loading...

Sunday, August 23, 2015

Sekte Unitarian Bukan Kristen Tauhid

Image
Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ilahi, dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia (Kolose 2:9-10)


Sekte Unitarian Bukan Kristen Tauhid

Bambang Noorsena, SH, MA



1. Prawacana

Dalam berbagai publikasi kaum Unitarian di Indonesia akhir ini mereka menyebut diri "Kristen Tauhid". Maksud mereka mndah ditebak, dengan menolak ajaran keilahian Yesus dan ketritunggalan Allah, mereka merasa diri "memurnikan keesaan Allah". Bagi orang Kristen awam, kampanye "anti-Trinitas" mereka, mnngkin saja bisa membingungkan. Malahan, ada pendeta yang merasa diri menjadi pembela ajaran Trinitas, meskipun sebenarnya mereka "tidak mengerti apa-apa", hanya meladeni mereka dengan "perang ayat-ayat Alkitab". Tidak ada pembahasan teologismetafisik disana, misainya apa makna yang dimaksud bapa-bapa konsili mengenai kata "persona" (Latin), "hypostasis" (yunani), "Qnoma" (Aramaik), dan bagaimana perubahan makna kata itu daJam era modern. Memahami term-term teologis ini mutlak penting, sebab dari tulisan-tulisan kaum Unitarian, sejak para pendirinya sendiri: Michael Servetus, Francis David, John Biddle, hingga para pengikutnya di Indonesia, memahami kata "persona" itu dalam makna oknum secara psikologis, padahal yang dimaksudnya bapa-bapa gereja adalah "persona secara metafisik (meta = "di sebalik", fisik = "yang kelihatan"). 
2. Sekilas Pandang Sejarah Kaum Unitarian


Unitarisnisme muncul di Eropa. Berbereng dengan munculnya gerakan Reformasi Protestan. Aliran ini tumbuh bersama fajar rasionalisme yang mulai menggoncang Eropa, tak terkecuali menggerogoti otoritas Gereja Katolik yang waktu itu memang cenderung otoriter. Rasionalisme mula-mula dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650), yang terkenal dengan dalilnya: Cogito erqo sum (Aku ragu-ragu, maka aku ada). Dalam perkembangan selanjutnya, Unitarianisme banyak dipengaruhi juga oleh paham Positivisme Auguste Comte (1798-1857)·

Pada masa sekarang, rasionalisme abad pertengahan ini sudah dipandang "ketinggalan kereta". Masa Positivisme a la August Cornte, yang banyak mengiJhami pemikir-pemikir rasionalis zaman itu, sudah berlalu. Dapat dieontohkan, menurut Comte, pemikiran manusia berkembang pada 3 tahap : tahap teologis, tahap ontologis atau metafisis, dan tahap positivistis, Pada tahap positivistis, segala sesuatu yang tidak bisa dibuktikan ada seeara fisik dapat dihiraukan saja [1]. Tidak ada kenyataan yang diakui kecuali kenyataan riil. Dalam konteks ini, maka bukan hanya Tritunggal yang ditolak, tetapi semua ide soal ketuhanan juga dianggap tidak masuk akal. Karena itu, dalam perkembangannya, selain kaum unitarian tradisional yang masih mengaitkan diri dengan kekristenan, ada juga unitarian universalis, bahkan ada yang sudah menjurus kepada Atheisme [2].

Francis David, salah seorang penggagas uniterianisme, misalnya,memahami kata "persona" yang dikaitkan dengan ajaran tritunggal sebagai "pribadi terpisah" dari pribadi Jainnya. Nah, kalau Bapa adalah pribadi, Putra adalah Pribadi, begitu juga Roh Kudus, maka memang dalam positivistis a la Comte memang mustahil satu adanya. Padahal ada kenyataan di balik kenyataan riil ini. Sedangkan Tritunggal berbicara "persona" sebagai kenyataan metafisik, sehingga satu substance (Yunani: ousia) sekaligus dapat memiliki persona-persona ilahi (Yunani: hypostasis) itu tanpa merusak kesatuan Dzat-Nya. Lebih jelasnya, di bawah ini diuraikan sekilas beberapa pemikir gerakan "anti-Trinitas" ini pada awal perkembangannya di Eropa:


2.1. Michael Servetus (1511-1553)

    Michael Servetus dilahirkan pada tahun 1511 di Villanueva, Spanyol. Jadi waktu Martin Luther melancarkan reformasinya terhadap gereja Katolik Roma tahun 1517, Servetus baru berusia 6 tahun. Selain peristiwa Reformasi Protestan, zaman ini ditandai dengan menegangnya hubungan Kristen-Islam karena gereja Katolik melakukan "kristenisasi" besar-besaran terhadap orang Muslim Spanyol melalui politik inkuisisi. Hal itu merupakan dampak buruk dari Perang Salib, karena orang-orang Kristen Eropa pada waktu itu melampiaskan kemarahan mereka kepada orang-orang Muslim Spanyol.

