaskanku mengingat statusku, tetapi ia menolak. Aku mohon, lakukanlah suatu tindakan yang baik dan selamatkanlah aku dari penghinaan ini”.


Sang Nabi tersentuh hatinya dan bertanya kepada tawanan wanita itu apakah ia ingin sesuatu yang lebih baik. Wanita itu menanyakannya apakah itu. Ia berkata ia siap membayar tebusannya dan menikahi wanita itu jika ia setuju. Wanita itu menyetujui tawaran tersebut. Lalu Nabi Suci Shallallahu Alaihi wa Sallam membayar uang tebusannya dan menikahi wanita itu.


Kisah diatas saya ambil dari sebuah situs islam yang bersumber dari penulis biografi muslim awal, seperti Ibnu Ishaq yang juga dikutip Ibnu Hisyam, karena saya percaya kisahnya tentang penyerangan kaum muslim terhadap suku-suku Yahudi itu benar adanya. Tapi bumbu kata-kata hiperbola seperti, "Sang Nabi Suci tersentuh hatinya" membuat saya tersenyum. Sebab jika Muhammad tersentuh hatinya, beliau tidak akan menyerang suku Yahudi bani Mustaliq dan membunuh masyarakatnya, sehingga membuat Juwairiyah menjadi tawanan. Jika Muhammad bisa tersentuh hatinya, ia tidak akan membuat banyak wanita menjadi janda..!


Bersambung.......

Akbarman Tanjung