loading...

Sunday, August 23, 2015

IMAN KRISTIANI TENTANG KEESAAN ALLAH, GELAR PUTRA ALLAH DAN KESELAMATAN DALAM KRISTUS

1. Catatan Pengantar
Artikel-artikel saya di blog ini yang penuh catatan kaki sebagai pertanggungjawaban sumber yang saya kutip, sering dianggap “sulit dipahami” oleh beberapa pembaca. Karena itu, mungkin tulisan  sederhana ini dapat membantu.  Dalam artikel ini saya akan menulis dalam bentuk tanya jawab mengenai seputar kesalahfahaman Islam mengenai pokok-pokok Iman Kristiani, bukan hanya soal Trinitas dalam hubungannya dengan Keesaan Allah, Ketuhanan dan keilahian Yesus (the Lordship and Divine of Jesus), tetapi juga membahas bagaimana menjawab salah pengertian sekitar makna dosa asal dan penebusan dalam Kristus.
Sebenarnya masih ada kesalahfahaman lain yang sering muncul, yaitu mengenai historisitas peristiwa salib dan  keaslian Alkitab. Tetapi saya akan membatasi pada tema pokok yang akan saya uraikan dalam bentuk tanya jawab, mengingat tema dialog teologis Kristen-Islam selama ini kurnag banyak disinggung dalam wacana berteologi kita. Mungkin ada baiknya kita membahas mengenai “Otentisitas Alkitab dalam Dialog Teologis Kristen-Islam” dalam artikel tersendiri, mengingat bahwa tema yang saya sebut terakhir ini memang cukup kompleks.
Untuk tidak membebani peserta seminar dengan banyaknya catatan kaki, seperti tulisan-tulisan saya pada umumnya, maka bagi pembaca yang tertarik untuk melacak sumber-sumber kutipan saya, diersilakan untuk membaca buku-buku saya, khususnya Jangan Sebut Saudaramu Kafir! dan Togog Madeg Pandhita: Tauhid vs. Unitarianisme (“Rasan-rasan” Soal Tuhan di Jagad Punakawan), dan buku terbaru saya: The Dead Sea Scrolls: Mengguncang atau Mendukung Kekristenan? (Semua buku di atas bisa dipesan langsung, karena belum beredar di toko-toko buku). Catatan terakhir ini kiranya menjadi pertanggungjawab ilmiah dari pokok-pokok pikiran saya, sebagaimana yang akan saya uraikan di bawah ini:  
2. Soal Keesaan Allah dan Keilahian Yesus Kristus
PERTANYAAN:
Saya membaca Alkitab, dan menyimpulkan bahwa tidak ada kontradiksi antara ajaran Yesus dan Muhammad, khususnya dalam ajaran mengenai keesaan Allah. Dalam Yohanes 17:3 Yesus bersabda: “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu hendaknya mereka mengetahui bahwa Engkau adalah satu-satunya Allah yang benar, dan Yesus Kristus yang telah Engkau utus”. Jadi bisa dirumuskankan: “Tidak ada ilah selain Allah dan Yesus adalah utusan Allah”, yang paralel dengan ajaran pokok Islam: Lâ Ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah. Artinya: “Tidak ada ilah selain Allah, Muhammad Utusan Allah”. Lagi, dalam 1 Timotius 2:5 disebutkan: “Karena Allah itu Esa, dan esa pula Pengantara antara Allah dan manusia, yaitu Manusia Kristus Yesus”.
Dalam Markus 12:29 Yesus mengutip Taurat: Dengarlah hai Israel, Allah Tuhan kita, Tuhan itu Esa”. Tetapi antara Islam dan Kristen menjadi berbeda secara funda-mental ketika Kristen mengajarkan Trinitas, termasuk pengakuan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Karena itu, Al-Qur’an menegaskan: “Kafirlah orang yang berkata bahwa Allah itu adalah ketiga dari Trinitas, padahal tidak ada ilah kecuali Ilah yang Esa” (Q.s. Al-Maidah/5:73).
JAWABAN:
Dalam bahasa asli, Q.s. Al-Maidah/5:73  berbunyi: Laqad kafar alladzina qaluu Innallaha tsalitsu tsalatsah. “Kafirlah orang yang berkata bahwa Allah itu adalah ketiga dari tiga”. Terjemahan “Allah is one of three in a Trinity” jelas-jelas salah. Tsalitsu tsalatsah, secara harfiah: “ketiga dari yang tiga”. Kata Trinitas berasal dari bahasa Latin: treis = “tiga”, dan unitas = “satu”, “ketiga dari yang satu”, bahasa Arabnya: tsalitsu wahidah, dan bukan tsalitsu tsalatsah. Selan-jutnya, secara historis ayat tersebut sama sekali tidak cocok bila diterapkan bagi Iman Kristen. Banyak ayat-ayat Qur’an yang mengkritisi Iman Kristen, sebenarnya ditujukan kepada sekte-sekte heretik (sesat) Kris-ten yang berkembang di Mekkah dan sekitarnya pada zaman Muhammad, misalnya: Collyridianisme (atau: Maryamin), Gnostik, Dokotisme, dan sebagainya, dan bukan Iman Kristen resmi yang waktu itu berpusat di Byzantium, Alexandria, Antiokia, Eddesa dan wilayah Turki sekarang.
Iman Kristen sejati tidak pernah mempercayai paham primitip Tsalitsu tsalatsah, sejenis paham Tritheisme yang terdiri Allah, Isa dan Maryam (Q.s. Al-Maidah 116). Karena itu,  dalam 1 Korintus 8:4 Rasul Paulus berkata: Oudeis theos utheros ei me heis. Artinya: “Tidak ada ilah lain kecuali Allah Yang Esa”. Dalam Alkitab bahasa Arab diterjemahkan: Lâ ilaha illa Allah al-Wahid. Jadi, jauh sebelum Islam lahir ungkapan “Tidak ada ilah selain Allah” sudah ada dalam Iman Kristen. Karena itu, kebanyakan umat Islam mengkritik Iman Kristen tetapi sebenarnya mereka tidak memahami apa yang mereka kritik. Salah satu sebabnya, karena menyamaratakan sekte-sekte Kriusten primitip di Mekkah dan sekitarnya, yang pahamnya dikritik keras oleh Al-Qur’an, paham primitip yang sebanrnya juga tidak diimani oleh umat Kristen, baik Katolik, Protestan, apalagi gereja-gereja ortodoks yang jelas-jelas mempunyai akar historis yang “sanad”-nya bisa dibuktikan dari Yesus dan para murid-Nya.
3. Makna Ajaran Ketritunggalan Allah
PERTANYAAN;
Kalau begitu, bagaimanakah ajaran Trinitas seperti yang diajarkan oleh Alkiatb sendiri? Dan apakah perbedaannya dengan paham “triteisme” yang dikritik oleh Al-Qur’an?
JAWABAN:
Trinitas tidak mengajarkan adanya 3 Tuhan, apa-lagi terdiri Allah, Isa dan Maryam (Q.s. Al Maidah 73, 116). Ajaran Tritunggal ini tidak lahir dari alam politeisme seperti yang dihadapi Islam, sehingga al-Qur’an menegaskan Lam Yalid wa lam yulad. Artinya: “Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan”. Kritik Lam yalid wa lam Yulad dalam surah al-Ikhlas itu, konteks semula ditujukan kepada keyakinan Arab pra-Islam yang menganggap al-Lata, al-Uzza dan Manat sebagai Banat Allah (putri-putri Allah). Kristen muncul dari latarbelakang Yahudi yang monoteis, sehingga yang mau dijawab dengan akidah Kristen bukan “keberapaan Allah”, tetapi “kebagaimanaan Allah Yang Esa” (Ibrani: Elohim Ehad, Suryani: Had Alaha, Arab: Allahu Ahad). Tetapi bagaimana dengan Bapa, Putra dan Roh Kudus? Bapa adalah kata kiasan untuk Wujud Allah, Putra adalah Firman-Nya, dan Roh Kudus atau Hayat/Hidup Allah.
Dalam keyakinan Kristen, Firman itu telah turun (nuzul) menjadi manusia, sebanding dengan keyakinan Islam Firman menjadi Alqur’an. Lalu apabila Al-Qur’an itu mempunyai wujud temporal berwujud Kitab berbahasa Arab (kalam Lafdzi), sekaligus kekal yaitu Kalam Nafsi yang tersimpan di Lauh al-Mahfud. Kalam yang Lauh al-Mahfud itu kekal, dan bukan makhluk. Begitu juga keyakinan Kristen, Yesus yang kelihatan, lapar dan haus itu Nabi dan rasul (Ibrani 3:1), bukan Allah dan bukan Tuhan. Karena itu ia berdoa dalam kema-nusiaan-Nya, tetapi sebagai Firman Allah, Ia kekal dan satu dengan Wujud Allah (Yohanes 1:1). Yohanes 17:3 dan 1 Timotius 2:5 jelas-jelas merujuk kepada kemanusiaan Yesus, dan tidak perlu dipertentangkan dengan keilahian Firman Allah: Pada Mulanya adalah Firman dan Firman itu bersama-sama Allah, dan Firman itu adalah Allah. Segala sesuatu diciptakan oleh Dia, dan tanpa DFia tidak ada sesuatu pun yang jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yohanes 1:1,3). 
Dalam makna Firman yang kekal itulah, Yesus disebut Putra Allah, bukan menunjuk kemanusiaan-Nya. Allah itu kekal, dan Firman serta Roh-Nya juga sama-sama kekal. Sebab kalau Firman tidak kekal, berarti ada waktu tertentu dimana Allah tidak punya Firman. Itu mustahil bukan? Begitu juga Roh Allah harus kekal bersama Wujud Dzat-Nya, sebab tidak mungkin Allah pernah ada tanpa Roh-Nya (jadi bukan juga Malaikat Jibril seperti disalahpahami beberapa tafsir Qur’an, seperti Jalalain, dan sebagainya). Itulah yang disebut Ajaran Tritunggal, bukan triteisme seperti tuduhan beberapa polemikus Muslim seperti Ahmad Deedat.. Belajarlah dari sumber Kristen langsung, sebelum menulis begitu “percaya diri/PD”. Penguasaan sejarah juga sangat penting, dan harus mengacu dari sumber-sumber primer, bukan dari sumber-sumber sekunder kaum polemikus yang mengutip dari kutipan orang tanpa check and recheck dari sumber aslinya.
4. Menjelaskan Keilahian dan Kemanusiaan Yesus Kristus (The Godhead and The Manhoof of Jesus Christ)
PERTANYAAN:
Itulah keyakinan Kristen tentang “dua tabiat Kristus”, sepenuhnya Ilahi dan sepenuhnya insani. Keyakinan ini sulit dimengerti umat Islam, sebab di satu pihak sebagai Allah Dia Maha Kuasa, tetapi pada saat yang sama Dia menderita, bahkan bisa mati. Kalau lagi menangis dan dicobai, lalu mana yang disebut Allah? Seandainya kita lagi berdoa, dan Dia menjawab begini: “Aku ini lagi bersifat manusia, sama seperti kamu aku sendiri juga berdoa?” Itulah sebabnya bagi umat Islam keyakinan tentang dua tabiat Yesus itu tidak masuk akal.