    Berdasarkan pengalaman traumatisnya atas akibat konflik fisik Islam-Kristen, Servetus mengaku terpanggil meneliti ajaran Alkitab langsung, dan hasil temuannya ia tidak menemukan ajaran Trinitas didalamnya. Servetus menuangkan pemikirannya dalam beberapa buku, antara lain: The Error of Trinity dan Two Dialogues on Trinity yang terbit tahun 1831. Reformator Calvin menilai pemikiran Servetus "kekanak-kanakan", dan Luther menolak ajaran-ajarannya tahun 1539. Dengan demikian, bukan hanya Gereja Katolik, tetapi para perintis gerakan reformasi juga menolak pemikiran-pemikiran servetus. [3]

    Akhirnya, gara-gara bukunya yang berjudul The Restoration of Christianity, pada tahun 1553, Servetus dieksekusi oleh Gereja Katolik yang waktu itu memang sangat kejam. Jadi, praktek-praktek kekerasan yang bisa terjadi pada agama apapun juga, tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak ajaran-ajaran pokok Kristiani, seperti yang sering dijadikan argumentasi sekte-sekte penolak Trinitas.

    Rupa-rupanya, Servetus memahami Trinitas sebagai "tiga wujud Allah", karena karena persona secara salah dipahaminya seeara psikologis sebagai wujud yang terpisah-pisah dan membentuk satu substansi. Tidak ada ajaran seperti yang dituduhkan Servetus - yang memang tidak pernah belajar teologi ini - yang ditetapkan . dalam konsili ekumenis manapun sejak gereja purba. "Berapa banyak tradisi dari Trinitas ini telah menjadi bahan tertawaan kaum Muslim", tulis Servetus pedas, "orang·orang Yahudi juga rnenolak doktrin lucu ini milik kita ini, dan rnenertawakan kebodohan kita tentang Trdnitas"[4]. Menghukum orang yang berpandangan berbeda adalah bagian dari lembaran hitam sejarah gereja yang tidak boleh terjadi lagi. Seandainya gerakan semacam ini dibiarkan saja, ajaran seperti ini pasti tidak akan laku. Sebaliknya, karena gereja menindasnya, kaum Unitarian justru mendapat simpati.



2.2. Francis David (1510-1879)

    Francis David dilahirkan tahun 1510 di Kolozsar, Transylvania. Mula-mula. David bergabung dengan gerakan Reformasi Luther. Meskipun tidak perJu disayangkan kalau ia akhirnya keluar dari gerakan Protestan, gara-gara titik tolak berpikirnya yang salah ia menyalahpahami ajaran Trinitas. David, seperti kaum rasionalis abad pertengahan yang hanya mengaku kenyataan riil sebagai satusatunya kenyataan, gagal mengerti ajaran Tritunggal yang mungkin baginya terlampau metafisik.

    Bayangkan saja, dalam pemikirannya yang serba wadag Davis menuduh bahwa orang Kristen telah menyembah kepada empat atau lima Allah. "Ajaran Trinitas yang dipegang teguh Paus di Roma", tulis Francis David ngawur, "adalah sungguhsungguh sebuah keyakinan kepada ernpat Allah atau lima Allah"[5]. Luar biasa! Siapa empat atau lima Allah yang dikritik David itu? "Satu substansi, tiga pribadi yang terpisah yang masih-masing disebut Allah, plus seorang manusia Yesus yang juga dipandang sebagai Allah". [6]

    Dari pemikirannya yang sangat sederhana ini, orang bisa menilai titik pijak mula-mula kaum yang mengaku diri memurnikan keesaan Allah ini. Semua orang yang belajar teologi, tahu persis yang yang dimaksud dengan Tritunggal adalah "una substansia, tres personae" (Satu Substansi dalam tiga persona) [7]. Persona dalam ajaran Trinitas bukan personalitas manusiawi yang terpisah-pisah, melainkan personalitas metafisik yang mengatasi jarak mang dan waktu. Bapa adalah Sumber keilahian yang dari wujud-Nya yang Esa itu mengeluarkan Firman-Nya (Yohanes 8:42), laksana "terang dari sumber terang" (rumusan konsili Nicea), dan Roh Kudus juga "keluar dari Bapa" (Yohanes 15:26).

