1. Catatan Pengantar
Artikel-artikel
saya di blog ini yang penuh catatan kaki sebagai pertanggungjawaban
sumber yang saya kutip, sering dianggap “sulit dipahami” oleh beberapa
pembaca. Karena itu, mungkin tulisan sederhana ini dapat membantu.
Dalam artikel ini saya akan menulis dalam bentuk tanya jawab mengenai
seputar kesalahfahaman Islam mengenai pokok-pokok Iman Kristiani, bukan
hanya soal Trinitas dalam hubungannya dengan Keesaan Allah, Ketuhanan
dan keilahian Yesus (the Lordship and Divine of Jesus), tetapi juga membahas bagaimana menjawab salah pengertian sekitar makna dosa asal dan penebusan dalam Kristus.
Sebenarnya
masih ada kesalahfahaman lain yang sering muncul, yaitu mengenai
historisitas peristiwa salib dan keaslian Alkitab. Tetapi saya akan
membatasi pada tema pokok yang akan saya uraikan dalam bentuk tanya
jawab, mengingat tema dialog teologis Kristen-Islam selama ini kurnag
banyak disinggung dalam wacana berteologi kita. Mungkin ada baiknya kita
membahas mengenai “Otentisitas Alkitab dalam Dialog Teologis
Kristen-Islam” dalam artikel tersendiri, mengingat bahwa tema yang saya
sebut terakhir ini memang cukup kompleks.
Untuk
tidak membebani peserta seminar dengan banyaknya catatan kaki, seperti
tulisan-tulisan saya pada umumnya, maka bagi pembaca yang tertarik untuk
melacak sumber-sumber kutipan saya, diersilakan untuk membaca buku-buku
saya, khususnya Jangan Sebut Saudaramu Kafir! dan Togog Madeg Pandhita: Tauhid vs. Unitarianisme (“Rasan-rasan” Soal Tuhan di Jagad Punakawan), dan buku terbaru saya: The Dead Sea Scrolls: Mengguncang atau Mendukung Kekristenan? (Semua buku di atas bisa dipesan langsung, karena belum beredar di toko-toko buku). Catatan
terakhir ini kiranya menjadi pertanggungjawab ilmiah dari pokok-pokok
pikiran saya, sebagaimana yang akan saya uraikan di bawah ini:
2. Soal Keesaan Allah dan Keilahian Yesus Kristus
PERTANYAAN:
Saya
membaca Alkitab, dan menyimpulkan bahwa tidak ada kontradiksi antara
ajaran Yesus dan Muhammad, khususnya dalam ajaran mengenai keesaan
Allah. Dalam Yohanes 17:3 Yesus bersabda: “Inilah hidup yang kekal
itu, yaitu hendaknya mereka mengetahui bahwa Engkau adalah satu-satunya
Allah yang benar, dan Yesus Kristus yang telah Engkau utus”. Jadi bisa dirumuskankan: “Tidak ada ilah selain Allah dan Yesus adalah utusan Allah”, yang paralel dengan ajaran pokok Islam: Lâ Ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah. Artinya: “Tidak ada ilah selain Allah, Muhammad Utusan Allah”.
Lagi, dalam 1 Timotius 2:5 disebutkan: “Karena Allah itu Esa, dan esa
pula Pengantara antara Allah dan manusia, yaitu Manusia Kristus Yesus”.
Dalam Markus 12:29 Yesus mengutip Taurat: Dengarlah hai Israel, Allah Tuhan kita, Tuhan itu Esa”.
Tetapi antara Islam dan Kristen menjadi berbeda secara funda-mental
ketika Kristen mengajarkan Trinitas, termasuk pengakuan bahwa Yesus
adalah Anak Allah. Karena itu, Al-Qur’an menegaskan: “Kafirlah orang yang berkata bahwa Allah itu adalah ketiga dari Trinitas, padahal tidak ada ilah kecuali Ilah yang Esa” (Q.s. Al-Maidah/5:73).
JAWABAN:
Dalam bahasa asli, Q.s. Al-Maidah/5:73 berbunyi: Laqad kafar alladzina qaluu Innallaha tsalitsu tsalatsah. “Kafirlah
orang yang berkata bahwa Allah itu adalah ketiga dari tiga”. Terjemahan
“Allah is one of three in a Trinity” jelas-jelas salah. Tsalitsu tsalatsah, secara harfiah: “ketiga dari yang tiga”. Kata Trinitas berasal dari bahasa Latin: treis = “tiga”, dan unitas = “satu”, “ketiga dari yang satu”, bahasa Arabnya: tsalitsu wahidah, dan bukan tsalitsu tsalatsah. Selan-jutnya,
secara historis ayat tersebut sama sekali tidak cocok bila diterapkan
bagi Iman Kristen. Banyak ayat-ayat Qur’an yang mengkritisi Iman
Kristen, sebenarnya ditujukan kepada sekte-sekte heretik (sesat)
Kris-ten yang berkembang di Mekkah dan sekitarnya pada zaman Muhammad,
misalnya: Collyridianisme (atau: Maryamin), Gnostik, Dokotisme,
dan sebagainya, dan bukan Iman Kristen resmi yang waktu itu berpusat di
Byzantium, Alexandria, Antiokia, Eddesa dan wilayah Turki sekarang.