JAWABAN:
Keyakinan kami tentang kedua tabiat Al-Masih sebanding (tidak persis sama) kalau umat Islam memahami Qur’an sebagai Kalam (Sabda) Allah. Al-Qur’an itu di satu sisi ghayr al-makhluq (tak tercipta) sebagai Kalam Nafsi (Sabda yang kekal), tetapi juga sekaligus makhluq (tercipta) sebagai kalam lafdzi (Sabda temporal dalam wujud nuzulnya sebagai “kitab berbahasa Arab”). Kalau ada yang bertanya, Allah  mana lagi yang menjawab doa Yesus, kalau Yesus sendiri adalah Allah? Jawabnya: Yang berdoa adalah kemanusiaan Yesus, dan yang menjawab doa adalah Allah yang selalu berdiam bersama Firman-Nya yang kekal (Yoh. 1:1’ 8:42, 58) dan Roh-Nya yang kekal (Yoh. 15:26; 1 Kor. 2:10-11). Allah, Firman-Nya dan Roh-Nya adalah Allah yang Mahaesa. Karena Firman dan Roh-Nya selalu menyatu dengan Wujud Dzat-Nya. Yesus sebagai Manusia, sebanding dengan Qur’an dalam bentuk fisik bahasa Arab. Nah, kalau Firman Allah yang ghayr al-Makhluq (bukan ciptaan)  bisa nuzul  astau turun menjadi kitab, sebuah benda mati, lalu apa mustahilnya menjadi Manusia (lihat. Yohanes 1:14)?
Selanjutnya, kalau umat Islam berkata bahwa Al-Qur’an itu tak tercipta, bukankah kertasnya itu tercipta, huruf Arabnya berkembang (zaman Nabi belum ada harakat). padahal sesuatu yang berkembang itu ciptaan, kira-kira seperti itu. Kalam Allah itu kekal, tetapi toh kertasnya Qur’an sebagai wujud pengejawantahan wahyu juga bisa rusak. Seperti itulah pengibaratan kematian Yesus. Ketika umat Kristiani menyebut Firman itu bersama Allah dan Firman itu Allah (Yohanes 1:1,14), dan sama sekali bukan merujuk kepada  kemanusian Yesus (1 Petrus 3:18).
Mungkin umat Islam mesti memahami sejarah ilmu Kalam mengenai makhluk/tidaknya Qur’an, perdebatan kaum Ash’ariyyah dan kaum Mu’tazilah, yang ternyata ditemukan banyak paralel dengan perkembangan teologi Kristiani. Sifat-sifat Allah yang “La hiya wa laa ghayruha” (tidak sama dengan Dzat-Nya tetapi juga tidak berbeda dengan-Nya). Untuk memehami paralel keyakinan Islam dan Kristen tentang Firman yang kekal sekaligus temporal, kita bisa membaca buku Seyyed Hussein Nassr, ahli ilmu agama-agama dan seorang Muslim, dalam bukunya Ideals and Realities of Islam  (Cairo: American University Press, 2002) sebagai berikut:
One could of course make a comparison between Islam and Christianity by comparing the Prophet to Christ, the Quran to The New Testament, Gabriel to The Holy Ghost, the Arabic language to Aramaic, the language spoken by Christ, etc. In this way the sacred book in one religion would correspond to the religion to the central figure in the other religion and so on. This type of comparison would be of course meaningful and reveal useful knowledge of the structure of the two religions. But in order to understand what the Quran means to Muslims and why the Prophet is believed to be unlettered according to Islamic belief, it is more significant to consider this comparison from another point of view.
The Word of God in Islam is the Quran; in Christianity it is Christ. The vehicle of the Divine Message in Christinaity is the Virgin Mary; in Islam it is the soul of the Prophet. The Prophet must be unlettered for the same reason that the Virgin Mary must be virgin. The human vehicle of the Divine Message must be pure and untainted. The Divine Word can only be written on the pure and “untouched” tablet of human receptivity. If this Word is in the form of flesh the purity is symbolized by the virginity of the mother who gives birth to the word, and if it is in the form of a book this purity is symbolized by the unlettered nature of the person who is chosen to announce this Word among men.
5. Allah itu Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan (Lam Yalid wa Lam Yulad)
PERTANYAAN:
Bagi umat Islam, Allah itu Maha Esa, tidak ada yang setara dengan-Nya, Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan (Lam yalid wa lam yulad). Inilah salah satu yang mendasari mengapa umat Islam menolak keyakinan bahwa Yesus adalah Putra Allah. Karena bagi Islam, Allah itu tidak beristri bagaimana mungkin Dia mempunyai anak? Nabi Isa hanya seorang utusan Allah, Ia adalah Nabi seperti nabi-nabi yang lain.
JAWABAN:
Seluruh pendapat di atas di-“amin”-kan oleh Iman Kristen. Memang umat Kristen juga percaya Allah itu Esa, Tidak beranak dan tidak diperanakkan, apalagi kepercayaan primitip bahwa Ia beristri a la keyakinan Jahiliah pra-Islam, yang kemudian direaksi dalil Qur’an: Lam Yalid wa lam Yulad. Tapi perlu anda tahu, setiap agama memiliki “bahasa teologis” yang tak bisa ditafsirkan secara harfiah. Begitulah istilah Putra Allah, sama sekali bukan Allah itu beranak. Coba bandingkan, dalam Qur’an ada istilah “Ibnu Sabil”, maksudnya “musafir agama” (harfiah: “anak jalan”), tentu tak perlu bertanya: Siapa istrinya jalan?  Begitu juga sebutan Allah sebagai Bapa, tidak menunjuk jenis kelamin. Islam juga ber-keyakinan Allah “beyond the gender”, tetapi karena keterbatasan bahasa, toch umat Islam berdoa: “Allahuma anta-ssalam……” Orang awam bisa saja bertanya: “Mengapa bukan “anti ssalamah”?. Jawabnya, karena masyarakat Timur Tengah itu patrilineal.
Dalam Kristen tak ada keyakinan “injil yang turun dari langit”, sebab Firman Allah itu turun sebagai Manusia utama (Isa al-Masih), bukan berupa Kitab Injil. Jadi, tidak fair  menilai Kristen dari “frame of reference” Islam, dan sebaliknya. Lagi-lagi, seorang teman Muslim yang tidak mengerti mengejek: Yesus kok sifatnya bisa mancolo Tuhan dan mancolo manusia, merasakan sakit dan menderita. Jawabnya, coba banding-kan dengan Ilmu Kalam mengenai Qur’an sebagai Kalam kekal, yang kata Al-Ghazali: qa’imun fi Dzatihi (melekat pada Dzat-Nya), dan “bentuk nuzul” temporalnya sebagai Kitab dalam dimensi ruang dan waktu yang terbatas! (baca: “Qawaidul ‘Aqaid”-nya Imam Al-Gazali). Puncak pergumulan kaum Ash’ariyyah itu sampai pada dalil yang lalu dinisbahkan dengan sabda Nabi Muhammad: Man Qala Innal Qur’an makhluqun fahuwa kafir Artinya: “Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an itu diciptakan maka ia adalah kafir”.
Umat Islam percaya bahwa Firman Allah itu kekal, tidak bisa rusak, bukan? Tetapi apa ya Allah perlu tegaskan dulu: “Tunggu, yang kekal itu bukan kertasnya lho, bukan huruf dan harakat Arabnya yang berkembang (yang menunjukkan keterciptaan)? Sebab itulah hakikat pewahyuan, bagaimana “Yang Kekal” memasuki dimensi ruang dan waktu untuk menyapa manusia, entah itu diyakini nuzul sebagai “Kitab yang Ilahi” dalam keyakinan Islam, atau “Manusia Sempurna” (Insan al-Kamil)  yaitu Yesus Kristus atau Isa Al-Masih dalam Iman Kristen. Keduanya sama-sama diyakini “ghairul Makhluq” (bukan ciptaan, non factum).
6. Seputar Dosa dan Penebusan Melalui Pengurbanan Kristus
PERTANYAAN:
Apakah ide penebusan dosa sesuai dengan sifat keadilan Allah?  Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan petunjuk Allah maka ia telah berbuat untuk dirinya sendiiri, dan barangsiapa yang sesat, maka itu tanggungannya sendiri pula. Seseorang tidak berwenang menanggung dosa orang lain, dan Kami tidak akan menyiksa sebelum kami mengutus seorang rasul untuk mengingatkannya” (Q.s. Al-Isra’/17:15).
Prinsip bahwa seseorang akan bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, dan tidak bisa menanggung dosa orang lain juga diakui dalam Alkitab sebagai berikut: “Orang yang berbuat dosa itu, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya, dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebe-narannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya. Tetapi jikalau orang fasik bertobat dari segala dosa yang dilakukannya dan berpegang pada segala ketetapan-Ku serta melakukan keadilan dan kebenaran ia pasti hidup, ia tidak akan mati. Segala durhaka yang dibuatnya tidak akan diingat-ingat lagi terhadap dia, Ia akan hidup karena kebenaran yang dilakukannya” (Yehezkiel 18:20-22).
JAWABAN:
Iman Kristen tidak pernah mengajarkan bahwa anak menanggung dosa orang tuanya. Yang disebut “dosa asal” bukan mewariskan dosa orang tua kepada anak cicu atau keturunannya, melainkan “akibat dosa manusia pertama”. Jadi, bukan dosanya yang diwariskan, tetapi akibat dosa itu yang memang harus ditanggung keturunan Adam. Alkitab berkata: “Upah dosa adalah maut” (Roma 3:  ). Yang disebut “maut” merujuk baik kematian jasmani, maupun kematian rohani yang terpisah dari Allah. Mengenai akibat dosa Adam yang mewariskan kematian kepada semua keturunanya, jelas-jelas diakui oleh Al-Qur’an: Kullu nafsin dzaiqatul maut. Artinya: “Tiap-tiap yang bernafas akan merasakan mati”.
Selain itu, bersamaan dengan penegasan bahwa orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri-sendiri, tetapi dalam kitab yang sama juga disebutkan tentang “korban penebus dosa”  (Yeh. 45:17). Dalam bahasa Ibrani “korban penghapus dosa” adalah  HaChatah  yang berkaitan dengan dihapuskannya dosa dengan korban pengganti. Konsep “pengganti” ini adalah bahasa Ibrani disebut kippur (Arab: kaffarat). Nah, Allah menciptakan manusia untuk rencana keselamatan, manusia diciptakan sebagai “makhluk yang hidup” (Kej. 2: ), tetapi gara-gara dosa Adam, like or dislike  semua keturunannya toch menanggung akibatnya. Marilah kita renungkan, apakah justru tidak sesuai dengan prinsip keadilan, apabila kita tidak ikut berdosa ikut terkena akibat dosa Adam dan Hawa, kemudian dengan satu orang pula kini kita dibenarkan, yaitu melalui  Isa al-Masih? Alkitab menyebutkan: “Sebab, jika jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh kepada kuasa maut, jauh lebih besar lagi karunia Allah  dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus” (Roma 5:15).  Jadi, yang diwariskan dari Adam bukan dosa-dosanya, melainkan akibat dosa-dosa itu, yaitu maut. Melalui Kristus, Allah memulihkan manusia yang jatuh dalam kuasa dosa yang tidak bisa dilawannya, dengan kasih karunia dari Allah melalui Isa al-Masih (Yesus Kristus).
7. Menjawab Tuduhan Paulus sebagai Pemalsu Ajaran Yesus Kristus
PERTANYAAN:
Ajaran Paulus tentang keselamatan dalam Yesus bertentangan dengan ajaran Yesus sendiri.  Paulus berkata: “Sebab jika mengaku dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan dan percaya dalam hatimu bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (Roma 10:9). Ini bertentangan dengan penegasan Yesus sendiri: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan! Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir Setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah AKu akan berterus terang kepada mereka, dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyalahlah dari pada-Ku, kami sekalian pembuat kejahatan!” (Matius 7:21-23). Jadi, Yesus menolak orang-orang yang menyeru Dia sebagai Tuhan, melainkan melakukan kehnedak Allah seperti yang Dia lakukan (band. Efesus 5:2 bertentangan dengan Matius 25:31-45).
JAWABAN:
Matius 7:21-22 tidak bertentangan dengan Roma 10:9; Efesus 5:2, Ibrani 9:26. Yesus juga tidak menolak orang yang menyeru-Nya dengan Tuhan, seperti disebut dalam Yohanes 13:13.  “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan”. Sementara yang ditekankan Matius 7:21-22 adalah perilaku munafik, memangil-menggil Yesus Tuhan tetapi tidak melakukan kehendak Allah. Jadi, beriman hanya dengan mulut. Matius 7:21-22 tidak bisa disimpulkan bahwa Yesus akan mengusir orang yang menuhankan diri-Nya. Dalam bahasa Aramaik, bahasa asli yang digunakan Yesus, ayat di atas berbunyi: La hwa kol de amar li: Mari, Mari, ‘al le malkuta de syamayya ella man de ‘avad tsivyah de Avi de basymayya. Artinya: “Not everyone who says to me: Lord, Lord, will enter the Kindom of heaven, but  he who does the will of my Father is in heaven”.
Pertama, dalam bahasa-bahasa semitis yang dipakai di Timur Tengah (Ibrani, Aram dan Arab), ayat ini memakai bentuk “negasi dan konfirmasi”. Patut dicatat, bahwa dalam bahasa Aramaik “Lâ adalah negasi (artinya “Tidaklah”), yang menyatakan bahwa prinsip beriman itu kepada Yesus itu tidak hanya sebatas ucapan lisan: Mari, Mari (My Lord, my Lord), tetapi disusul dengan sebuah konfirmasi:  “ella” (melainkan), yang selan-jutnya menekankan bahwa melaksanakan iman itu dengan perbuatan, yaitu “melakukan Kehendak Bapa-Ku yang di surga”. Jadi, jangan memotong ayat ini dari konteks keseluruhan, karena hanya orang yang kurang cerdas yang memahami kandungan teks itu yang secara serampangan dengan tafsiran seperti itu.
Dalam bahasa Arab kita bisa membandingkan dengan bentuk harfu an-nafi wa al-isbat, yang juga memakai kata “La” (Tidak) dan “illa” (kecuali). Misalnya, ungkapan Lâ ilaha illallah (Tidak ada Ilah kecuali Allah), yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun dalam Alkitab bahasa Arab (1 Korintus 8:4, “…wa ‘an Lâ ilaha illa llahu al-Ahad”).  Kita tidak bisa memotong kalimat ini, “Tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah), dan menghilangkan perkecualiannya: “selain Allah”. Gaya bahasa seperti ini juga banyak dijumpai juga dalam bahasa Arab Al-Qur’an. “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali agar beribadah kepada-Ku”. Apa lantas bisa kita simpulkan, bahwa Allah tidak menciptakan manusia dan jin? Tentu saja tidak! Begitu juga, konteks keseluruhan dari ayat di atas adalah agar supaya murid-murid Yesus tidak hanya beriman secara lisan,  tanpa melaksanakannya dalam perbuatan yang nyata (cf. Matius 25:31-46). 
Dalam kita beriman kepada Tuhan, tidak cukup hanya ortodoksi (keyakinan akan kebenaran ajaran), tanpa ortopraksi (melaksanakan iman dengan perbuatan yang benar). Dalam ayat-ayat selanjutnya, Yesus tidak me-nolak ketika murid menyebut-Nya:  “Mar”, “Marya” (Aram), “Adonay” (Ibrani)  yang maknanya “Lord” (Matius 8:21). Ungkapan Aramaik “Mar”, “Marya” (Lord) ini ditemukan dalam lapisan Kekristenan yang tertua, terbukti dari seruan dalam ibadah gereja kuno:  Maranatha!. Artinya: “Datanglah segera, Ya Tuhan!”. Sekali lagi, Yesus sendiri membenarkan sapaan Tuhan yang diterapkan orang kepada-Nya: “Dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan” (Yohanes 13:13).
8. Apakah Ajaran Penebusan Doa berasal dari Konsep Kafir pra-Kristen?
PERTANYAAN:
Konsep tentang penebusan dosa berasal dari agama-agama pagan, yaitu ritus tumbal berdarah. Alkitab sendiri menekankan konsep “pertobatan” lalu pemberian pengampunan langsung, tanpa melalui korban berdarah. Hal ini tampak dari doa Raja Daud dalam Mazmur. “Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku” (Mazmur 51:4). “Bersihkanlah aku dari dosaku dengan hyssop, maka aku menjadi tahir. Basuhlah aku, maka akan menjadi lebih putih daripada salju” (Mazmur 51:9). Karena itu, penegasan ini jelas berbeda dengan ajaran Kristen/Katolik, bahwa kita diampuni dosa-dosa kita dengan ritual “memakan daging Yesus dan meminum darah-Nya”. Karena itu, ajaran seperti ini  jelas-jelas  asal-usulnya dari ritus pagan.
 JAWABAN:
Permohonan Daud agar dilepaskan dari dosa-dosa dan memohon pe-ngampunan, tidak bisa dipertentangkan dengan penebusan melalui Kristus. Ada beberapa bukti dalam teks ayat itu sendiri yang dengan jelas menolak ke-simpulan dangkal seperti itu. Pertama, Daud sendiri mengakui: “Sesungguhnya dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku” (Mazmur 51:7). Kedua, Raja Daud dalam bagian yang sama berdoa: “Lepaskanlah aku dari hutang darah, Ya Allah, Allah keselamatanku” (Mazmur 51:16). Ungkapan “dalam kesalahan aku dikandung” sekali lagi bukan berarti dosa-dosa nenek moyang harus kita warisi, melainkan akibat dosa manusia pertama ini telah membuat kita sejak lahir beada dalam kondisi yang merangsang orang untuk berbuat dosa. Itulah “hutang darah” yang dimaksud dalam doa Daud.
Bahwa manusia dilahirkan sebagai makhluk yang lemah, diakui sendiri oleh Al-Qur’an: Wa khuliqa al-Insanu dhaifân. Artinya : “Diciptakanlah Manusia sebagai makhluk yang lemah“ (Qs. an-Nisa’/4:28). Dan seperti diakui oleh Rasul Paulus bahwa ada suatu rangsangan dalam jiwa manusia yang cenderung berbuat kejahatan (Roma 7:21), Al-Qur’an sxendiri menyaksikan: Inna an-Nafsa la-ammâratu bissu’i. Artinya: “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”( Q.s. Yusuf/12:53). Karena itu, menurut Nurcholish Madjid, Islam juga mengakui adanya kejatuhan (Arab: hubuth) Adam dari surga, namun tidak menjadikan pangkal pokok dalam sistem teologinya. Jadi, ide penebusan tidak berasal dari ritus pagan, melainkan berasal dari ritus-ritus yang jelas-jelas tercantum dalam Taurat, Mazmur (Zabur) dan Kitab Nabi-nabi sebelum zaman Yesus.
Dalam Perjanjian Lama dikenal ritus Yom Kippur (Hari penebusan Dosa). Nah, dari  latar belakang yang sama, khususnya dari upacara Yom Kippur, kita dapat mengerti alam pikiran yang melatarbelakangi ide “penebusan dosa” (kaffarat) dalam Perjanjian Baru. Memang latar belakang lain, soal “denda tebusan” atau dalam bahasa Yunani: lutron, juga berperan,tetapi sebatas pada formulasi, bukan pad aide dasarnya. Ide dasarnya jelas-jelas berasal dari Kitab Taurat dan kitab nabi-nabi dalam Perjanjian Lama. Misalnya, apabila seekor lembu menanduk orang sampai mati, lembu itu harus dirajam sampai mati dan pemiliknya bebas. Tetapi apabila pemiliknya sudah sering diperingatkan tentang bahayanya lembu itu tetapi tidak menjaganya, apabila lembu itu menanduk orang sampai mati lagi, maka bukan hanya lembunya, melainkan pemiliknya juga harus dihukum mati. Ia bisa dibebaskan dengan cara membayar uang tebusan (koper) sebagai ganti atau tebusan nyawanya (Keluaran 21:28-30).
Inti dari ketentuan ini adalah “hukum balasan setimpal yang adil”, tapi lebih dari itu adalah ditekankan pengampunan (Keluaran 21:23-27; Immamat 19:17-18). Asas pembalasan setimpal itu (Arab: Qishash) disebutkan Taurat, dalam teks bahasa aslinya: We natattah nefes tahat nefes, ‘ayin tahat’ ayin syen tahat shen. Artinya: “Dan engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi” (Keluaran 21:23-24). Tetapi pada saat yang sama ditekankan supaya berdasarkan kasih, setiap orang tidak menuntut balas (Imamat 19:17-18). Asas tersebut hampir secara harfiah diterima dalam sistem hukum Islam, seperti disebut dalam Al-Qur’an: Wa katabnâ ‘alaihim fîha annan nafsa bi an-nafsi, wa  al-‘aina bi al-‘aini, wa al-anfa bi al-anfi,  wa al-udzuna bi al-udzuni, wassina bi ssini, wa al-jurûha qishâsh faman tashsddaqa bihi fahuwa kaffâratulahu. Artinya: “Dan telah Kami tetapkan kepada mereka dalam Taurat bahwa nyawa dibalas nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka pun dibalas dengan setimpal. Namun barang siapa rela melepaskan hak balasnya, maka perbuatan itu menjadi  kaffarat (penebus dosa) dosa baginya” (Qs. al-Maidah/5: 45).
Mengenai perbuatan tidak sengaja yang menyebabkan kematian, seperti tampak pada kasus lembu yang menanduk mati tersebut, pada pokoknya ada kewajiban memberikan tebusan (Ibrani: kofer, Arab: kaffarat). Sistem kaffarat ini sangat lazim juga dikenal bahkan cukup berkembang dalam fiqh Islam. Misalnya, mengenai kaffarat membunuh secara tidak sengaja orang Islam ialah memer-dekakan hamba mukmin, atau berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tanda pertobatan kepada Allah (Q.s. an-Nisa’ 4:92).  Dalam bidang ibadah, orang yang melanggar larangan ber-jima’ (bersetubuh) suami isteri di bulan suci Ramadhan, kaffarat-nya ialah puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Dalam Yudaisme zaman Alkitab, selain dikenal ide penebusan dalam sistem hukum mereka, secara khusus cukup berkembang pula dalam pandangan teologisnya. Perkembangan Yudaisme belakangan, khususnya setelah kehancuran Bait Allah tahun 70 Masehi mulai menghilangkan kurban sembelihan, mengakibatkan teolog-teolog Yahudi kini mengecilkan arti dosa. Memang benar manusia dilahirkan dalam “kondisi yang dirangsang dosa” (yetser ha Ra’), tetapi hal itu diimbangi oleh “keinsafan batin yang baik” (yetser ha Tov) sama bobotnya, yang apabila ditopang dengan pembacaan Taurat akan lebih unggul. Tekanan pada Hukum Taurat makin berlebih-lebihan sebagai reaksi dari semakin pesatnya perkembangan kekristenan waktu itu.
Karena itu dikenal perayaan khusus untuk penebusan, Yom Kippur (hari penebusan dosa) yang terkait dengan adanya kurban darah. Alasannya, karena nyawa makhluk ada dalam darahnya, karena itu darah mengadakan penebusan dengan perantaraan makhluk hidup (Imamat 17:11). Bahkan, Tuhan (YAHWEH) sendiri disebut “Sang Penebus” (Ibrani: go’el) dalam Kitab Taurat, Mazmur (Zabur) dan Nabi-nabi (Ulangan 7:8; 24:18; Mazmur 107: 2; Yesaya 48:20). Jadi, Islam juga mengenal sistem penebusan dalam hukumnya, tetapi tidak mengembangkannya dalam teologinya. Jadi, ide kaffarat dalam hukum Islam ini, mes-tinya dapat menjembatani doktrin Kristen tentang penebusan. Dalam hukum Yahudi maupun Islam tersebut, pembayaran suatu harga untuk pembebasan adalah hak asasi yang didasarkan atas prinsip keadilan. Karena itu, berangkat dari segi antropologis bahwa kealpaan, kelalaian dan kesalahan itu bukan sekedar bersifat kasuistik melainkan berakar dari sifat kodrati manusia, maka logis dan rasional apabila ide kaffarat bukan hanya diterapkan di dalam bidang hukum, tetapi juga menjadi tema sentral dalam teologi Kristen.
Berangkat dari kenyataan bahwa kelemahan itu inherent selalu melekat pada kodrat manusia, konsep penebusan ini begitu bermanfaat, bahkan menjadi satu-satunya jalan keluar yang paling logis. Dalam gereja mula-mula, tentu saja perumusannya antara lain tidak lepas dari metafor-metafor yuridis tersebut. Orang berdosa adalah budak dari dosa (Yohanes 8:34), secara kodrati manusia “bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa” (Roma 7:14). Dari sudut pandang yuridis, Hukum Taurat menentukan bahwa orang-orang berdosa harus mati. Untuk itu harus ada ”tebusan” (Ibrani : kopper, Arab : kaffarat)  sebagai harga yang harus dibayar untuk hak hidup yang sebenarnya sudah tidak ada, yang bagi iman Kristen seluruhnya telah menjadi final sudah kurban agung Kristus, sekali untuk selama-lamanya (Ibrani 10: 12). Jadi, Islam mengenal konsep penebusan dalam sistem hukumnya, tetapi menolak ide tersebut diterapkan dalam pandangan teologisnya.  Semoga penjelasan ini bisa membantu. ♦