    Sedangkan sebagai Firman yang abadi, keilahian Kristus dibedakan dengan wujud inkarnasi Yesus sebagai Manusia, Putra Maryam, yang secara manusiawi "dilahirkan dari seorang perempuan yang tunduk kepada hukum Taurat" (Galatia 4:4), sehingga dalam kemanusiaan Yesus disebut "buah rahim" Maryam (Lukas 1:43). Jadi, tidak ada konsili manapun yang mengajarkan bahwa tubuh kemanusiaan Yesus masuk dalam Tritunggal. Yang menjadi "persona kedua" adalah keilahian-Nya sebagai Firman Allah (Yohanes 1:1). Dan karena Allah itu hanya Satu, maka Firman itu bukan "suatu allah" selain Allah, melainkan satu dalam keesaan Dzat-Nya[8].



2.3. John Biddle (1615-1662)

    John Biddle dilahirkan tahun 1615, dikenal sebagai "bapa Unitarianisme" Inggris. Katanya, Biddle dikenal cerdas diantara para pengikutnya. Mungkin ia dikenal sebagai seorang cerdas dalam ilmu matematika, tetapi sudah barang tentu bukan dalam ilmu teologi. "Saya percaya kepada satu Allah sebagai esensi ilahi yang Mahakuasa, dan hanya ada satu persona dalam satu esensi Ilahi", tulisnya untuk mempertanggung jawabkan imannya di depan pengadilan pada tahun 1644·

    Selain ia menuliskan "Dua Belas Argumentasi" untuk menolak keilahian Roh Kudus, dan pada tahun 1648 Biddle menulis artikel berjudul "A Confenssion of Faith Touching the Holy Trinity According to the Scriptures". Pola pikir John Biddle tidak lebih cerdas dari para pendahulunya, misalnya ketika ia merumuskan dalil pertama mengenai Keilahian Roh Kudus diantara "Dua Belas Dalil Menolak Keilahian Roh Kudus", sebagai berikut:
      • Yang berbeda dengan Allah bukan Allah.
      • Roh Kudus berbeda dengan Allah.
      • Jadi Roh Kudus bukan Allah.

    "Premis major di atas sangat jelas", tulis Biddle menjelaskan penolakannya, "apabila kita mengatakan bahwa Roh Kudus adalah Allah, tetapi berbeda dengan Allah, maka premis tersebut mengandung pertentangan. Premis major bahwa Roh Kudus dibedakan dari Allah dibenarkan oleh semua ayat-ayat Alkitab. Argumentasi yang mengatakan bahwa Roh Kudus dibedakan dari Allah· tersebut, jika diarnbil dari seeara "person" dan bukan dalam arti "esensi Allah", maka hal itu bertentangan penalaran rasional [9].

    Dari penjelasannya ini, jelas bahwa Biddle memahami kata "persona" dalam Tritunggal dipahami secara personalitas manusiawi, dimana satu persona harus terpisah dengan persona Iainnya. Itulah letak kesalahan Biddle, bukan sillogisme untuk menarik kesimpulan yang salah, tetapi premis awalnya yang tidak tepat, karena anggapannya bahwa Tritunggal adalah tiga pribadi yang terpisah. Sebaliknya, kesimpulan akan jadi berbeda kalau kita berangkat dari titik tolak berpikir bahwa Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah satu. Satu dalam Substansi, dan persona yang berbeda-beda itu berada dalam kesatuan substansiaI Allah, karena memang sesuatu yang metafisik "tidak bisa dipisah-pisahkan". Jadi, benarlah sillogisme di bawah ini:
      • Yang berbeda dengan sinar matahari bukan sinar matahari.
      • Panas matahari berbeda dengan sinar matahari.
      • Jadi sinar matahari bukanlah matahari.