Iman Kristen sejati tidak pernah mempercayai paham primitip Tsalitsu tsalatsah, sejenis
paham Tritheisme yang terdiri Allah, Isa dan Maryam (Q.s. Al-Maidah
116). Karena itu, dalam 1 Korintus 8:4 Rasul Paulus berkata: Oudeis theos utheros ei me heis. Artinya: “Tidak ada ilah lain kecuali Allah Yang Esa”. Dalam Alkitab bahasa Arab diterjemahkan: Lâ ilaha illa Allah al-Wahid. Jadi,
jauh sebelum Islam lahir ungkapan “Tidak ada ilah selain Allah” sudah
ada dalam Iman Kristen. Karena itu, kebanyakan umat Islam mengkritik
Iman Kristen tetapi sebenarnya mereka tidak memahami apa yang mereka
kritik. Salah satu sebabnya, karena menyamaratakan sekte-sekte Kriusten
primitip di Mekkah dan sekitarnya, yang pahamnya dikritik keras oleh
Al-Qur’an, paham primitip yang sebanrnya juga tidak diimani oleh umat
Kristen, baik Katolik, Protestan, apalagi gereja-gereja ortodoks yang
jelas-jelas mempunyai akar historis yang “sanad”-nya bisa dibuktikan
dari Yesus dan para murid-Nya.
3. Makna Ajaran Ketritunggalan Allah
PERTANYAAN;
Kalau
begitu, bagaimanakah ajaran Trinitas seperti yang diajarkan oleh
Alkiatb sendiri? Dan apakah perbedaannya dengan paham “triteisme” yang
dikritik oleh Al-Qur’an?
JAWABAN:
Trinitas
tidak mengajarkan adanya 3 Tuhan, apa-lagi terdiri Allah, Isa dan
Maryam (Q.s. Al Maidah 73, 116). Ajaran Tritunggal ini tidak lahir dari
alam politeisme seperti yang dihadapi Islam, sehingga al-Qur’an
menegaskan Lam Yalid wa lam yulad. Artinya: “Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan”. Kritik Lam yalid wa lam Yulad dalam
surah al-Ikhlas itu, konteks semula ditujukan kepada keyakinan Arab
pra-Islam yang menganggap al-Lata, al-Uzza dan Manat sebagai Banat Allah
(putri-putri Allah). Kristen muncul dari latarbelakang Yahudi yang
monoteis, sehingga yang mau dijawab dengan akidah Kristen bukan
“keberapaan Allah”, tetapi “kebagaimanaan Allah Yang Esa” (Ibrani: Elohim Ehad, Suryani: Had Alaha, Arab: Allahu Ahad).
Tetapi bagaimana dengan Bapa, Putra dan Roh Kudus? Bapa adalah kata
kiasan untuk Wujud Allah, Putra adalah Firman-Nya, dan Roh Kudus atau
Hayat/Hidup Allah.
Dalam keyakinan Kristen, Firman itu telah turun (nuzul)
menjadi manusia, sebanding dengan keyakinan Islam Firman menjadi
Alqur’an. Lalu apabila Al-Qur’an itu mempunyai wujud temporal berwujud
Kitab berbahasa Arab (kalam Lafdzi), sekaligus kekal yaitu Kalam Nafsi yang tersimpan di Lauh al-Mahfud.
Kalam yang Lauh al-Mahfud itu kekal, dan bukan makhluk. Begitu juga
keyakinan Kristen, Yesus yang kelihatan, lapar dan haus itu Nabi dan
rasul (Ibrani 3:1), bukan Allah dan bukan Tuhan. Karena itu ia berdoa
dalam kema-nusiaan-Nya, tetapi sebagai Firman Allah, Ia kekal dan satu
dengan Wujud Allah (Yohanes 1:1). Yohanes 17:3 dan 1 Timotius 2:5
jelas-jelas merujuk kepada kemanusiaan Yesus, dan tidak perlu
dipertentangkan dengan keilahian Firman Allah: Pada Mulanya adalah
Firman dan Firman itu bersama-sama Allah, dan Firman itu adalah Allah.
Segala sesuatu diciptakan oleh Dia, dan tanpa DFia tidak ada sesuatu pun
yang jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yohanes 1:1,3).