Keesaan Allah dalam Dialog Teologis Kristen-Islam

بسم الاب والابن و الروح القدس، الاله الواحد،آمين
Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Allah Yang Maha  Esa, Amin.
Keesaan Allah dalam Dialog Teologis Kristen-Islam
Oleh: Bambang Noorsena
 1. Catatan Pendahuluan

قل لا إله إلا الله,  ولا شىء إلا الله , و كن مسيحياً

Qul: Lâ Ilaha illa llâh  wa  lâ  syai’an illa llah
wa kun Masîhiyyan.
Artinya: “Katakanlah: Tidak ada ilah selain Allah, dan
dan tidak ada sesuatu pun selain Allah, dan Jadilah kamu seorang Kristen!”.[1]
Ungkapan ini ditulis oleh Kahlil Gibran, seorang penyair Kristen Lebanon dalam  bukunya  Iram  Dzat  al-Imad (Iram, Kota yang Berbenteng). Ketika Kahlil Gibran menulis ungkapan dalam syairnya tersebut, bukan hal yang menghebohkan di dunia Arab, karena memang Kristen dan Islam berakar pada budaya dan bahasa yang sama. Lain di Lebanon, lain pula di Indonesia. Salah satu artikel saya, “Lâ Ilaha illa llâh: Tauhid dalam Kristen dan Islam”, pernah bikin heboh media massa di Indonesia beberapa tahun lalu.
Wacana ini pada waktu itu saya munculkan, bukan karena saya sekedar mencari sensasi, tetapi lebih-lebih didorong oleh keprihatinan karena kesenjangan yang kian melebar dalam dialog teologis Kristen-Islam di Indonesia, khususnya dalam “bahasa teologis”. Hal tersebut disebabkan, karena Kekristenan yang berkembang di Indonesia sudah sangat mapan berwarna Barat, meskipun Kekristenan, seperti halnya Islam, pada awalnya adalah agama Timur Tengah. Jadi, kita saja yang sebenarnya kagetan (terkaget-kaget) dan gumunan (terheran-heran).
Dalam artikel tersebut, saya buktikan bahwa bukan hanya ungkapan Lâ Ilaha illa llâh (Tidak ada ilah selain Allah) tersebut memang termaktub dalam Alkitab bahasa Arab,[2] tetapi juga dalam garis besar memang ada paralelisasi antara pergulatan pemikiran gereja mengenai keabadian Firman Allah yang dalam Iman Kristen diterapkan untuk ‘Isa Al-Masih, dengan Ilmu Kalam Islam yang diterapkan bagi al-Qur’an.
Kembali ke soal “bahasa teologis” doktrin keesaan Allah dalam Kristen dan Islam tadi, lebih jauh paralelisasi itu tidak hanya dalam penggunaan bahasa Arab saja, melainkan juga sama-sama menerima “warisan filsafat Yunani”, yang akhirnya mengalami proses arabisasi. Dan selanjutnya, warisan filsafat Yunani-Arab itulah yang dibawa ke Indonesia, seiring dengan perkembangan Islam. Menurut hemat saya, latarbelakang ini haruslah dipertimbangkan sebagai salah satu pola berteologi Kristiani yang kontekstual dalam rangka dialog teologis dengan Islam.[3]
Paralelisasi tersebut, ternyata tidak sulit dipahami oleh saudara-saudara Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Hasyim Muhammad dalam bukunya, Kristologi Qur’ani: Telaah Kontekstual Doktrin Kekristenan dalam al-Qur’an, sebagai berikut:
Pada wilayah Ilmu Kalam, perdebatan tentang doktrin kekekalan Memra (Firman) dapat dibandingkan dengan perdebatan tentang keqadiman al-Qur’an, sebagaimana yang dilakukan oleh Bambang Noorsena, seorang intelektual Kristiani. Ia menyerupakan pandangan Arius dengan kaum Mu’tazilah dalam aliran kalam, yang berpendapat bahwa al-Qur’an sebagai firman Allah adalah makhluk dan bersifat baru.
Sementara aliran-aliran gereja besar (Kanisah, wâ-hidah, muqadasah, jami’ah wa rasuliyah) yang meyakini kekekalan memra (Firman) serupa dengan Asy’ariyah atau paham Ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Asy’ariyah menyatakan bahwa Kalâm Allah adalah qa-dim, tidak diciptakan (ghair al-makhlûq), justru melalui Kalâm Allah alam semesta diciptakan. Sebagaimana dalam ayat al-Qur’an:

وَ مِنْ أياتِه أنْ تَقُوم السَمَآء والأَرْض بِأمْرِه ….