    Masalahnya, penalarannya tidak berhenti sampai disini. Sebab meskipun sinar matahari berbeda dengan panas matahari, tetapi sinar matahari maupun panas matahari adalah satu dengan wujud matahari itu sendiri. Begitu juga, penalaran ini akan benar apabila Biddle berangkat dari premis yang benar. Misalnya, Firman Allah berbeda dengan Roh Allah, tetapi baik Firman maupun Roh Kudus sama-sama keluar dari Allah (Yohanes 8:42; 15:26; 1 Korintus 2:10-11). Jadi, sekalipun Firman dan Roh Allah dibedakan dari Wujud Allah (Bapa), tetapi baik Firman dan Roh Kudus sama-sama berasal dan satu dengan Bapa, Sang Sumber (1 Korintus 8 :6) [10].

    Apalagi kalau berangkat dari wujud atau keberadaan Allah yang metafisik, sillogisme seperti di atas tidak semuanya bisa diterapkan. Misalnya, kalau kita berkata : Allah beserta orang sabar. Selanjutnya, ambillah suatu contoh, di Surabaya ada 1000 orang yang sabar yang tinggal terpisah di 1000 tempat yang berbeda-beda. Kalau Allah pada saat yang sama harus beserta dengan 1000 orang di 1000 tempat yang berbeda-beda, apakah Allah menjadi 1000? Tentu saja tidak! Dimanakah letak "kerancuan berpikirnya?" Karena berbeda dengan manusia, Allah bukan wujud fisik yang terikat oleh ruang dan waktu, sedangkan manusia karena wujud fisik terbatas yang terikat ruang dan waktu, pada pada saat yang sama tidak bisa berada di lebih dari satu tempat yang berbeda-beda.


------------------------
    [1]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Fllsafat Barat. Jilid II (Jakarta: BPK. Gunung Mulla, 1982), him. 111-112.

    [2] Herlianto, Op. cn., hlm.16-17.

    [3] "Kenylenehan" kaum Unitarian dari gereja pada umumnya ini, dimanfaatkan oleh kaum polemikus Muslim untuk menyerang Iman Kristiani, seolah-olah dikesankan bahwa Unitarinisme yang baru tumbuh abad XVI ini adalah ajaran asli Yesus dan Rasul-rasul-Nya. Biografi para tokoh Unitarian diabadikan dalam buku polemikus Muhammad Ataur Rahim, Misteri Yesus daJam Sejarah. Alih Bahasa: Masyhur Abadi (Jakarta: Pustaka Da'i, 1998), hlm. 179-196.

    [4] Ibid, hlm. 190.

    [5] Ibid, hlm. 200.

    [6] Ibid.

    [7] 'Abd al-Masih Basith Aba al-Khafr, Syuhud Yahuwa: Man Hum? Wa Ma Hiya 'Aqaiduhum? Dirasat Tahliliyyat Ii Fikr wa Tarikh wa 'Aqaid SyuhiJd Yahuwa (Cairo: Alqush 'Abd al-Mas1h Basith AbO al-Khair, 2000), hlm. 177.

    [8] Jadi, kalau Moffat menerjemahkan Yohanes 1:1c "...and the Word was divine", bisa blsa saja, teteapi artinya bukan "was a divine except the One God", tetapi "was divine in One God". Frans Donald, seperti: kaum Saksi-saksi Yehuwa pada umumnya, mengutip terjemahan Moffat dan memahami "divine" sebagai personalitas yang terpisah darl Allah. Lih Frans Donald, Menjawab Doktrin Tritunggal (Semarang: Bodobudur Indonesia Publishing, 2007), hlm. 7.

    [9] Muhammad Ataur Rahim, Misteri Yesus dalam Sejarah (Jakarta: Pustaka Da'i, 1998), him. 222-225.

    [10] Baba Shenouda III, Qanun al-Iman (Subhra, Cairo: Maktabah al-Mahhabah, 2001), him. 15-16.
     