Dalam
makna Firman yang kekal itulah, Yesus disebut Putra Allah, bukan
menunjuk kemanusiaan-Nya. Allah itu kekal, dan Firman serta Roh-Nya juga
sama-sama kekal. Sebab kalau Firman tidak kekal, berarti ada waktu
tertentu dimana Allah tidak punya Firman. Itu mustahil bukan? Begitu
juga Roh Allah harus kekal bersama Wujud Dzat-Nya, sebab tidak mungkin
Allah pernah ada tanpa Roh-Nya (jadi bukan juga Malaikat Jibril seperti
disalahpahami beberapa tafsir Qur’an, seperti Jalalain, dan
sebagainya). Itulah yang disebut Ajaran Tritunggal, bukan triteisme
seperti tuduhan beberapa polemikus Muslim seperti Ahmad Deedat..
Belajarlah dari sumber Kristen langsung, sebelum menulis begitu “percaya
diri/PD”. Penguasaan sejarah juga sangat penting, dan harus mengacu
dari sumber-sumber primer, bukan dari sumber-sumber sekunder kaum
polemikus yang mengutip dari kutipan orang tanpa check and recheck dari sumber aslinya.
4. Menjelaskan Keilahian dan Kemanusiaan Yesus Kristus (The Godhead and The Manhoof of Jesus Christ)
PERTANYAAN:
Itulah
keyakinan Kristen tentang “dua tabiat Kristus”, sepenuhnya Ilahi dan
sepenuhnya insani. Keyakinan ini sulit dimengerti umat Islam, sebab di
satu pihak sebagai Allah Dia Maha Kuasa, tetapi pada saat yang sama Dia
menderita, bahkan bisa mati. Kalau lagi menangis dan dicobai, lalu mana
yang disebut Allah? Seandainya kita lagi berdoa, dan Dia menjawab
begini: “Aku ini lagi bersifat manusia, sama seperti kamu aku sendiri
juga berdoa?” Itulah sebabnya bagi umat Islam keyakinan tentang dua
tabiat Yesus itu tidak masuk akal.
JAWABAN:
Keyakinan
kami tentang kedua tabiat Al-Masih sebanding (tidak persis sama) kalau
umat Islam memahami Qur’an sebagai Kalam (Sabda) Allah. Al-Qur’an itu di
satu sisi ghayr al-makhluq (tak tercipta) sebagai Kalam Nafsi (Sabda yang kekal), tetapi juga sekaligus makhluq (tercipta) sebagai kalam lafdzi
(Sabda temporal dalam wujud nuzulnya sebagai “kitab berbahasa Arab”).
Kalau ada yang bertanya, Allah mana lagi yang menjawab doa Yesus, kalau
Yesus sendiri adalah Allah? Jawabnya: Yang berdoa adalah kemanusiaan
Yesus, dan yang menjawab doa adalah Allah yang selalu berdiam bersama
Firman-Nya yang kekal (Yoh. 1:1’ 8:42, 58) dan Roh-Nya yang kekal (Yoh.
15:26; 1 Kor. 2:10-11). Allah, Firman-Nya dan Roh-Nya adalah Allah yang
Mahaesa. Karena Firman dan Roh-Nya selalu menyatu dengan Wujud Dzat-Nya.
Yesus sebagai Manusia, sebanding dengan Qur’an dalam bentuk fisik
bahasa Arab. Nah, kalau Firman Allah yang ghayr al-Makhluq (bukan ciptaan) bisa nuzul astau turun menjadi kitab, sebuah benda mati, lalu apa mustahilnya menjadi Manusia (lihat. Yohanes 1:14)?
Selanjutnya,
kalau umat Islam berkata bahwa Al-Qur’an itu tak tercipta, bukankah
kertasnya itu tercipta, huruf Arabnya berkembang (zaman Nabi belum ada
harakat). padahal sesuatu yang berkembang itu ciptaan, kira-kira seperti
itu. Kalam Allah itu kekal, tetapi toh kertasnya Qur’an sebagai wujud
pengejawantahan wahyu juga bisa rusak. Seperti itulah pengibaratan
kematian Yesus. Ketika umat Kristiani menyebut Firman itu bersama Allah
dan Firman itu Allah (Yohanes 1:1,14), dan sama sekali bukan merujuk
kepada kemanusian Yesus (1 Petrus 3:18).
Mungkin
umat Islam mesti memahami sejarah ilmu Kalam mengenai makhluk/tidaknya
Qur’an, perdebatan kaum Ash’ariyyah dan kaum Mu’tazilah, yang ternyata
ditemukan banyak paralel dengan perkembangan teologi Kristiani.
Sifat-sifat Allah yang “La hiya wa laa ghayruha”
(tidak sama dengan Dzat-Nya tetapi juga tidak berbeda dengan-Nya).