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah tegaknya langit dan bumi dengan (‘amr) perintah-Nya” (Q.s. ar-Rûm/30:25).
Menurut  al-Asy’ari, yang dimaksud dengan ‘amr adalah “Kalam Allah”. Sementara hubungan antara sifat dan dzat Allah digambarkan oleh Asy’ari, bahwa sifat-sifat Allah tidak identik dengan dzât, namun tidak berbeda dengan dzât (Al-Shifât laysa al-dzât wa lâ hiya ghairuhâ). Konsep ini sebanding dengan yang dikemukakan dalam al-Kitâb bahwa firman Allah kekal bersama Allah, dan serentak pula bukan lain dari Allah.
Berkenaan dengan wujud firman Allah yang diturunkan ke dunia dalam Kristen dikemukakan, bahwa firman Allah telah turun dari surga dan menjelma oleh Roh Kudus menjadi manusia dari Perawan Maryam (nazala min al-sama’i watajja-sad birûh al-quds, wa min Maryam al-Adzrâ’i al-batûli wa sharâ insânan). Sementara, mengenai turunnya kalâm Allah dalam perspektif Islam, al-Qur’an mengemukakan bahwa telah diturunkan kepada Muhammad kitâb (al-Qur’an) dengan kebenaran (nazala ‘alaika al-kitâba bi al-haq). Gereja membedakan antara tabi’at kemanusiaan Yesus yang makhluk dengan tabi’at keilahiannya  yang abadi (ghair al-makhlûq).
Demikian juga ilmu kalam membedakan antara al-Qur’an sebagai firman Allah yang kekal (kalâm nafsî) berupa nilai substantif pesan moral ketuhanan dengan al-Qur’an yang bersifat temporal (kalâm lafdhî) berupa susunan kalimat, suara dan warna yang menandai cirri fisik al-Qur’an.
Dengan demikian telah jelas, bahwa dalam iman Kristiani firman Allah identik dengan Yesus Kristus, bukan al-Kitâb. Sementara dalam Islam firman Allah identik dengan al-Qur’an, bukan Muhammad. Perbedaan inilah yang sering menimbulkan kesalahpahaman atau sumber perdebatan di kalangan agamawan dalam mengkomunikasikan antara doktrin-doktrin keislaman dan kekristen-an.[4]
2.  Syema “Tauhid Yahudi”, dan Pernyataan Allah dalam Kristus

          ܐܳܡܰܪ ܠܶܗ ܝܶܫܽܘܥ ܩܰܕ݂ܡܳܝ ܡܶܢ ܟ݁ܽܠܗܽܘܢ ܦ݁ܽܘܩܕ݁ܳܢܶܐ ܫܡܰܥ ܐܺܝܣܪܳܝܶܠ ܡܳܪܝܳܐ ܐܰܠܳܗܰܢ ܡܳܪܝܳܐ ܚܰܕ݂ ܗ݈ܽܘ                    Amar leh Yesyu’a, “Qadmai min kulhon phuqddana: Syma’ yisra’el, Marya elahan Marya had hu”.

          Kata Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah hai Israel, Tuhan, Ilah kita, Tuhan itu Esa” (Mark. 12:29, teks Peshitta).
Ungkapan Yesus, “Dengarlah, hai Israel, Tuhan Ilah kita, Tuhan itu Esa” (Sym’a Yisra’el Marya elahan Marya Had hu), adalah terjemahan bahasa Aram/Suryani, yaitu bahasa sehari-hari Yesus dan para murid-Nya, dari Syema’  atau Syahadat Yahudi yang aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani sebagai berikut: Syema’ Ysra’el YHWH Eloheinu YHWH Ehad.[5] Dalam teks-teks kuno bahasa Aram, tetagrammaton atau catur aksara suci YHWH (dibaca: The LORD, TUHAN), telah diterjemahkan dengan Marya.[6]
Pada saat yang sama, tradisi liturgis terkuno gereja Yahudi di Yerusalem, telah menerapkan gelar Mar tersebut (cf. Maranatha, yang berasal dari: Marana = “Tu(h)an kami”, tha = “Datanglah!”) itu untuk Yesus, yang mereka percayai sebagai Sang Mesiah yang dijanjikan Allah. Jadi, dalam Perjanjian Baru dikemukakan dengan tegas relasi khusus Yesus dengan Allah. Persoalannya, bagaimana hubungan ini dijelaskan?  Umat Kristen perdana percaya bahwa Yesus adalah Sang Mesiah yang datang dari Allah. Dan sudah barang tentu, keyakinan mengenai Raja Mesiah itu berakar dari konsep Yahudi.
Dan sebagaimana dicatat dalam targum-targum, yaitu komentar-komentar Perjanjian Lama dalam bahasa Aram, sosok Sang Mesiah ini diidentikkan dengan Memra (Firman Allah), yang oleh-Nya Allah menciptakan alam semesta, dan melalui-Nya pula Allah mengkomunikasikan Diri-Nya dengan umat ciptaan-Nya. Konsep Memra inilah yang melatarbelakangi prolog Injil Yohanes mengenai pra-eksistensi Firman Allah (Yoh. 1:1-3,14), dan bukan konsep logos dalam filsafat Helenisme, sekali pun teks bahasa Yunani dari Injil tersebut memakai istilah Logos yang sebelumnya sudah dipakai dalam Septuaginta.
Sementara itu patut dicatat pula, bahwa baik Taurat, Kitab Nabi-nabi dan Tulisan-tulisan Suci (Torah, Nevim we Ketuvim) yang oleh orang Kristen disebut Perjanjian Lama, menenekankan bahwa Allah itu Esa, dan bersama dengan itu Dia berkarya bersama Firman atau Hikmat-Nya, dan Roh Kudus-Nya. Begitu juga Perjanjian Baru meneruskan saja ungkapan-ungkapan ini, yang disebutnya sebagai Bapa, dan Putra dan Roh Kudus.
Jadi, tidak ada yang berubah dan berkembang mengenai konsep Allah, yang dalam Perjanjian Lama dan tradisi Yahudi pra-Kristen juga sudah digelari Sang Bapa,[7] yang berkarya bersama Firman dan Roh-Nya tersebut (Kej. 1:1-3). Satu-satunya perkembangan yang mungkin menarik dicatat, adalah ungkapan Putra Allah yang menunjuk kepada Firman-Nya. Dalam Perjanjian baru mendapatkan tekanan khusus, yang akhirnya dirumuskan dalam konsep “kelahiran ilahi Kristus” (Divine Birth of Jesus Christ).
Tetapi sekali lagi, meskipun Iman Kristen akhirnya menjadikan konsep kelahiran Ilahi tersebut sebagai “titik pancang” dalam teologinya, tetapi konsep ini juga bukan hal yang baru sama sekali. Sebab naskah-naskah Qumran sudah mengenal konsep kelahiran Ilahi Sang Mesiah dari Allah, seperti tercantum dalam QIsa 12,7: “Allah telah melahirkan Mesiah-Nya” (‘im yolid el eth ha Mashiah).[8] Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan lain dalam targum-targum Aram pra-Kristen yang memuat identifikasi Memra (Sabda Ilahi) dengan Sang Mesiah yang akan datang.
Nah, hubungan Keputraan Ilahi Yesus sebagai Firman Allah itu, dalam tulisan-tulisan patristik, yang antara lain dari murid-murid para rasul sendiri, lalu direnungkan, didalami dan direfleksikan dalam kehidupan iman gereja pada zamannya.  Permenungan itu, sudah dimulai sejak era kekristenan yang paling dini, seperti misalnya tampak dari doa kesyahidan Mar Polikarpus, seorang murid Rasul Yohanes, yang memuji Allah Bapa dan Yesus, Sang Imam Surgawi yang kekal, serta memuliakan Roh Kudus-Nya. [9]
Begitu juga, Mar Ignatius al-Anthakî (67-100 M), murid langsung Rasul Petrus dan Patriarkh gereja Antiokia, yang menulis lebih konseptual:
          Sesungguhnya Allah itu Esa, Ia telah menyatakan diri-Nya sendiri melalui Yesus Kristus Putra-Nya, yaitu Firman-Nya yang keluar dari keheningan kekal (hos setin auto seges proeltôn).[10]
          Dalam suratnya kepada orang-orang Efesus, Mar Ignatius juga menyebut ‘Isa (Yesus) sebagai “Manunggaling Kawula-Gusti” (en anthropo theos), dan menyebut kodrat ganda-Nya sebagai:
          “….yang menurut daging dan menurut Roh, yang dilahirkan dan yang tidak dilahirkan, yang keluar dari Maria dan yang keluar dari Allah (kai sarkikos kai pneumatickos, gennetos kai agennetos, kai ek marias kai ek theos), yang pertama terpikirkan dan yang kedua tak terpikirkan”.[11]
          Begitu juga dalam Surat Barnabas (ditulis tahun 90-120), pra-eksistensi Yesus sebagai Firman Allah sangat ditekankan. Dalam dokumen yang sampai sekarang dihormati dalam Gereja Ortodoks Koptik, dan dibacakan dalam rangkaian tahun liturgis dalam terjemahan bahasa Arab itu, disebutkan sebagai berikut:

و إن كان ابن الله قد جاء باجسد

“Dan apabila Putra Allah telah datang sebagai manusia…”
(Risâlah Barnâbâ/Epistle of Barnabas 5,11).

كيف يعلن الاب كل شىء مفصلا عن إبنه

“Bagaimana Sang Bapa telah menyatakan segala sesuatu melalui Putra-Nya”
(Risâlah Barnâbâ/Epistle of Barnabas 5,11).[12]
Sedangkan Mar Yustin al-Syahid (100-167) menegaskan bahwa Yesus sebagai Firman Allah adalah “tidak diciptakan” (ghayr al-makhlûq). “Kami menyembah Allah”, katanya, “tetapi kami juga mengasihi Firman yang keluar dari Allah, yang tidak diciptakan dan kebesaran-Nya tidak terhingga”. [13] Demikianlah bapa-bapa rasuli merefleksikan relasi antara Allah, Firman dan Roh-Nya pada awal sejarah gereja perdana, hingga munculnya bid’ah Arius yang menyangkal ke-“bukan makhluq”-an Firman Allah.
Sebagai reaksi atas pandangan Arius, yang mementaskan paham Logos Neo-Platonis itulah, konsili Nikea tahun 325 digelar, yang memutuskan ajaran yang diwarisi gereja dari mula-mula bahwa Firman bukan ciptaan, karena justru “oleh-Nya Allah telah menciptakan segala sesuatu” (Kej. 1:3, Maz. 33:6; Yoh. 1:3, 1 Kor. 8:6). Jadi, dengan menegaskan bahwa Firman dan Roh-Nya tidak tercipta, sebenarnya konsili-konsili ekumenis gereja mula-mula hanyalah menegaskan kekekalan hypostasis-hypostasis ilahi dalam Allah Yang Esa, dan bukan memperilah sesuatu di luar Dzat-Nya.
Dalam konteks inilah penegasan keilahian Yesus harus kita pahami, bahwa frase-frase kontra-Arian dalam konsili Nikea, yang berbunyi sebagai berikut:
 “Putra Allah yang tunggal yang lahir dari Sang Bapa yang sehakekat dengan Dzat Sang Bapa…” (Ibn allâh al-wahîd al-maulûdu min al-Ab alladzi jauhar al-Ab), …[14]
“dilahirkan, tidak diciptakan, satu dengan Sang Bapa    dalam Dzat-Nya, yang melalui-Nya segala sesuatu baik di langit dan di bumi telah diciptakan” (maulûdu   ghayr al-makhlûqin, wâhidun ma’a al-Abi fî al-jau- har, alladzi bihi kâna kullu syai’in mâ fî al-samâ’i wa   mâ ‘ala al-ardh).[15]
Semua penegasan di atas menunjuk kepada Yesus sebagai Firman Allah yang satu dengan Allah, dan bukan ke-pada kemanusiaan Yesus Kristus, seperti yang sering disalah-pahami. Untuk lebih jelasnya, setelah menegaskan keilahian Sang Firman, konsili ekumenis juga mengeluarkan anathema terhadap ajaran Arius:

          أما أولئك  الذين يقولون: ” أنه كان وقت لم يكن هو كائنا”, “وأنه قبلما يولد لم يكن”, “وأنه من عدم الوجود جاء للوجود”, أو يؤكدون أنه من مادة أوجوهرآخر أومخلوق  أو متغير فالكنيسة المقد سة الجامعة الرسولية تعلن أنهم محرومون.      