3. Kristen Tauhid di Indonesia: Merasa Bisa, Tak Bisa Merasa


3.1. Miskin Literatur, Tak: Paham Sejarah

    Mengenai kaum Unitarian di Indonesia, yang mengaku diri "Kristen Tauhid" tadi, lebih mempribatinkan lagi. Penguasaan teologi, sejarah gereja dan bahasa-bahasa asli Kitab Suci sangat minim, tetapi mereka begitu "percaya diri" mengkampanyekan ajaran-ajaran mereka di forum-forum lintas agama. Tjahjadi Nugroho, sang pendiri Unitarian di Indonesia, mendemontrasikan keawamannya dalam bukunya Keluarga Besar Umat Allah[11], mengatakan bahwa sebelum tahun 313 gereja hanya mengakui Yesus adalah manusia biasa. Saya meneoba mengerti apa maksud pernyataan Nugroho, ternyata ia menyangka bahwa keilahian Yesus baru muncul setelah kaisar Konstantin menjadi Kristen tahun 313. Dan karena kekuasaan tangan besinya, Sang Kaisar memaksakan pendapat pada Konsili Nikea tahun 325.

    Pernyataan ini sungguh-sungguh ngawur, memang Konstantin berperan pada konsili ekumenis pertama itu, bukan untuk campur tangan dalam ajaran, tetapi lebih didorong oleh politik stabilitas di wilayah kekaisarannya ketika terjadi konflik teologis gereja dengan kaum Arian. Lebih ngaco lagi, Nugroho menyangka bahwa Arianisme kaJah karena ditindas Kaisar, padahal Arianisme justru pudar saat mereka didukung penuh oleb Kaisar. Harus dicatat pula, bahwa Kaisar Konstantin yang akhirnya mampu diyakinkan oleh Eusebius dari Nieomadea untuk mendukung ajaran Arius, waktu itu gagal menekan Patriark Alexandria untuk mengembalikan jabatan keimamatan bagi Arius, lalu mengirimkan Arius dan para pendukungnya ke Konstantinopel untuk memaksa agar Patriarkh Alaxander di Konstantinopel menerima Arius.

    Alkisah, Arius dan para pendukungnya, menggedor-gedor pintu gereja yang ditutup Patriarkh Alexander, sementara sang Patriarkh yang berdoa di ruang pribadinya berdoa memohon pertanda dari Tuhan, karena Sang Patriarkh tidak mau ber-ekaristi dengan orang yang menolak keilahian-Nya. Di tengah-tengah khotbahnya yang berapi-api menyangkal keilahian Yesus, saat itu tibatiba Arius sakit perut, lalu ia menghentikan khotbahnya sementara waktu untuk pergi ke kamar mandi. Para pendukungnya lama menanti, tetapi Arius tidak kunjung keluar. Dan setelah kamar mandi itu didobraknya, sang jawara pentangkal keilahian Firman Allah itu kedapatan mati secara mengenaskan dengan tubuh yang mengejang dan tertelungkup di karnar mandi[12]. Sejak saat itu, Arianisme surut, justru ketika Sang Kaisar mati-matian mendukungnya. Setelah peristiwa itu, paham Arius masih tersebar tetapi hanya secara sporadis saja.

    Selanjutnya, penyataan bahwa sebelum tahun 313 gereja hanya mengakui kemanusiaan Yesus, membuktikan bahwa ia tidak tahu sejarah gereja awal. Seperti salah satu kelemahan para penulis Protestan lain, mereka tidak pernah membaca langsung sumber-sumber seiarah gereja purba, kbususnya pada masa-masa pra-Nicea. Padahal masa-masa setelah rasul-rasul, yaitu murid-murid para rasul lalu murid dari murid-murid para rasul - yang biasanya lazim disebut sebagai zaman Aba' ar-Ra-suliyyun (The Patristic Fathers) - sampai dengan konsili Nikea [13], sama sekali tidak pernah dirujuknya. Kalaupun disinggung, pastilah mereka tidak pernah membacanya dari sumber primer. Misalnya, mereka tidak membaca langsung ketujuh surat kirim Ignatius, murid Rasul Petrus dan Rasul Yohanes di Antiokhia, atau membaca catatan sejarah awal mengenai "Kemartiran Policarpus" (Yun. Martyrion Polycarpoi), murid Rasul Yohanes.