Untuk memehami paralel keyakinan Islam dan Kristen tentang Firman yang
kekal sekaligus temporal, kita bisa membaca buku Seyyed Hussein Nassr,
ahli ilmu agama-agama dan seorang Muslim, dalam bukunya Ideals and Realities of Islam (Cairo: American University Press, 2002) sebagai berikut:
One
could of course make a comparison between Islam and Christianity by
comparing the Prophet to Christ, the Quran to The New Testament, Gabriel
to The Holy Ghost, the Arabic language to Aramaic, the language spoken
by Christ, etc. In this way the sacred book in one religion would
correspond to the religion to the central figure in the other religion
and so on. This type of comparison would be of course meaningful and
reveal useful knowledge of the structure of the two religions. But in
order to understand what the Quran means to Muslims and why the Prophet
is believed to be unlettered according to Islamic belief, it is more
significant to consider this comparison from another point of view.
The
Word of God in Islam is the Quran; in Christianity it is Christ. The
vehicle of the Divine Message in Christinaity is the Virgin Mary; in
Islam it is the soul of the Prophet. The Prophet must be unlettered for
the same reason that the Virgin Mary must be virgin. The human vehicle
of the Divine Message must be pure and untainted. The Divine Word can
only be written on the pure and “untouched” tablet of human receptivity.
If this Word is in the form of flesh the purity is symbolized by the
virginity of the mother who gives birth to the word, and if it is in the
form of a book this purity is symbolized by the unlettered nature of
the person who is chosen to announce this Word among men.
5. Allah itu Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan (Lam Yalid wa Lam Yulad)
PERTANYAAN:
Bagi umat Islam, Allah itu Maha Esa, tidak ada yang setara dengan-Nya, Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan (Lam yalid wa lam yulad).
Inilah salah satu yang mendasari mengapa umat Islam menolak keyakinan
bahwa Yesus adalah Putra Allah. Karena bagi Islam, Allah itu tidak
beristri bagaimana mungkin Dia mempunyai anak? Nabi Isa hanya seorang
utusan Allah, Ia adalah Nabi seperti nabi-nabi yang lain.
JAWABAN:
Seluruh
pendapat di atas di-“amin”-kan oleh Iman Kristen. Memang umat Kristen
juga percaya Allah itu Esa, Tidak beranak dan tidak diperanakkan,
apalagi kepercayaan primitip bahwa Ia beristri a la keyakinan Jahiliah pra-Islam, yang kemudian direaksi dalil Qur’an: Lam Yalid wa lam Yulad.
Tapi perlu anda tahu, setiap agama memiliki “bahasa teologis” yang tak
bisa ditafsirkan secara harfiah. Begitulah istilah Putra Allah, sama
sekali bukan Allah itu beranak. Coba bandingkan, dalam Qur’an ada
istilah “Ibnu Sabil”, maksudnya “musafir agama” (harfiah: “anak jalan”),
tentu tak perlu bertanya: Siapa istrinya jalan? Begitu juga sebutan
Allah sebagai Bapa, tidak menunjuk jenis kelamin. Islam juga
ber-keyakinan Allah “beyond the gender”, tetapi karena keterbatasan
bahasa, toch umat Islam berdoa: “Allahuma anta-ssalam……” Orang awam bisa saja bertanya: “Mengapa bukan “anti ssalamah”?. Jawabnya, karena masyarakat Timur Tengah itu patrilineal.
Dalam
Kristen tak ada keyakinan “injil yang turun dari langit”, sebab Firman
Allah itu turun sebagai Manusia utama (Isa al-Masih), bukan berupa Kitab
Injil. Jadi, tidak fair menilai Kristen dari “frame of
reference” Islam, dan sebaliknya. Lagi-lagi, seorang teman Muslim yang
tidak mengerti mengejek: Yesus kok sifatnya bisa mancolo Tuhan dan mancolo manusia, merasakan sakit dan menderita. Jawabnya, coba banding-kan dengan Ilmu Kalam mengenai Qur’an sebagai Kalam kekal, – yang kata Al-Ghazali: qa’imun fi Dzatihi (melekat pada Dzat-Nya), – dan “bentuk nuzul” temporalnya sebagai Kitab dalam dimensi ruang dan waktu yang terbatas! (baca: “Qawaidul ‘Aqaid”-nya Imam Al-Gazali). Puncak pergumulan kaum Ash’ariyyah itu sampai pada dalil yang lalu dinisbahkan dengan sabda Nabi Muhammad: Man Qala Innal Qur’an makhluqun fahuwa kafir Artinya: “Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an itu diciptakan maka ia adalah kafir”.
Umat
Islam percaya bahwa Firman Allah itu kekal, tidak bisa rusak, bukan?
Tetapi apa ya Allah perlu tegaskan dulu: “Tunggu, yang kekal itu bukan
kertasnya lho, bukan huruf dan harakat Arabnya yang berkembang
(yang menunjukkan keterciptaan)? Sebab itulah hakikat pewahyuan,
bagaimana “Yang Kekal” memasuki dimensi ruang dan waktu untuk menyapa
manusia, entah itu diyakini nuzul sebagai “Kitab yang Ilahi” dalam keyakinan Islam, atau “Manusia Sempurna” (Insan al-Kamil) yaitu Yesus Kristus atau Isa Al-Masih dalam Iman Kristen. Keduanya sama-sama diyakini “ghairul Makhluq” (bukan ciptaan, non factum).