Sedangkan tentang mereka yang berkata: “Pernah ada waktu dimana Firman belum ada”, atau “Sebelum dilahirkan, Dia tidak ada”, atau “Firman Allah itu berasal dari tidak ada kemudiaan menjadi ada” (creatio ex nihilo), dan juga mereka yang menyangkal bahwa Putra Allah mempunyai zat lain, atau dzat lain selain dari Allah”, atau “diciptakan”, atau “dapat berubah”, maka Gereja (Tuhan) yang kudus, jâmi’ah (‘am, universal) dan rasuli, dengan ini mengharamkan (tahrim) ajaran mereka”.[16]
 3.  Allah Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan
Kalau begitu, bagaimana menjelaskan gelar “Putra Allah” yang sering menjadi kendala dalam dialog teologis dengan Islam? Harus ditegaskan, bahwa tidak ada umat Kristen yang pernah mempunyai sebersit pemikiran pun bahwa Allah secara fisik mempunyai anak, seperti keyakinan primitif orang-orang Mekkah pra-Islam pada saat kelahiran Islam.
Saya ingin menjelaskan metafora ini berdasarkan teks-teks sumber Kristen Arab, supaya terbangun kesalingpahaman teologis Kristen-Islam di Indonesia. Sebab selama ini ada jarak yang cukup lebar secara kultural antara “bahasa teologis” Kristen Barat, yang memang tidak pernah bersentuhan dengan Islam, sehingga kesalahpahaman terhadap Iman Kristen semakin meruncing.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, istilah Putra Allah yang diterapkan bagi Yesus dalam Iman Kristen untuk menekankan praeksistensi-Nya sebagai Firman Allah yang kekal, seperti disebutkan dalam Injil Yoh. 1:1-3. Ungkapan “Pada mulanya adalah Firman”, untuk menekankan bahwa Firman Allah itu tidak berpermulaan, sama abadi dengan Allah karena Firman itu adalah Allah sendiri, dan bukan wujud selain-Nya.
Selanjutnya, “Firman itu bersama-sama Allah”, menekankan bahwa Firman itu berbeda dengan Allah.  Allah adalah Esensi Ilahi (Arab: al-dzat, the essence),  yang dikiaskan Sang Bapa, dan Firman menunjuk kepada “Pikiran Allah dan Sabda-Nya. Akal Ilahi sekaligus Sabda-Nya” (‘aql al-lâh al-nâtiqi, au nâtiq al-Lah al-‘âqli, fahiya ta’ni al-‘âqlu wa al-nâtiqu ma’an), demikianlah term-term teologis yang sering dijumpai dalam teks-teks Kristen berbahasa Arab.
Sedangkan penegasan “dan Firman itu adalah Allah”, menekankan bahwa Firman itu, sekalipun dibedakan dari Allah, tetapi tidak berdiri di luar Dzat Allah. Mengapa? “Tentu saja”, tulis Baba Shenuda III dalam bukunya Lahut al-Masih (Keilahian Kristus), “Pikiran Allah tidak akan dapat dipisahkan dari Allah (‘an ‘aql al-lâhi lâ yunfashilu ‘ana-llah)”.[17] Dengan penegasan bahwa Firman itu adalah Allah sendiri, maka keesaan Allah (tauhid) secara murni kita pertahankan.
Ungkapan “Firman itu bersama-sama dengan Allah”, tetapi sekaligus “Firman itu adalah Allah”, bisa dibandingkan dengan kerumitan pergulatan pemikiran Ilmu Kalam dalam Islam, yang merumuskan hubungan antara Allah dan sifat-sifatnya, yang tidak sama dengan Dzat Allah tetapi juga tidak berbeda dengan-Nya.  Jadi, kata shifat  dalam Ilmu Kalam Islam tidak hanya bermakna sifat atau karakter dalam bahasa sehari-hari, melainkan mendekati makna hypostasis dalam bahasa teologis Kristen.
Dalam sumber-sumber Kristen Arab sebelum dan sesudah zaman al-Asy’ari, hypostasis sering diterjemahkan baik shifat maupun uqnum, “pribadi” (jamak: aqânim), asal saja dimaknai secara metafisik seperti maksud bapa-bapa gereja, bukan dalam makna psikologis. Sedangkan ousia diterjemahkan dzat, dan kadang-kadang jauhar.[18] Istilah dzat dan shifat tersebut dipentaskan-ulang dalam perdebatan kaum Suni dengan kaum Mu’tazilah yang menyangkal keabadian Kalam Allah (Al-Qur’an), sebagaimana Konsili Nikea tahun 325 M mereaksi ajaran bid’ah Arius, seperti telah dikemukakan di atas. Kembali ke makna Putra Allah. Melalui Putra-Nya atau Firman-Nya itu Allah menciptakan segala yang ada di jagat raya: “Segala sesuatu diciptakan oleh Dia, dan tanpa Dia tidak sesuatupun yang jadi dari segala yang dijadikan” (Yoh. 1:3).
Karena itu, jelaslah bahwa mempertahankan ke-ilahian Yesus dalam Iman Kristen, tidak berarti mempertuhankan kemanusiaan-Nya, apalagi dengan rumusan yang jelas-jelas tidak diarahkan al-Qur’an untuk Iman Kristen sejati: “Sesungguhnya Allah adalah al-Masih Putra Maryam” (Inna l-lâha huwa al-Masîh bnu Maryam). Q.s. Al-Maidah/ 5:75.[19] Jelaslah bahwa Iman Kristiani sejati tidak pernah menyamakan kemanusiaan Yesus dengan Allah.
Apabila umat Kristiani berusaha keras mempertahankan keilahian Yesus, sesungguhnya yang kita maksudnya adalah menegaskan keabadian Firman Allah yang selalu berada dalam Dzat Allah, yang melalui-Nya alam semesta dan segala isinya ini telah diciptakan. Dan karena sejak kekal Kristus adalah Akal Allah dan Sabda-Nya, maka jelaslah Firman itu adalah Allah. Karena Sabda atau Pikiran Allah berdiam dalam Allah sejak kekal (wa madâma al-Masîh huwa ‘aql  al-Lâh al-nâtiqi, idzan fahuwa al-lah, lianna ‘aql al-Lah ka’inu fî llahi mundzu azali). Dan sudah barang tentu, Firman itu bukan ciptaan (ghayr al-makhluq), karena setiap ciptaan pernah tidak ada sebelum ia diciptakan),[20] seperti ditegaskan dalam rumusan Qânûn al-Imân (Syahadat Nikea/ Konstantinopel).
Secara logis, mustahillah kita  membayangkan pernah ada waktu dimana Allah ada tanpa Firman-Nya, kemudian Allah menciptakan Firman itu untuk Diri-Nya sendiri. Bagaimana mungkin Allah ada tanpa Pikiran atau Firman-Nya? Kini kita memahami secara jelas ajaran tentang Allah Yang Mahaesa, yang berdiam sejak kadim sampai kekal bersama Firman dan Roh Kudus-Nya.[21] Selanjutnya, istilah Putra Allah berarti “Allah mewahyukan Diri-Nya sendiri melalui Sang Putra atau Firman-Nya” (cf. كيف يعلن الاب كل شىء مفصلا عن إبنه Risâlah Barnâbâ/Surat Barnabas 5:11).
Allah itu transenden, tidak tampak, tidak terikat ruang dan waktu. “Tidak seorang pun melihat Allah”, tulis Rasul Yohanes dalam Yoh. 1:18, “tetapi Anak Tunggal Allah yang ada di pangkuan Bapa Dialah yang menyatakan-Nya”. Inilah makna tajjasad (inkarnasi). “Dengan inkarnasi Firman-Nya”, kata Anba Shenûda III, “kita melihat Allah. Tidak seorangpun melihat Allah dalam wujud ilahi-Nya yang kekal, tetapi dengan nuzulnya Firman Allah, kita melihat pewahyuan diri-Nya dalam daging” (Allahu lam yarahu ahadun qathu fî lahutihi, wa lakinnahu lamma tajjasad, lamma thahara bi al-jasad).[22]
Melalui Firman-Nya Allah dikenal, ibarat seseorang mengenal diri kita setelah kita menyatakan diri dengan kata-kata kita sendiri. Jadi, sebagaimana kata-kata seseorang  yang keluar dari pikiran seseorang mengungkapkan identitas diri, begitu Allah menyatakan Diri-Nya melalui Firman-Nya. Inilah maka ungkapan Qânûn al-Imân (Syahadat Nikea/ Kons-tantinopel tahun 325/381), yang mengatakan bahwa Putra Allah yang Tunggal telah “lahir dari Sang Bapa sebelum segala zaman” (Arab: al-mauludu min al-Abi qabla kulli duhur). Adakah di dunia ini seseorang yang dilahirkan dari Bapa? Jawabnya, tentu saja tidak ada! Setiap orang lahir dari ibu. Karena itu, Yesus disebut Putra Allah  jelas bukan kelahiran fisik, tetapi kelahiran ilahi-Nya sebagai Firman yang kekal sebelum segala zaman.
Tetapi bukankah secara manusia Yesus dilahirkan oleh Bunda Maria? Betul, itulah makna kelahiran-Nya yang kedua dalam daging. Mengenai misteri ini, Bapa-bapa gereja merumuskan 2 makna  kelahiran (wiladah) Kristus itu, yaitu kelahiran kekal-Nya dari Bapa tanpa seorang ibu (milad azali min Ab bighayr jasadin qabla kulli duhur), dan serentak dengan itu kelahiran fisik-Nya dalam keterbatasan zaman dari ibu tanpa seorang bapa (wa milad akhara fî mal’i  al-zamân min umm bi ghayr ab).[23]
“Lahir dari Bapa tanpa seorang ibu”, menunjuk kepada kelahiran kekal Firman Allah dari Wujud Allah. “Tanpa seorang ibu”, untuk menekankan bahwa kelahiran itu tidak terjadi dalam ruang dan waktu yang terbatas, bukan kelahiran jasadi (bighayr jasadin) melalui seorang ibu, karena memang “Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan”. Jadi, dalam hal ini Iman Kristen bisa sepenuhnya menerima dalil al-Qur’an: lam yalid wa lam yulad (Allah tidak bernak dan tidak diperanakkan), karena memang tidak bertabrakan dengan makna teologis gelar Yesus sebagai Putra Allah atau Firman Allah.
 Sebaliknya, “Lahir dari ibu tanpa bapa”, menekankan bahwa secara manusia Yesus dilahirkan dalam ruang dan waktu yang terbatas. Meskipun demikian, karena Yesus bukan manusia biasa seperti kita, melainkan Firman yang menjadi manusia, maka kelahiran fisik-Nya ditandai dengan mukjizat tanpa perantaraan seorang ayah insani. Kelahiran-Nya yang kedua ke dunia karena kuasa Roh Allah ini, menyaksikan dan meneguhkan kelahiran kekal-Nya “sebelum segala abad”. Dan karena Dia dikandung oleh kuasa Roh Kudus, maka Yesus dilahirkan oleh Sayidatina Maryam al-Adzra’ (Bunda Perawan Maria) tanpa seorang ayah. Dari deskripsi di atas, jelaslah bahwa ajaran Tritunggal sama sekali tidak berbicara tentang ilah-ilah selain Allah.
Ajaran rasuli ini justru mengungkapkan misteri keesaan Allah berkat pewahyuan diri-Nya dalam Kristus, Penyelamat Dunia. Dalam Allah (Sang Bapa), selalu berdiam secara kekal Firman-Nya (Sang Putra) dan Roh Kudus-Nya. Kalau Putra Allah berarti Pikiran Allah atau Sabda-Nya, maka Roh Kudus adalah Roh Allah sendiri, yaitu hidup Allah yang abadi.  Bukan Malaikat Jibril seperti yang sering dituduhkan beberapa orang Muslim selama ini. Firman Allah dan Roh Allah tersebut bukan berdiri di luar Allah, melainkan berada  dalam Allah dari kekal sampai kekal.
Jadi, jelaslah bahwa Iman Kristen tidak menganut ajaran sesat yang diserang oleh al-Qur’an, bahwa Allah itu beranak dan diperanakkan. Untuk memahami Iman Kristen mengenai Firman Allah yang nuzul  (turun) menjadi manusia ini, umat Islam hendaknya membandingkan dengan turunnya al-Qur’an Kalam Allah (nuzul al-Qur’an). Kaum Muslim Suni (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) juga meyakini keabadian al-Qur’an sebagai kalam al-nafsi (Sabda Allah yang kekal) yang berdiri pada Dzat-Nya, tetapi serentak juga terikat oleh ruang dan waktu, yaitu sebagai kalam al-lafdzi (Sabda  Tuhan yang temporal) dalam bentuk mushaf al-Qur’an al-Karim dalam bahasa Arab yang serba terbatas.
Selanjutnya, sama seperti tubuh fisik kemanusiaan Yesus yang terikat ruang dan waktu, yang “dibunuh dalam keadaannya sebagai manusia” (1 Pet. 3:18), begitu juga mushaf al-Qur’an bisa rusak dan hancur. Tetapi Kalam Allah tidak bisa rusak bersama rusaknya kertas  al-Qur’an tersebut. Demikianlah Iman Kristen memahami kematian Yesus, bahwa kematian itu tidak berarti kematian Allah, karena Allah tidak bisa mati. “Dia menderita”, kata Mar Yustin Syahid (menulis tahun 150 M), “bukan dalam tabiat ilahi-Nya (sebagai Firman Allah) yang dilahirkan dari Allah, yaitu dari Dzat Sang Bapa”.[24]
Saya kemukakan data-data paralelisasi ini bukan untuk mencocok-cocokkan dengan Ilmu Kalam Islam. Sebab justru seperti sudah saya tulis di atas, teolog-teolog Kristen Arab  menerjemahkan istilah-istilah teologis itu dari bahasa Yunani dan Aram/ Suryani ke dalam bahasa Arab, baik sebelum maupun sesudah munculnya perdebatan ilmu Kalam dalam Islam, dari bahasa Yunani dan Aram ke dalam bahasa Arab, dan tetap memakai istilah-istilah teologis tersebut sampai sekarang.
4. The Lordship of Jesus Christ
Neum Hashem ladonay, Syev li-yaminî. Artinya: “Firman TUHAN kepada Tu(h)anku: Duduklah di sebelah kananKu” (Mazmur 110:1). Rabbi Yodan ber-kata atas nama Rabbi Ahan Bar Haninan: “Hashem Ha Qadosh Barukh Hu (TUHAN, Yang Maha Terpuji) akan menempatkan Sang Raja Mesiah duduk di sebelah kanan-Nya” (Yakut Shimoni Tehilim 110).[25]
Salah satu “batu sandungan” dalam percakapan teologis Kristen-Islam adalah masalah Ketu(h)an Yesus.  Mengapa seorang Nabi dipertuhan? Padahal sudah ditegaskan bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Begitu biasanya ungkapan Lâ ilaha ilallah biasanya diterjemahkan di Indonesia. Konkritnya, dalam bahasa Indonesia biasanya umat Islam tidak membedakan istilah Arab ilah (Inggris: God) dan Rabb (Inggris: Lord), keduanya diterjemahkan “Tuhan”. Malahan pula, pada umumnya dalam bahasa Indonesia lebih dikenal istilah Ketuhanan untuk kata Inggris “Godhead”, “Divine” (bandingkan: “Ketuhanan Yang Mahaesa”) ketimbang istilah “Keilahian” (Arab: Lahutiyah).
Penyamarataan itu sumber salah paham, sebab dalam Kristen cukup dibedakan makna Keilahian dan Ketuhanan dalam kaitannya dengan perbincangan tentang Keesaan Allah dalam Kristus. Maksudnya, sebutan “Tuhan Yesus” sama sekali tidak bermaksud mengadakan ilah selain Allah, atau menyejajarkan kemanusiaan Yesus Kristus dengan Allah. Yesus disebut Tuhan dalam makna Rabb (Gusti, Penguasa), karena Allah telah melimpahkan kuasa-Nya di langit dan di bumi (Mat. 28:20; Kis. 2:38; Flp. 2:11).
Seperti telah disebutkan di atas, kata “Tuhan” sejajar bahasa Ibrani Adonay dan bahasa Aram Marya. Meskipun dalam bahasa Yunani diterjemahkan Kyrios, tetapi penerapan gelar Mar, Marya bagi Yesus seperti tampak dari seruan liturgis tertua Maranatha,  membuktikan bahwa ide ketuhanan Yesus lebih dilatarbelakangi oleh ide Yahudi, ketimbang ide Yunani. Penerapan gelar Marya (Tuhan) bagi Yesus ini, misalnya, tertulis dalam Kis. 2:34-36 dalam bahasa Aram (Syriac) yang berbunyi:

34 ܠܐ  ܗܘܐ ܓܝܪ ܕܘܝܕ ܤܠܩ ܠܫܡܝܐ ܡܛܠ ܕܗܘ ܐܡܪ ܕܐܡܪ ܡܪܝܐ ܠܡܪܝ ܬܒ ܠܟ ܡܢ ܝܡܝܢܝ    
35 ܥܕܡܐ ܕܐܤܝܡ ܒܥܠܕܒܒܝܟ ܟܘܒܫܐ ܠܪܓܠܝܟ    
36 ܫܪܝܪܐܝܬ ܗܟܝܠ ܢܕܥ ܟܠܗ  ܒܝܬ  ܐܝܤܪܝܠ  ܕܡܪܝܐ               ܘܡܫܝܚܐ ܥܒܕܗ ܐܠܗܐ ܠܗܢܐ ܝܫܘܥ ܕܐܢܬܘܢ ܙܩܦܬܘܢ  

34Lâ hwâ geir dawid sleq lashmayâ mitol dehu emar: demar Maryâ le Mari, Ttev lak min yemini. 35’Adama desim belduvanik khuvshâ le ragleik. 36Sharirait ha keil neddak kulleh Beit Yisael de Maryâ wa Mashihâ ‘avdeh Alahâ lemanâ Yeshu’a de anton zegaphton.
Artinya: 34Bukan Daud yang telah naik ke surga, sebab dia sendiri malahan berkata: Firman Tuhan (Marya) kepada Tuanku (Mari), Duduklah kamu di sebalah kanan-Ku 35sampai Kubuat musuh-musuhmu di bawah tumpuan kaki-Mu 36Jadi seluruh keluarga Israel harus mengetahui bahwa Allah telah menjadikan Yesus yang  kamu salibkan itu sebagai Marya/Tuhan dan Meshiha/  Kristus (Kis. 2:34-36, Peshitta).
Mengingat term-term keagamaan dalam bahasa Indonesia banyak berasal dari bahasa Arab, cukup relevan kiranya kita simak pemikiran Idries Shah dalam The  Elephant in the Dark.[26] Penulis sufi ini menekankan pentingnya penggunaan bahasa Arab bersama-sama di lingkungan Kristen dan Islam, untuk terciptanya saling pengertian. Mencontohkan salah satu kendala dialog teologis Kristen-Islam, Idries Shah mengutip Geoffray Parrinder, dalam Jesus in the Qur’an,[27] yang mengingatkan pembaca berbahasa Inggris mengenai makna Ketuhanan Yesus (The Lordship of Jesus).
Yesus digelari sebagai Lord sebagai gelar penghormatan. Dalam bahasa Arab ditemui paralelnya as-Sayid (Gusti, Pangeran), suatu gelar yang juga diterapkan bagi Nabi Muhammad (Sayidina Muhammad). Karena itu, dengan tanpa masalah, M. Kamel Husayn dalam City of Wrong (aslinya ditulis dalam bahasa Arab: Qaryah dhalimah), yang menelaah kota suci Yerusalem pada hari Jum’at yang kudus (pada saat penyaliban Kristus) dari sudut pandang seorang Muslim, dan gelar Sayid al-Masih  (the Lord Christ) digunakan secara teratur.[28]
Kendati pun patut dicatat, kendati penerapan gelar as-Sayid  itu bagi Yesus maupun Muhammad dapat diperbandingkan, tetapi tidak sepenuhnya dapat disamakan. Maksudnya, alasan teologis di belakang penerapan gelar yang sama tersebut. Patut diketahui, dalam Alkitab bahasa Arab baik sebutan ar-Rabb dan as-Sayid sama-sama muncul sebagai terjemahan nama-nama Allah YHWH (Tuhan) dan Adonay (Tuhan).[29]
Apakah makna ketuhanan Yesus Kristus? Sebagaimana dikemukakan di atas, Iman Kristiani membedakan antara makna Keilahian Yesus (the Divine/Godhead of  Jesus) dan Ketuhanan Yesus (the Lordship of Jesus). Keilahian Yesus menunjuk sosok adikodrati-Nya sebagai Firman Allah “yang kekal bersama-sama Allah” (kâna hadza qadiman ‘indallah) dan selalu melekat  (qai’mah) dalam Dzat-Nya (Yoh. 1:1-3), sebanding dengan penghayatan teologi Islam mengenai al-Qur’an sebagai Kalam nafsî (Sabda Allah yang kekal). Meskipun demikian, keilahian Firman Allah tersebut dalam Iman Kristen tetap dibedakan dan tidak dicampurkan dengan wujud nuzul Yesus (‘Isa al-Masih) sebagai Manusia (1 Tim. 2:5; 1 Pet. 3;18).
Untuk lebih jelasnya, kita dapat melacak latarbelakang teologisnya dari penghayatan Yudaisme tentang Allah dan Sang Raja Mesiah yang akan datang. Dalam pengharapan mesianik Yahudi, salah satu gelar Mesiah yang akan datang adalah juga Adonay, “Tu(h)an”, seperti disebutkan dalam Maz. 110:1 yang berbunyi:

נאם יהוה לדני שׁב לימיני

Neum YHWH ladonay, Syav le yaminî.
Firman Yahwe (TUHAN) kepada Adonay (Tuanku): “Duduklah di sebelah kanan-Ku”.[30]
Perlu dicatat pula, bahwa menghubungkan Maz. 110 dengan Mesiah bukan hanya tradisi Kristen saja, tetapi sudah diawali lebih dahulu oleh tulisan-tulisan para rabbi sebelum zaman Kristen, maupun pada masa-masa sesudahnya sampai sekarang. Misalnya, seperti ungkapan Rabbi Yodan yang mengajar atas nama Rabbi Ahan Bar Haninan, bahwa TUHAN sendiri yang memanggil Raja Mesiah sebagai Adonay (Tuhan, Tuanku) dan akan menempatkan Mesiah itu di sebelah kanan-Nya. Tafsiran Yahudi ini, selain dijumpai dalam Yalkut Shimoni (Tehilim 110), tercatat juga dalam Nedarim 32b dan Sanhedrin 108b.[31]
Pemahaman Yahudi inilah yang melatarbelakangi khutbah Petrus dalam Kis. 2:36 yang kita kutip di atas, bahwa Allah sendirilah yang telah menjadikan Yesus sebagai Tu(h)an dan Kristus. Sekali lagi, Tuhan di sini bukan dalam makna ilah selain Allah, melainkan sebagai rabb (Penguasa) sesuai dengan pengharapan Yahudi di atas. Bagaimanakah makna lebih lanjut gelar Adonay (Tuhan) bagi Raja Mesiah di kalangan Kristen awal? Sebagaimana telah disinggung di atas, tradisi Yahudi (yang juga diikuti Yesus dan para Rasul-Nya) tidak mengeja Nama Diri (Ismu al-Dzat, “proper name”) Allah dalam bahasa Ibrani: YHWH (bacaan akademis yang diusulkan: Yahwe). Sebagai gantinya, namun tetap membiarkan empat huruf suci itu dalam Taurat, tetapi mereka membacanya ha-Syem (Sang Nama) atau Adonay (Yunani: Kyrios; Aram: Marya; Arab: Rabb atau Inggris: Lord). Pada akhirnya, Allah sendiri memberikan gelar itu kepada Yesus Sang Mesiah, Firman-Nya sendiri yang nuzul (turun) ke dunia. Karena itu Yesus bersabda: “Segala kuasa di surga maupun di bumi telah dilimpahkan kepadaKu” (Mat. 28:20).
Makna pelimpahan kekuasaan dalam Mat. 28:20 ini, sekalipun tidak persis sama, kira-kira sejajar dengan ungkapan al-Qur’an, s. Ali Imran/3:45 mengenai Yesus: Al-Masîh ‘Isa bnu Maryama wajihan fî al-dunya wa al-akhirah (Al-Masih ‘Isa putra Maryam yang terkemuka di dunia dan di akhirat). Nah, penerapan gelar Adonay bagi Sang Mesiah dalam Iman Kristen berarti melalui Mesiah-Nya Allah menyatakan ke-Tuhanan-Nya. Dalam makna ini, Yesus bi-idzinillah (dengan izin Allah) bergelar “Tuhan (Rabb) dan Kristus (al-Masih (Kis. 2:36), dan “Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah, Bapa” (Flp. 2:11).
Selanjutnya, gelar yang menurut harapan mesianik Yahudi akan diterapkan bagi Sang Raja Mesiah ini, juga berhubungan erat dengan ungkapan “duduk di sebelah kanan Allah”. Mengapa? Ungkapan simbolik ini muncul dalam kaitan dengan pola bangunan Bait Suci (Ibrani: Beyt hammiqdash, Arab: ”Bayt al-Maqdis) dimana istana raja-raja keturunan Daud berada di sebelah selatan Ruang Mahakudus (devir) Bait Allah yang menghadap ke timur. Ini berarti istana Daud ber-ada “di sebelah kanan”  ruang mahakudus  yang melambang-kan kehadiran (shekinah) Allah. Jadi, maksud firman dalam Maz. 110:1  שׁב לימיני  Syev li-yamini (Duduklah di sebelah Kanan-Ku), bahwa TUHAN telah memberikan kekuasaan-Nya kepada Raja Mesiah kekal selama-lamanya.