    Policarpus menerima kematian syahidnya dengan ikhlas karena imannya kepada Kristus, dan di tengah-tengah api membara yang membakar tubuhnya, ia berdoa kepada Allah Bapa, Yesus Kristus Imam Surgawi yang kekal, dan memuliakan Roh KudusNya [14]. Bukan banya itu, dalam bentuk rumusan-rumusan teologis, Ignatius dari Antiokia (30-107) yang jelas-jelas berasal dari masa rasuli [15], dengan tegas menekanksn keilahian Yesus: "Sabda kekal yang keluar dari keheningan abadi", maksudnya ''yang keluar dari Allah"[16]. Selain itu, diakui pula dalam wujud nuzulnya ke dunia, Yesus secara manusia "keluar dari Maryam". Dengan rumusan itu, jelas-jelas Ignatius mengakui kedua kodrat Yesus, yang secara eksplisit disebutnya "Ilahi-insani" atau "Manuggalnya Allah dan Manusia" (en anthropotheo) [17].

    Selain itu, masih banyak tulisan murid-murid para rasul, seperti Klemens dari Roma, dan penulis-penulis dan dokumendokumen yang sezaman dengan itu, misalnya: Surat Barnabas[18], Yustinus Martyr[19], dan masih banyak lagi. Mereka tidak ada yang menyangkal keilahian Yesus, sampai muncuinya Arius pada abad keempat Masehi. Jadi, yang dilakukan gereja dengan menggelar konsili Niea hanyalah mempertanggung jawabkan ajaran rasuli yang diterus-sampaikan seeara tanpa putus sampai zaman itu: mulai dari Rasul-rasul, murid-murid para Rasul (Klemens dari Roma, Ignatius dari Antiokia, Papias dari Hieropolis, Polycarpus uskup Smyrna), murid-murid dari para murid Rasul-rasul (Irenaeus, Hagesipus, Klemens dari Alexandria, dan sebagainya), dan sama sekali tidak membawa ajaran yang baru. Konsili hanya merumuskan, tetapi iman mengenai Allah Bapa, yang berdiam kekal dalam Diri-Nya Firman dan Roh Allah itu, sudah ada sebelumnya. Iman mendahului perumusan, dan bukan menciptakan iman yang baru [20].

    Karena pendekatan saya yang tidak hanya teologis, tetapi sekaligus historis, karena itu saya tidak pernah meladeni mereka "perang ayat-ayat Alkitab", menurut "metode ayat bukti" a la bidat Saksi-saksi Yehuwa dan "kaum sempalan lain", yang semua Jabir di Barat, jauh dari "tanah air Kristen mula-mula" yang nota bene menyimpan segudang bukti sejarah mengenai pokok-pokok iman yang mereka persoalkan. Dengan menempuh pendekatan ilmiah seperti ini, ayat-ayat Alkitab yang mereka ajukan sebagai "ayat-ayat bukti", menjadi lebib jelas maknanya, dan sama sekali tidak mendukung paham-paham ganjil yang mereka kampanyekan itu.



3.2 Tak Paham Bahasa Kitab Suci

    Ketika seorang mahasiswa seminari pertama kali membaca buku Nugroho, dan membaca kutipannya atas Kitab Taurat (Ulangan 6:4) dalam bahasa asli Ibrani, ia pasti langsung mengetahui bahwa salah satu kelemahan pendiri sekte Unitarian di Indonesia ini adalah tidak paham bahasa-bahasa asli Alkitab. Perhatikanlah, ia mengutip ayat yang mestinya: Shema Yisra'el, YHWH Elohenu, YHWH Ehad, dibacanya: Shema o Israel, YHWH Elohim, YHWH Ehad[21]. Artinya: "Dengarlah, hai Israel, TUHAN Bah kita, TUHAN itu Esa" (Ulangan 6:4). Dalam bahasa Ibrani tidak ada seruan "o", seperti dalam bahasa Inggris, juga "our God" dalam bahasa Ibrani 'Elohenu, bukan hanya "Elohim".