6. Seputar Dosa dan Penebusan Melalui Pengurbanan Kristus
PERTANYAAN:
Apakah ide penebusan dosa sesuai dengan sifat keadilan Allah? Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Barangsiapa
yang berbuat sesuai dengan petunjuk Allah maka ia telah berbuat untuk
dirinya sendiiri, dan barangsiapa yang sesat, maka itu tanggungannya
sendiri pula. Seseorang tidak berwenang menanggung dosa orang lain, dan
Kami tidak akan menyiksa sebelum kami mengutus seorang rasul untuk
mengingatkannya” (Q.s. Al-Isra’/17:15).
Prinsip
bahwa seseorang akan bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, dan
tidak bisa menanggung dosa orang lain juga diakui dalam Alkitab sebagai
berikut: “Orang yang berbuat dosa itu, itu yang harus mati. Anak
tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya, dan ayah tidak akan turut
menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat
kebe-narannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya.
Tetapi jikalau orang fasik bertobat dari segala dosa yang dilakukannya
dan berpegang pada segala ketetapan-Ku serta melakukan keadilan dan
kebenaran ia pasti hidup, ia tidak akan mati. Segala durhaka yang
dibuatnya tidak akan diingat-ingat lagi terhadap dia, Ia akan hidup
karena kebenaran yang dilakukannya” (Yehezkiel 18:20-22).
JAWABAN:
Iman
Kristen tidak pernah mengajarkan bahwa anak menanggung dosa orang
tuanya. Yang disebut “dosa asal” bukan mewariskan dosa orang tua kepada
anak cicu atau keturunannya, melainkan “akibat dosa manusia pertama”.
Jadi, bukan dosanya yang diwariskan, tetapi akibat dosa itu yang memang
harus ditanggung keturunan Adam. Alkitab berkata: “Upah dosa adalah
maut” (Roma 3: ). Yang disebut “maut” merujuk baik kematian jasmani,
maupun kematian rohani yang terpisah dari Allah. Mengenai akibat dosa
Adam yang mewariskan kematian kepada semua keturunanya, jelas-jelas
diakui oleh Al-Qur’an: Kullu nafsin dzaiqatul maut. Artinya: “Tiap-tiap yang bernafas akan merasakan mati”.
Selain
itu, bersamaan dengan penegasan bahwa orang bertanggung jawab atas
dirinya sendiri-sendiri, tetapi dalam kitab yang sama juga disebutkan
tentang “korban penebus dosa” (Yeh. 45:17). Dalam bahasa Ibrani “korban
penghapus dosa” adalah HaChatah yang berkaitan dengan
dihapuskannya dosa dengan korban pengganti. Konsep “pengganti” ini
adalah bahasa Ibrani disebut kippur (Arab: kaffarat). Nah, Allah
menciptakan manusia untuk rencana keselamatan, manusia diciptakan
sebagai “makhluk yang hidup” (Kej. 2: ), tetapi gara-gara dosa Adam, like or dislike semua keturunannya toch
menanggung akibatnya. Marilah kita renungkan, apakah justru tidak
sesuai dengan prinsip keadilan, apabila kita tidak ikut berdosa ikut
terkena akibat dosa Adam dan Hawa, kemudian dengan satu orang pula kini
kita dibenarkan, yaitu melalui Isa al-Masih? Alkitab menyebutkan: “Sebab,
jika jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh kepada
kuasa maut, jauh lebih besar lagi karunia Allah dan karunia-Nya, yang
dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus”
(Roma 5:15). Jadi, yang diwariskan dari Adam bukan dosa-dosanya,
melainkan akibat dosa-dosa itu, yaitu maut. Melalui Kristus, Allah
memulihkan manusia yang jatuh dalam kuasa dosa yang tidak bisa
dilawannya, dengan kasih karunia dari Allah melalui Isa al-Masih (Yesus
Kristus).
7. Menjawab Tuduhan Paulus sebagai Pemalsu Ajaran Yesus Kristus
PERTANYAAN:
Ajaran
Paulus tentang keselamatan dalam Yesus bertentangan dengan ajaran Yesus
sendiri. Paulus berkata: “Sebab jika mengaku dengan mulutmu bahwa
Yesus adalah Tuhan dan percaya dalam hatimu bahwa Allah telah
membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan”
(Roma 10:9). Ini bertentangan dengan penegasan Yesus sendiri: “Bukan
setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan! Tuhan! Akan masuk ke dalam
Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di
surga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan,
Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir Setan demi
nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu
itulah AKu akan berterus terang kepada mereka, dan berkata: Aku tidak
pernah mengenal kamu! Enyalahlah dari pada-Ku, kami sekalian pembuat
kejahatan!” (Matius 7:21-23). Jadi, Yesus menolak orang-orang yang
menyeru Dia sebagai Tuhan, melainkan melakukan kehnedak Allah seperti
yang Dia lakukan (band. Efesus 5:2 bertentangan dengan Matius 25:31-45).