5. Makna Ganda Tu(h)an: Keterbatasan Bahasa

Tinggal masalah terakhir adalah soal salahfaham dalam bahasa, karena bahasa Indonesia tidak mengenal satu kata bermakna ganda, sebagaimana istilah Adonay, Marya, Kyrios, Rabb, Lord atau Gusti. Karena itu, dalam penulisan-penulisan makalah saya di beberapa forum Islam saya me-naruh 2 tanda kurung diantara aksara (h) pada kata Tuhan. Karena penulisan ini saya sering disalahfahami, seolah-olah saya meragu-ragukan Ketuhanan Yesus. Padahal sama sekali bukan itu maksud saya, dan untuk itu perlu saya menjelaskan di sini.
Sebagaimana sudah saya singgung di muka, kata Tuhan dalam bahasa Indonesia pada umumnya lebih paralel dengan God, Ilah, Deus, Theos. Nah, seorang non-Kristen tidak mungkin bisa memahami ungkapan dalam bahasa Indonesia bahwa Tuhan telah mati, karena latarbelakang tersebut di atas. Padahal, seorang bisa menerapkan hal itu pada bahasa-bahasa lain yang paralel: Adonay, Marya, Lord  atau Gusti, yang bisa bermakna Tu(h)an, maksudnya baik Tuan maupun Tuhan. Ungkapan “Tuhan sudah mati”, bagi pemakai bahasa Indonesia pada umumnya sama saja maknanya bila orang Kristen berkata “Allah sudah mati”. Nah, padahal kematian Yesus itu sama sekali tidak menyentuh keilahianNya sebagai Firman Allah. Rasul Petrus menyaksikan dengan jelas bahwa Yesus “telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia” (1 Pet. 3:18).
Padahal dalam diri Kristus, sekalipun telah dipersatukan kodrat ilahi dan kodrat insani sekaligus menjadi “satu pribadi” (rumus Kalsedonia) atau “satu kodrat ganda” (rumus non-Kalsedonia), dimana antara Firman Allah dan kemanusiaan-Nya “tidak berbaur dan tidak berubah”. Jadi, kematian tubuh yang dikenakan oleh Firman Allah tidak menyentuh sama sekali keilahian-Nya yang kekal. Meskipun demikian, Allah yang kita sembah bukan ilah yang bersifat impalbilitas, seperti dewa-dewa Yunani yang diam, dingin dan apatis (tanpa rasa). Sebab itu sebaliknya, antara kemanusiaan dan ke-ilahianNya sebagai Firman Allah juga “tidak terbagi dan tidak terpisah”. Maksudnya, sekalipun Firman Allah sama sekali tidak merasakan atau dapat disentuh maut, tetapi dengan kematian tubuh insani Yesus itu Allah turut “berbela-rasa” umat-Nya.
Hal itu bisa dibaratkan bendera kerajaan adalah kebanggaan seorang raja, ketika bendera itu diinjak-injak pasukan musuh, hati raja itu terasa tercabik-cabik, meskipun tubuh raja itu sama sekali tidak terluka.[32] Jadi, sekalipun Allah tidak dapat mati, tetapi dalam kasih-Nya “turut merasakan” kematian Yesus Putra-Nya. “Kuduslah Engkau, Ya Yang Tidak dapat mati” (Quddûsu anta, yâ  ghayr al-mâti), demikian kidung Trisagion bahasa Arab yang dinyanyikan di Gereja Ortodoks Syria, “yang telah disalibkan bagi kami, kasihanilah kami! (Yâ man shulibta ‘ana irhamnâ).[33]  Dengan demikian, Firman Allah yang satu dengan Allah (Yoh. 1:1), yang tidak berkematian, satu dengan wujud inkarnasi-Nya sebagai manusia, yang dapat menderita dan mati. Kesatuan itu unik sedemikian rupa, tanpa berbaur tanpa berubah, dan  tanpa terbagi, tanpa terpisah. ¶
Daftar Kepustakaan
‘Abd al-Lâh, Mâhir Yûnân. Al-Thawâ’if al-Masîhiyyat fî Mishra wa al-‘âlam (Al-Qâhirah: al-Nâsyir Mâhir Yûnân ‘Abdu llâh, 2001).
Aland, Nestle. (ed.), Novum Testamentum Graece (Stuttgart: Deutsche Bibelstiftung, 1981), hlm. 131.
Al-Kitâb al-Muqaddas. Ay Kutub al-‘Ahd al-Qadîm wa al-‘Ahd   al-Jadîd
(Beirut: Dâr al-Kitâb al-Muqaddas fî asy Syarq al-Ausath, 1993).
Donin, Rabbi Hayim Halevy. To Be A Jew: A Guide to Jewish    Contemporary Life (Jerusalem: Basic Book, 1996).
Fisch, Harold (ed.), Torah Nevi’m Ketuv’im – The Jerusalem    Bible (Jerusalem: Koren Publishers Jerusalem Ltd.,   1992).
Gaudeul, Jean-Marie. Encounter and Clashes: Islam and Christianity in History. Vol. 2, Texts. Rome: Pontificio Institutio di Arabi et Islamici/PISAI, 1984).
Ibrâhîm, Gregorius Yuhanna (ed), Shalûli-Ajlinâ: Khidmat al-Quddas wa Shalawat Syatta (Halab/Allepo: Dâr al- Raha lil Nasyir, 1993).
Jansen, J.J.G. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern. Alih Bahasa: Hairussalaim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997).
Jibrân, Jibrân Khalîl.  An-Nabî  (Cairo:  Dâr asy Syarûq, 2004).
Lighfoot , J.B. – J.R. Hermer, J.R. (ed.), The Apostolic Fathers. Greek texts with Introduction and English Translations (Michigan: Baker Book House, 1984).
Malathî, Tadrus Ya’qub. Al-Qidîs Ignâthius al-Anthâkî  (Cairo: Markaz al-Delta li al-Nasyr, 2003).
Mingana, A. The Apology of Timothy The Patriarch before       The Caliph Mahdi. With Introduction by Rendel Harris, Woodbrooke Studies 2, Cambrige, 1923.
Muhammad, Hasyim. Kristologi Qur’ani: Telaah Kontekstual  Doktrin Kekristenan dalam al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
Nasr, Seyyed Husein. Ideals and Realities of Islam (Cairo: American University of Cairo, 1989).
Noorsena, Bambang. Telaah Kritis Injil Barnabas (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1990).
Parrinder, Geoffray. Jesus in The Qur’an (New York: Oxford University Press, 1977).
O’disho, Mar. The Book of Marganitha: The Pearl on the Truth of Christianity. Translated from the Aramaic Original by Mar Eshai Shimun XXVI (Chicago: Committee of the Assyrian Chuch of the East, 1988).
Old Syriac Gospels
, dalam www.suduva.com
Qyama hadatsa – Ha Brit ha Hadasyah: The New Covenant Aramaic Peshitta Text with Hebrew Translation   
(Jerusalem: The Bible Society in Israel and the Aramaic Scriptures Research Society in Israel, 1986).
Robert, Alexander – Donaldson, James (ed.), The Writings of   the Father Down to AD. 325: Ante-Nicene Fathers. Vol. I (Peabody, Massachusetts: Hedrickson Publishers, 1995).
Santala, Risto. Al-Masîh fî al-‘Ahd al-Qadîm (Cairo: Key Media, 2003).
Schumann, Olaf. Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 1992).
Shah, Idries.  Meraba  Gajah dalam Gelap: Sebuah Upaya Dialog Kristen   Islam.  Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1986).
Shenuda III, Anba. Lâhût al-Masîh (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2004).
___________ , Qânûn al-Imân (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003.
______________, Al-Agabiya: Al-Sab’u ash-Shalawât al-Nahâri-      yyah wa al-Lailiyyah (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 78-80.
Swanson, Mark N. Folly to the Hunafa’: The Cross of Christ in Arabic Christian-Muslim Controversy in Eighth and Ninth Centuries AD. Rome: PISAI, 1995).
Timotius I, Mar. Dafâ’iyyâtu Masîhiyyati fî al-‘Ashar al- ‘Abâsî al-Awwal (Villach, Austria: Light of Life, tanpa tahun).
Yuqarin, Maurice. Târîkh al-Kanîsah: Juz I – Al-Majâmi’ al-Maskûniyyat al-Awwal wa al-Ghazawat al-Kubra (Ma’adi, Cairo: Mansyûrat al-Ma’had, 1966). ¶
 Lampiran 1:

قنون الامان المقدس

Qânûn al-Îmân Konsili Nikea (325)[34]

    “نؤمن بإله واحد, آب ضابط الكل, خالق جميع الأثياء المنظورة وغير المنظورة, وبرب واحد يسوع المسيح ابن الله الواحد المولود من الآب, أى من جوهر الآب, إله من إله, نورمن نور, إله حق من إله حق, مولود, غير مخلوق,  مساو للآب فى الجوهر, به كان كل شىء, ما فى السماء وما على الأرض, الذى من أجانا, نحن البشر ومن أجل خلاصنا نزل, وتجسد, وصار إنسانا, وتألم, وقام فى اليوم الثالث , وصعد إلى السماوات وسوف يأتى ليدين الأحياء والأموات وبالروح القدسز”

 « إن الذين يقولون: “كان وقت لم يكون فيه”, و ” قبل أن يولد لم يكن”, و “قد خلق من العدم” أو يجاهرون بأن ابن الله هو من ذات أخرى, أو من جوهر آخر, أو أنه مخلوق أو قابل للتغير والفساد , فإن الكنيسة الكاثوليكية الرسولية تحرمهم ».

Artinya:  “Kami percaya kepada satu-satunya Ilah (Allah), Sang Bapa, Pencipta segala sesuatu, segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Dan kepada satu-satunya Tuhan (Rabb), Yesus Kristus, Putra Allah yang Tunggal,  yang dilahirkan dari Bapa, yaitu dari Dzat Sang Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah sejati dari Allah sejati, dilahirkan dan bukan diciptakan, yang sehakikat dengan Sang Bapa dalam Dzat-Nya, yang oleh-Nya segala sesuatu diciptakan, segala yang ada di langit dan yang di atas bumi,  yang demi kita Manusia, dan demi keselamatan kita, telah nuzul  (turun) dan menjelma, dan menjadi manusia, yang menderita, dan bangkit pada hari ketiga, dan naik ke surga, dan akan datang kembali untuk menghakimi orang hidup dan orang mati, dan kami percaya kepada Roh Kudus.
Sedangkan tentang mereka yang berkata: “Pernah ada waktu dimana Firman belum ada”, atau “Sebelum Dia dilahirkan, Ia tidak ada”, atau “Firman Allah itu berasal dari tidak ada kemudiaan menjadi ada” (creatio ex nihilo), dan juga mereka yang menyangkal bahwa Putra Allah mempunyai zat lain, atau dzat lain selain dari Allah”, atau “diciptakan”, atau “dapat berubah”, maka Gereja yang kudus, universal dan rasuli, mengharamkan (tahrim) ajaran mereka”. ¶

Lampiran 2:
قنون الامان المقدس
 Qânûn al-Îmân
Konsili Konstantinopel (381)[35]


نؤمن    بإله    واحد   الله   الآب   ضابط    الكل,    خالق    السماء

و الأرض,  كل ما يرى و ما  لا يرى.

 و برب واحد  يسوع المسيح ابن الله  الوحيد, المولود من  الآب  قبل كل الدهور,    نور من نور, اله حق من اله حق,  مولود غير مخلوق,   مساو للآب   فى الجوهر, الذي به كان كل شيء.  هدا الذي من  أجلنا  نحن  البشر,  و من أجل خلاصنا,  نزل من السماء. و تجسد بقوة  الروح القدس,  من مريم  العذراء  وتأنس,   وصلب  عنا على عهد  بيلاطس  البنطي,  تألم  ومات  وقبر, وقام من الأموات في اليوم الثالث كما في  الكتب,   وصعد  إلى  السموات, وجلس عن  يمن الآب,  وأيضا سيأتي  في مجده ليدين الأحياء والأموات,  الذي لا فناء  لملكه  انقضاء.

 بالروح القدس,  الرب المحيي,  المنبثق من الآب, تسجد لهو نمجده مع الآب والابن, الناطق بالأنبياء. وبكنيسة واحدة مقدسة جامعة رسلية. ونعترف بمعمودية واحدة لمغفزة الخطايا, و ننتظر قيامة الأموات,  وحياة الدهر الآتي. آمين.

Artinya: “Kami percaya kepada satu-satunya Allah, Allah Sang Bapa Yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi, segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.
Dan kepada satu-satu Tuhan (Rabb), Yesus Kristus Putra Allah yang Tunggal, yang dilahirkan dari Sang Bapa sebelum segala abad, Terang dari Terang, Allah sejati dari Allah Sejati, dilahirkan dan bukan diciptakan, yang sehakikat dengan Allah dalam Dzat-Nya yang Esa, yang oleh-Nya segala sesuatu diciptakan. Untuk kita manusia dan demi keselamatan kita, telah nuzul dari surga, dan menjelma dengan kuasa Sang Roh Kudus dan dari Perawan Maryam, dan telah menjadi manusia. Yang disalibkan demi kita pada masa pemerintahan Pontius Pilatus, menderita, wafat dan dikuburkan. Dan yang telah bangkit kembali pada hari ketiga, sesuai dengan kesaksian Kitab-kitab Allah, naik ke surga, dan duduk di sebelah kanan Sang Bapa, dan yang akan datang kembali dari sana dalam kemuliaan untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati, yang kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.
Kami percaya kepada Sang Roh Kudus, yang menjadi Tuhan Pemberi Hidup, yang keluar dari Sang Bapa, dan yang bersama dengan Sang Bapa dan Sang Putra disembah dan dimuliakan, dan yang memberi wahyu kepada nabi-nabi. Kami percaya kepada gereja yang satu, universal, dan Rasuli. Kami mengakui satu baptisan untuk pengampunan segala dosa, dan juga menantikan kebangkitan orang-orang mati, dan kehidupan baru di alam yang akan datang,  Amin.  ¶