    Selanjutnya, dengan penguasaan ilmu agama-agama yang pas-pasan, seharusnya Nugroho jangan terlalu "pede" menulis soal agama lain, khususnya mengenai Islam [22]. Karena itu, meskipun bukunya itu diberi "Kata Pengantar" oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, yang pada saat penerbitan buku Nugroho menjabat Rektor IAIN "Syarif Hidayatullah" Jakarta, buku ini tidak dapat dijadikan referensi dalam hubungan Kristen-Islam. Saya malah tidak percaya kalau Pak Azyumardi membaca sampai habis buku Nugroho. Mengapa? Dalam "Kata Pengantar"-nya itu, Pak Azyumardi mengutip Frithjof Schuon dan Seyyed Husein Nasr, yang jelas-jelas menganjurkan untuk memahami agama lain dalam ''presuposisi" agamanya sendiri [23], tetapi yang dilakukan Nugroho justru melanggar batas-batas itu, dan mencampuradukkan penafsiran Alkitab dengan penafsiran Al-Qur'an, sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip dialog yang jujur dan jauh dari "buruk sangka". Apalagi, deskripsinya mengenai ajaran-ajaran Kristen mainstream yang dikritiknya, didasarkan atas keterbatasan literatur yang dibaeanya, yang tentu saja sangat jauh dari memadai secara iImiah sebagai modal seorang yang berlagak ahli, sampai berani "mengritisi ajaran-ajaran gereja yang sebenarnya tidak dipahaminya".


3.3. "Memanfaatkan" Para Teolog

    3.3.1. Seminar Mencari Dukungan

      Terus terang, pada mulanya saya tidak terlalu menghiraukan gerakan kaum Unitarian itu. Sewaktu wacana Kristen Syria yang saya bawa sedang menjadi "booming" di media masa beberapa tahun lalu, Nugroho dan kawan-kawannya pernah mengunjungi "markas kami", waktu itu masih di JI. Dinoyo 19B, Surabaya. Saya sedang tidak ada di tempat, Pak Henney Sumali yang waktu itu menemui mereka, dan sekaligus memberikan klarifikasi bahwa pandangan kristologi kami sangat jauh berbeda dengan mereka. Tetapi setelah mereka semakin berani mengkampanyekan ajaran-ajaran mereka, dengan seringnya mengejek "ajaran-ajaran gereja tradisional", terpaksalah kami "mengangkat pena" meluruskan pandangan-pandangan mereka yang menyimpang dari standar ortodoksi.

      Malahan, ketika seorang rekan menyodorkan buku Frans Donald, Allah dalam Alkitab dan Al-Qur'an: Sesembahan yang Sama atau Berbeda[24] saya hanya mengirimkan SMS yang membodoh-bodohkankan mereka. Kalau bukan begitu, lalu dengan kata apa lagi yang tepat? Mungkin saja Donald merasa terpukul dengan ''bahasa Jawa Timuran" saya, dan balas mengritik saya dan menyebut saya "kemaki". Untuk itu harus saya katakan, siapakah yang sebenarnya "kemaki"? Saya atau Donald? Coba baca bukunya, bahasanya seperti "bahasa orang jual jamu": "Buku tajam dan berani yang pernah terbit", tulisnya, "menggoncang para teolog", dan beberapa promosi bombastis lain. "Kesombongan picik" dari buku itu sendiri, yang melatar-belakangi reaksi SMS saya yang keras kala itu.

      Rupanya, serangan demi serangan terhadap mereka, yang khususnya mengritik kemiskinan Iiteratur mereka, seperti yang juga dilakukan Herlianto [25], dan yang selama ini saya lakukan "secara tidak langsung" - karena saya justru khawatir akan jadi promosi gratis bagi kelompok Unitarian itu - mereka reaksi dengan menggelar seminar yang menghadirkan Rm. Toms Jacob, Rm. Banawirat-ma, Hortensins F. Mandaru dari Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), dan Nugroho sendiri, di Semarang, 28 April 2007. Tujuan seminar itu jelas, untuk mencari dukungan para ahli seolah-olah membenarkan ajaran mereka, Hal itu tampak dari pertanyaan "menggiring" pewawancara, Hana Lie, salah satu penganut ajaran Unitarian yang menjadi wartawan Crescendo.

      Dalam beberapa hal, saya yang menganut teologi Kristen Timur, memang berbeda pendapat dengan beberapa pendapat "para teolog Barat" itu. Meskipun demikian, saya membaca nuansa pemikiran para teolog tersebut yang jauh berbeda dengan kaum Unitarian itu. Mereka jauh dari kesan "melecehkan iman Kristen", dibanding dengan kaum Unitarian yang berani kurang ajar "mengentengkan" ajaran bapa-bapa konsili itu dengan "berlindung pada ayat-ayat Alkitab". Para teolog yang saya sebut, memang lebih cenderung dengan "bahasa Alkitab" yang lebih sederhana, tetapi mereka "tidak menolak bahasa dogma", mereka hanya mengontekstualisasikannya, yang dalam batas-batas tertentu, tentu saja bisa saya setujui.