JAWABAN:
Matius
7:21-22 tidak bertentangan dengan Roma 10:9; Efesus 5:2, Ibrani 9:26.
Yesus juga tidak menolak orang yang menyeru-Nya dengan Tuhan, seperti
disebut dalam Yohanes 13:13. “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan
katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan”. Sementara yang
ditekankan Matius 7:21-22 adalah perilaku munafik, memangil-menggil
Yesus Tuhan tetapi tidak melakukan kehendak Allah. Jadi, beriman hanya
dengan mulut. Matius 7:21-22 tidak bisa disimpulkan bahwa Yesus akan
mengusir orang yang menuhankan diri-Nya. Dalam bahasa Aramaik, bahasa
asli yang digunakan Yesus, ayat di atas berbunyi: La hwa kol de amar li: Mari, Mari, ‘al le malkuta de syamayya ella man de ‘avad tsivyah de Avi de basymayya. Artinya:
“Not everyone who says to me: Lord, Lord, will enter the Kindom of
heaven, but he who does the will of my Father is in heaven”.
Pertama,
dalam bahasa-bahasa semitis yang dipakai di Timur Tengah (Ibrani, Aram
dan Arab), ayat ini memakai bentuk “negasi dan konfirmasi”. Patut
dicatat, bahwa dalam bahasa Aramaik “Lâ”
adalah negasi (artinya “Tidaklah”), yang menyatakan bahwa prinsip
beriman itu kepada Yesus itu tidak hanya sebatas ucapan lisan: Mari, Mari (My Lord, my Lord), tetapi disusul dengan sebuah konfirmasi: “ella”
(melainkan), yang selan-jutnya menekankan bahwa melaksanakan iman itu
dengan perbuatan, yaitu “melakukan Kehendak Bapa-Ku yang di surga”.
Jadi, jangan memotong ayat ini dari konteks keseluruhan, karena hanya
orang yang kurang cerdas yang memahami kandungan teks itu yang secara
serampangan dengan tafsiran seperti itu.
Dalam bahasa Arab kita bisa membandingkan dengan bentuk harfu an-nafi wa al-isbat, yang juga memakai kata “La” (Tidak) dan “illa” (kecuali). Misalnya, ungkapan Lâ ilaha illallah (Tidak ada Ilah kecuali Allah), yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun dalam Alkitab bahasa Arab (1 Korintus 8:4, “…wa ‘an Lâ ilaha illa llahu al-Ahad”). Kita tidak bisa memotong kalimat ini, “Tidak ada Ilah (Tuhan
yang disembah), dan menghilangkan perkecualiannya: “selain Allah”. Gaya
bahasa seperti ini juga banyak dijumpai juga dalam bahasa Arab
Al-Qur’an. “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali agar beribadah kepada-Ku”.
Apa lantas bisa kita simpulkan, bahwa Allah tidak menciptakan manusia
dan jin? Tentu saja tidak! Begitu juga, konteks keseluruhan dari ayat di
atas adalah agar supaya murid-murid Yesus tidak hanya beriman secara
lisan, tanpa melaksanakannya dalam perbuatan yang nyata (cf. Matius
25:31-46).
Dalam
kita beriman kepada Tuhan, tidak cukup hanya ortodoksi (keyakinan akan
kebenaran ajaran), tanpa ortopraksi (melaksanakan iman dengan perbuatan
yang benar). Dalam ayat-ayat selanjutnya, Yesus tidak me-nolak ketika
murid menyebut-Nya: “Mar”, “Marya” (Aram), “Adonay” (Ibrani) yang
maknanya “Lord” (Matius 8:21). Ungkapan Aramaik “Mar”, “Marya” (Lord)
ini ditemukan dalam lapisan Kekristenan yang tertua, terbukti dari
seruan dalam ibadah gereja kuno: Maranatha!. Artinya: “Datanglah
segera, Ya Tuhan!”. Sekali lagi, Yesus sendiri membenarkan sapaan Tuhan
yang diterapkan orang kepada-Nya: “Dan katamu itu tepat, sebab memang
Akulah Guru dan Tuhan” (Yohanes 13:13).
8. Apakah Ajaran Penebusan Doa berasal dari Konsep Kafir pra-Kristen?
PERTANYAAN:
Konsep
tentang penebusan dosa berasal dari agama-agama pagan, yaitu ritus
tumbal berdarah. Alkitab sendiri menekankan konsep “pertobatan” lalu
pemberian pengampunan langsung, tanpa melalui korban berdarah. Hal ini
tampak dari doa Raja Daud dalam Mazmur. “Bersihkanlah aku seluruhnya
dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku” (Mazmur 51:4).