[1]S. ‘Akâsyah, “Muqadimah” pada buku Jibrân Khalîl Jibrân, An-Nabî  (Cairo: Dâr asy Syarûq, 2004), hlm. 65.
[2]Cf. Risâlatu al-Qidîs Bûlus al-Awwal ila Ahli Kûrinthus 8:4-6/1 Kor. 8:4-6 dalam bahasa Arab berbunyi:
و أنْ لا إلهَ إلاَّ اللهُ الأحدُ . و إذا كان في السَّماءِ أو في الأرضِ ما يَزعمُ النَّاس أنّهم آلهةٌ, بل هناك كثير منْ هذِهِ الآلهةِ  و الأربابِ, فلنا نحنُ إلهٌ واحدٌ و هو الآبُ الذي منه كلُّ شيءٍ  و إليهِ نَرْجِعُ, و ربٌّ واحدٌ  وَهُوَ يَسُوعُ المسيحُ الذي بِهِ كلُّ شيءٍ وبه نح                                                   
Wa ‘an lâ ilaha illa al-Lâh al-ahad. Wa idza kâna fî as-samâ’i au fî al-ardhi mâ yaz’amu al-nnâsi annahum alihatun, bal hunâka katsirun min hadzihi al-alihati wa al-arbâbi. Falanâ nahnu ilahun wâhidun wa huwa al-Abu alladzi minhu kullu syai’in wa ilaihi narji’u, wa rabbun wâhidun wahuwa Yasu’ al-Masîh alladzi bihi kullu syai’in wa bihi nahyâ.
Artinya: “Dan tidak ada ilah selain Allah yang esa. Dan sungguhpun ada yang disebut oleh manusia ilah-ilah di langit dan di bumi, dan memang disana ada banyak ilah-ilah dan tuhan-tuhan, namun bagi kita hanya ada satu Ilah (sembahan) yaitu Sang Bapa, yang daripada-Nya berasal segala sesuatu dan kepada-Nya pula kita kembali, dan hanya ada satu Rabb (Tuhan, Penguasa) yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya telah diciptakan segala sesuatu, dan yang karena Dia kita hidup”. Al-Kitâb al-Muqaddas. Ay Kutub al-‘Ahd al-Qadîm wa al-‘Ahd al-Jadîd (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Muqa-ddas fî asy Syarq al-Ausath, 1993).
[3]Lihat juga: J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern. Alih Bahasa: Hairussalaim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997), hlm. 2-3.
[4]Hasyim Muhammad, M.Ag.  Kristologi Qur’ani: Telaah Kontekstual  Doktrin Kekristenan dalam al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 179-181. Mengenai perbandingan ‘Isa dengan Al-Qur’an sebagai Fir-man Allah, Seyyed H. Nasr, seorang pemikir Muslim yang terkenal dari Iran menulis:
“The Word of God in Islam is the Qur’an, in Christianity it is Christ. The vehicle of the divine message in Christianity is the Virgin Mary, in Islam is the soul of the Prophet. The Prophet must be unlettered for the same reason that the Virgin Mary must be virgin. The human vehicle of the divine message must be pure and untained. The Divine Word can only be written on the pure and “untouched” tablet of human receptivity. If this Word is the form of flesh the purity is symblolized by the virginity of the mother who gives birth to the word, and if it is in the form of a book this purity is symbolized by  the unlettered nature of the person who is chosen to announce this word among men”. Seyyed Husein Nasr, Ideals and Realities of Islam (Cairo: American University of Cairo, 1989), hlm. 43-44.
[5]Lih. Qyama hadatsa – Ha Brit ha Hadasyah: The New Covenant Aramaic Peshitta Text with Hebrew Translation (Jerusalem: The Bible Society in Israel and the Aramaic Scriptures Research Society in Israel, 1986).
[6]Sejak Perjanjian Lama diterjemahkan dalam bahasa Aram, tetagramaton YHWH sudah diterjemahkan Marya. Begitu juga, teks-teks Syriac/Suryani Perjanjian Baru yang lebih tua dari Peshitta (Old Syriac Gospels), menerjemahkan Mark. 12:29 tidak berbeda: ܥܢܐ ܝܫܘܥ ܘܐܡܪ ܩܕܡܝ ܡܢ ܟܘܠܗܘܢ ܫܡܥ ܐܝܣܪܝܠ ܡܪܝܐ ܐܠܗܢ ܚܕ ܗܘ cf. “Old Syriac Bible”, dalam www.suduva.com  Perjanjian Baru dalam teks asli bahasa Yunani juga menerjemahkan “nama yang pantang terucapkan” itu menjadi Kurios (Tuhan). Jadi, seluruh tradisi gereja awal tidak pernah mempertahankan nama ilahi itu secara harfiah dalam bahasa Ibrani. Kutipan Ul. 6:4 dalam teks asli Mrk. 12:29 berbunyi: Akoue Israel Kurios ho Theos hemon, Kurios eis estin. Lih. Nestle-Aland (ed.), Novum Testamentum Graece (Stuttgart: Deutsche Bibelstiftung, 1981), hlm. 131.
[7]Yes. 64:8. Liturgi Yahudi juga mengenal doa yang menyeru Allah sebagai: Avinu Syeba syemayim (Bapa Kami yang di surga).  Rabbi Hayim Halevy Donin, To Be A Jew: A Guide to Jewish Contemporary Life (Jerusalem: Basic Book, 1996).
[8]Risto Santala, Al-Masîh fî al-‘Ahd al-Qadîm (Cairo: Key Media, 2003), hlm. 59.
[9]“Epistle of St. Policarp”, dalam J.B. Lighfoot – J.R. Hermer (ed.), The Apostolic Fathers. Greek texts with Introduction and English Translations (Michigan: Baker Book House, 1984), hlm. 195.
[10]“The Epistle of St. Ignatius to Magnesians (VIII)”, dalam  J.B. Lighfoot – J.R. Harmer (ed.), Op. Cit., hlm. 114.
[11]“The Epistle of St. Ignatius to Ephesians (VII)”, dalam Ibid, p. 107. cf. Tadros Ya’qub Malathî, Al-Qidîs Ignâthius al-Anthâkî  (Cairo: Markaz al-Delta li al-Nasyr, 2003), hlm. 13.
[12]Dokumen yang disebut Risâlah Barnâbâ ini sangat dihormati di gereja-gereja kuno, bersama dengan dokumen-dokumen post-rasuli yang lain, seperti misalnya: Gembala Hermas, Didache, surat-surat Ignatius, Ke-syahidan Polikarpus, dan sebagainya. Risâlah Barnâbâ/Epistle of Barnabas  (ditulis 90-120) dan Qishah Barnâbâ/Acts of Barnabas (dari abad ke-5 M) harus dibedakan dengan dokumen palsu berbahasa Itali dan Spanyol dari abad ke-16 M yang berjudul Injîl Barnâbâ/The Gospel of Barnabas. Lihat pembahasan dokumen ini dalam buku saya: Bambang Noorsena, Telaah Kritis Injil Barnabas (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1990).
[13]Alexander Robert – James Donaldson (ed.), The Writings of the Father Down to AD. 325: Ante-Nicene Fathers. Vol.  I (Peabody, Massachu-setts: Hedrickson Publishers, 1995). hlm. 193-194.
[14]Mâhir Yûnân ‘Abd al-Lâh, Al-Thawâ’if al-Masîhiyyat fî Mishra wa al-‘âlam (Al-Qâhirah: al-Nâsyir Mâhir Yûnân ‘Abdu llâh, 2001), hlm. 35-36.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Anba Shenuda III, Lâhût al-Masîh (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2004), hlm. 8-9.
[18]Ungkapan jauhar sebagai terjemahan kata Yunani ousia disebut dalam karya apologet Kristen Theodore Abû Qurrah (awal abad ke-8 M), penerus Yuhanna Mansyur al-Dimasyqî, yang hidup pada permulaan dinasti ‘Ummayyah, antara lain berbunyi: Wa nahnu naqûlu inna l-ibna al-azalî al-maulûdu min al-Lâhi qabla kulli al-duhûr alladzî huwa min jauhari l-Lâh. “Dan kami berkata bahwa sesungguhnya Sang Putra yang kekal dilahirkan dari Allah sebelum segala abad, yaitu Ia yang dilahirkan dari jauhar Allah” (Mark N. Swanson, Folly to the Hunafa’: The Cross of Christ in Arabic Christian-Muslim Controversy in Eighth and Ninth Centuries AD. Rome: PISAI, 1995), hlm. 77. Selanjutnya, dzat dan shifât sebagai terjemahan dari ousia dan hypostasis dapat dibaca dalam karya apologet Kristen yang hidup zaman ‘Abbasiyyah, ‘Abd al-Masîh al-Kindi (wafat 830) sebagai berikut: Fa amma shifâtu dzâtihi tabâraka wa ta’alâ dzu kalimatu wa rûh azalî. “Sedangkan sifat Dzat-Nya, Maha Terpuji dan Mahatinggi Allah, adalah mempunyai Firman dan Roh yang kekal”. Sedangkan hypostasis ju-ga diterjemahkan uqnum (jamak: aqânim, dari bahasa Aram/Suryani: qno-ma), misalnya, dijumpai dalam karya Elias dari Nasibin: Inna llâha jauhar wâhid tsalâtsatu aqânim. “Sesungguhnya Allah itu jauhar esa dan tiga uqnum” (Jean-Marie Gaudeul, Encounter and Clashes: Islam and Christi-anity in History. Vol. 2, Texts. Rome: Pontificio Institutio di Arabi et Islamici/PISAI, 1984), hlm. 55-57, 77.
[19]Kiranya ayat ini lebih cocok diarahkan kepada sebuah bentuk “mujjasimah (anthropomorfisme) bid’ah Kristen” yang menganggap Yesus dan Maryam adalah dua ilah disamping Allah, padahal kedua-duanya mela-kukan aktivitas manusiawi, seperti “keduanya memakan makanan” (Q.s. al-Maidah/ 5:75, “…kâna ya’-kulani th-tha’âm). Padahal dalam Iman Kris-ten, fakta bahwa Yesus melakukan aktivitas-aktivitas manusiawi sangat ditekankan, bersamaan dengan penekankan ke-“bukan makhluq”-an Fir-man Allah, yang secara khusus ber-“shekinah” (berdiam) dalam diri Yesus (Yoh. 1:14).
[20]Ibid,  hlm. 9.
[21]Ibid,  hlm. 9.
[22]Ibid.
[23]Anba Shenûda III, Qânûn al-Imân (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003, hlm. 46-47.
[24]Mar O’disho, The Book of Marganitha: The Pearl on the Truth of Christianity. Translated from the Aramaic original by Mar Eshai Shimun XXVI (Chicago: Committee of the Assyrian Chuch of the East, 1988), hlm.  106.
[25]Risto Santala, Op. Cit.,  hlm. 125.
[26]Idries Shah,  Meraba  Gajah dalam Gelap: Sebuah Upaya Dialog Kristen   Islam.  Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1986), hlm. 42.
[27]Geoffrey  Parrinder,  Jesus in The Qur’an (New York: Oxford University Press, 1977), hlm. 33-34.
[28]Pembahasan mengenai buku ini, lihat: Olaf Schumann, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 1992), hlm. 165-190.
[29]Apabila nama YHWH muncul berdiri sendiri (dibaca: Adonay, LAI: TUHAN) dalam bahasa Arab diterjemahkan ar-Rabb (dengan kata san-dang Al), tetapi apabila kedua kata muncul bersamaan: YHWH Adonay diterjemahkan: Ar-Rabb as-Sayid (Hab. 4:19, LAI: “ALLAH Tuhanku”). Se-dangkan YHWH Elohim dalam bahasa Arab diterjemahkan: Ar-Rabb al-Ilah (Kej. 2:4, LAI: “TUHAN Allah”).
[30]Teks asli Ibrani bisa dibaca dari terbitan Yahudi sendiri: Harold Fisch (ed.), Torah Nevi’m Ketuv’im – The Jerusalem Bible (Jerusalem: Koren Publishers Jerusalem Ltd., 1992).
[31]Risto Santala, Loc. Cit.
[32]Perumpamaan yang indah ini dipakai oleh Mar Timotius I, Pemimpin tertinggi Gereja Assyria Timur yang waktu itu berpusat di Bagdad, dalam dialognya dengan Kalifah al-Mahdi tahun 781, seperti dicatat dalam bukunya Dafâ’iyyâtu Masîhiyyati fî al-‘Ashar al-‘Abâsî al-Awwal (Villach, Austria: Light of Life, tanpa tahun). Sedangkan terjemahan bahasa Inggris, bisa dibaca: A. Mingana, The Apology of Timothy The Patriarch before The Caliph Mahdi. With Introduction by Rendel Harris, Woodbrooke Studies 2, Cambrige, 1923.
[33]Gregorius Yuhanna Ibrâhîm (ed), Shalû   li-Ajlinâ: Khidmat al-Quddas wa Shalawat Syatta (Halab/Allepo: Dâr al-Raha lil Nasyir, 1993), hlm. 42.
[34]Dikutip dari Maurice Yuqarin, Târîkh al-Kanîsah: Juz I – Al-Majâmi’ al-Maskûniyyat al-Awwal wa al-Ghazawat al-Kubra (Ma’adi, Cairo: Mansyûrat al-Ma’had, 1966), hlm. 15.
[35]Dikutip dari Baba Shenuda III (ed.), Al-Agabiya: Al-Sab’u ash-Shalawât al-Nahâriyyah wa al-Lailiyyah (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 78-80.
Qânûn al-Îmân
Konsili Nikea (325)[1]

                [1]Dikutip dari Maurice Yuqarin, Târîkh al-Kanîsah: Juz I – Al-Majâmi’ al-Maskûniyyat al-Awwal wa al-Ghazawat al-Kubra (Ma’adi, Cairo: Mansyûrat al-Ma’had, 1966), hlm. 15.