“Bersihkanlah aku dari dosaku dengan hyssop, maka aku menjadi tahir.
Basuhlah aku, maka akan menjadi lebih putih daripada salju” (Mazmur
51:9). Karena itu, penegasan ini jelas berbeda dengan ajaran
Kristen/Katolik, bahwa kita diampuni dosa-dosa kita dengan ritual
“memakan daging Yesus dan meminum darah-Nya”. Karena itu, ajaran seperti
ini jelas-jelas asal-usulnya dari ritus pagan.
JAWABAN:
Permohonan
Daud agar dilepaskan dari dosa-dosa dan memohon pe-ngampunan, tidak
bisa dipertentangkan dengan penebusan melalui Kristus. Ada beberapa
bukti dalam teks ayat itu sendiri yang dengan jelas menolak ke-simpulan
dangkal seperti itu. Pertama, Daud sendiri mengakui: “Sesungguhnya dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku” (Mazmur 51:7). Kedua,
Raja Daud dalam bagian yang sama berdoa: “Lepaskanlah aku dari hutang
darah, Ya Allah, Allah keselamatanku” (Mazmur 51:16). Ungkapan “dalam
kesalahan aku dikandung” sekali lagi bukan berarti dosa-dosa nenek
moyang harus kita warisi, melainkan akibat dosa manusia pertama ini
telah membuat kita sejak lahir beada dalam kondisi yang merangsang orang
untuk berbuat dosa. Itulah “hutang darah” yang dimaksud dalam doa Daud.
Bahwa manusia dilahirkan sebagai makhluk yang lemah, diakui sendiri oleh Al-Qur’an: Wa khuliqa al-Insanu dhaifân.
Artinya : “Diciptakanlah Manusia sebagai makhluk yang lemah“ (Qs.
an-Nisa’/4:28). Dan seperti diakui oleh Rasul Paulus bahwa ada suatu
rangsangan dalam jiwa manusia yang cenderung berbuat kejahatan (Roma
7:21), Al-Qur’an sxendiri menyaksikan: Inna an-Nafsa la-ammâratu bissu’i.
Artinya: “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”(
Q.s. Yusuf/12:53). Karena itu, menurut Nurcholish Madjid, Islam juga
mengakui adanya kejatuhan (Arab: hubuth) Adam dari surga, namun
tidak menjadikan pangkal pokok dalam sistem teologinya. Jadi, ide
penebusan tidak berasal dari ritus pagan, melainkan berasal dari
ritus-ritus yang jelas-jelas tercantum dalam Taurat, Mazmur (Zabur) dan
Kitab Nabi-nabi sebelum zaman Yesus.
Dalam
Perjanjian Lama dikenal ritus Yom Kippur (Hari penebusan Dosa). Nah,
dari latar belakang yang sama, khususnya dari upacara Yom Kippur, kita dapat mengerti alam pikiran yang melatarbelakangi ide “penebusan dosa” (kaffarat) dalam Perjanjian Baru. Memang latar belakang lain, soal “denda tebusan” atau dalam bahasa Yunani: lutron,
juga berperan,tetapi sebatas pada formulasi, bukan pad aide dasarnya.
Ide dasarnya jelas-jelas berasal dari Kitab Taurat dan kitab nabi-nabi
dalam Perjanjian Lama. Misalnya, apabila seekor lembu menanduk orang
sampai mati, lembu itu harus dirajam sampai mati dan pemiliknya bebas.
Tetapi apabila pemiliknya sudah sering diperingatkan tentang bahayanya
lembu itu tetapi tidak menjaganya, apabila lembu itu menanduk orang
sampai mati lagi, maka bukan hanya lembunya, melainkan pemiliknya juga
harus dihukum mati. Ia bisa dibebaskan dengan cara membayar uang tebusan
(koper) sebagai ganti atau tebusan nyawanya (Keluaran 21:28-30).
Inti
dari ketentuan ini adalah “hukum balasan setimpal yang adil”, tapi
lebih dari itu adalah ditekankan pengampunan (Keluaran 21:23-27; Immamat
19:17-18). Asas pembalasan setimpal itu (Arab: Qishash) disebutkan Taurat, dalam teks bahasa aslinya: We natattah nefes tahat nefes, ‘ayin tahat’ ayin syen tahat shen.
Artinya: “Dan engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti
mata, gigi ganti gigi” (Keluaran 21:23-24). Tetapi pada saat yang sama
ditekankan supaya berdasarkan kasih, setiap orang tidak menuntut balas
(Imamat 19:17-18). Asas tersebut hampir secara harfiah diterima dalam
sistem hukum Islam, seperti disebut dalam Al-Qur’an: Wa katabnâ
‘alaihim fîha annan nafsa bi an-nafsi, wa al-‘aina bi al-‘aini, wa
al-anfa bi al-anfi, wa al-udzuna bi al-udzuni, wassina bi ssini, wa
al-jurûha qishâsh faman tashsddaqa bihi fahuwa kaffâratulahu. Artinya:
“Dan telah Kami tetapkan kepada mereka dalam Taurat bahwa nyawa dibalas
nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka pun dibalas dengan setimpal. Namun barang
siapa rela melepaskan hak balasnya, maka perbuatan itu menjadi kaffarat (penebus dosa) dosa baginya” (Qs. al-Maidah/5: 45).
Mengenai
perbuatan tidak sengaja yang menyebabkan kematian, seperti tampak pada
kasus lembu yang menanduk mati tersebut, pada pokoknya ada kewajiban
memberikan tebusan (Ibrani: kofer, Arab: kaffarat). Sistem kaffarat ini sangat lazim juga dikenal bahkan cukup berkembang dalam fiqh Islam. Misalnya, mengenai kaffarat membunuh
secara tidak sengaja orang Islam ialah memer-dekakan hamba mukmin, atau
berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tanda pertobatan kepada Allah
(Q.s. an-Nisa’ 4:92). Dalam bidang ibadah, orang yang melanggar
larangan ber-jima’ (bersetubuh) suami isteri di bulan suci Ramadhan, kaffarat-nya
ialah puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang
miskin. Dalam Yudaisme zaman Alkitab, selain dikenal ide penebusan dalam
sistem hukum mereka, secara khusus cukup berkembang pula dalam
pandangan teologisnya. Perkembangan Yudaisme belakangan, khususnya
setelah kehancuran Bait Allah tahun 70 Masehi mulai menghilangkan kurban
sembelihan, mengakibatkan teolog-teolog Yahudi kini mengecilkan arti
dosa. Memang benar manusia dilahirkan dalam “kondisi yang dirangsang
dosa” (yetser ha Ra’), tetapi hal itu diimbangi oleh “keinsafan batin yang baik” (yetser ha Tov)
sama bobotnya, yang apabila ditopang dengan pembacaan Taurat akan lebih
unggul. Tekanan pada Hukum Taurat makin berlebih-lebihan sebagai reaksi
dari semakin pesatnya perkembangan kekristenan waktu itu.
Karena itu dikenal perayaan khusus untuk penebusan, Yom Kippur
(hari penebusan dosa) yang terkait dengan adanya kurban darah.
Alasannya, karena nyawa makhluk ada dalam darahnya, karena itu darah
mengadakan penebusan dengan perantaraan makhluk hidup (Imamat 17:11).
Bahkan, Tuhan (YAHWEH) sendiri disebut “Sang Penebus” (Ibrani: go’el)
dalam Kitab Taurat, Mazmur (Zabur) dan Nabi-nabi (Ulangan 7:8; 24:18;
Mazmur 107: 2; Yesaya 48:20). Jadi, Islam juga mengenal sistem penebusan
dalam hukumnya, tetapi tidak mengembangkannya dalam teologinya. Jadi,
ide kaffarat dalam hukum Islam ini, mes-tinya dapat menjembatani
doktrin Kristen tentang penebusan. Dalam hukum Yahudi maupun Islam
tersebut, pembayaran suatu harga untuk pembebasan adalah hak asasi yang
didasarkan atas prinsip keadilan. Karena itu, berangkat dari segi
antropologis bahwa kealpaan, kelalaian dan kesalahan itu bukan sekedar
bersifat kasuistik melainkan berakar dari sifat kodrati manusia, maka
logis dan rasional apabila ide kaffarat bukan hanya diterapkan di dalam bidang hukum, tetapi juga menjadi tema sentral dalam teologi Kristen.
Berangkat dari kenyataan bahwa kelemahan itu inherent
selalu melekat pada kodrat manusia, konsep penebusan ini begitu
bermanfaat, bahkan menjadi satu-satunya jalan keluar yang paling logis.
Dalam gereja mula-mula, tentu saja perumusannya antara lain tidak lepas
dari metafor-metafor yuridis tersebut. Orang berdosa adalah budak dari
dosa (Yohanes 8:34), secara kodrati manusia “bersifat daging, terjual di
bawah kuasa dosa” (Roma 7:14). Dari
sudut pandang yuridis, Hukum Taurat menentukan bahwa orang-orang
berdosa harus mati. Untuk itu harus ada ”tebusan” (Ibrani : kopper, Arab : kaffarat) sebagai
harga yang harus dibayar untuk hak hidup yang sebenarnya sudah tidak
ada, yang bagi iman Kristen seluruhnya telah menjadi final sudah kurban
agung Kristus, sekali untuk selama-lamanya (Ibrani 10: 12). Jadi, Islam
mengenal konsep penebusan dalam sistem hukumnya, tetapi menolak ide
tersebut diterapkan dalam pandangan teologisnya. Semoga penjelasan ini
bisa membantu. ♦