    3.3.2. Tom Jacobs

      Rm. Tom mengakui bahwa Yesus itu Firman Allah, tetapi pewawancara menggiringnya untuk membenarkan pendapatnya sendiri. "Jadi maksudnya Yesus itu murni manusia?" "Ya", jawab Rm. Tom, "tetapi didalamnya Firman Allah dinyatakan. Dan ini perbedaan dengan nabi-nabi dan bisa dieek pada semua nabi, Mereka selalu menyampaikan Firman Allah, tetapi Yesus adalah
      "Firman Allah". Rm Tom Jacobs juga mengakui bahwa Anak Allah adalah co-eternal dengan Allah, tetapi bukan dalam kemanusiaan Yesus, tetapi Firman Allah[26].

      Memang apa yang disampaikan Tom Jacobs itu yang diimani gereja dan bapa-bapa konsili. Menegaskan "keilahian Yesus" berarti menegaskan "keilahian Firman Allah", yang kekal bersama-sama dan satu dengan Allah (Yohanes 1:1), dan bukan menunjuk kepada kemanusiaan-Nya. Yang perlu dikritisi dari pandangan Rm. Tom Jacobs, ketika mengomentari Wahyu 3:14 - tetapi kalau itu benar-benar pandangannya, dan bukan salah pengalimatan oleh pewawancara - Yesus adalah "ciptaan di benak Allah". Apa maksud ucapan yang absurd ini? Bukanlah ungkapan seperti ini malah lebih rumit dan sulit dipahami, bila dibandingkan dengan bahasa dogma? Sebab kalau Firman itu ciptaan, berarti Ia diawali oleh waktu. Padahal Kitab Suci menegaskan bahwa ".... bahwa oleh Firman Allah langit telah ada sejak dahulu, dan juga bumi... " (1 Petrus 3:5). "Oleh Finnan TUHAN langit telah dijadikan... " (Mazmur 33:6).

      Kalau Firman Allah itu ciptaan, padahal Allah menciptakan segala sesuatu dengan Firman-Nya, lalu Firman mana lagi yang menciptakan Firman Allah? Itulah problem yang hendak ditegaskan oleh konsili Nicea, bukan untuk mengangkat manusia Yesus menjadi Allah. Berdasarkan pertimbangan teologis ini, konsili menegaskan bahwa Anak (Firman) Allah itu "dilahirkan, tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, yang oleh-Nya segala sesuatu diciptakan" (teks asli: "... gennethenta, ou poiethenta, homousion to Patri, di ao ta panta egeneto)[27].

      "Dilahirkan", karena Firman itu keluar dari Allah untuk menyatakan siapakah Allah, atau oleh Firman itu Allah menyatakan diri-Nya (Yohanes 1:18). ''Tidak diciptakan", karena sebelum Firman itu dilahirkan dari Bapa, Ia sudah ada bersama-sama Allah, dan laksana pikiran seseorang berada dan satu dalam diri seseorang, Firman Allah itu tentu saja sehakikat dengan-Nya dalam keabadian. Nah, karena pada saat yang bersamaan tidak boleh ada dua entitas yang kekal, sebab hal itu bertentangan dengan Tauhid Yahudi, maka ditegaskan "... kai theos en ho logos - dan Allah sendirilah Firman itu" (teks asli Yohanes 1:1).

      Rupanya, frasa ini yang sulit dipahami oleh "logika Barat" Rm. Tom Jacobs, sehingga penjelasannya menjadi berbelit-belit. "Firman itu Allah", sudah barang tentu berbeda dengan "yang berfirman adalah Allah", tetapi diakuinya bahwa Kristus itu Firman Allah, meskipun disangkalnya kalau Firman itu adalah Allah. Padahal kalau Firman itu bukan Allah, lalu mengapa Firman disebut sebagai penyebab ciptaan? (Yohanes 1 :3). Jadi jelaslah, bahwa "arche" dalam Wahyu 3:14 secara tepat diartikan "sumber", seperti tampak dari terjemahan Bahasa Indonesia sehari-hari (BIS) Lembaga Alkitab Indonesia (LAI, 1985). Konteks keseluruhan ajaran Alkitab mengenai keabadian Firman Allah, yang kekal bersma-sama Allah dan oleh-Nya segala sesuatu telah diciptakan itu (Yohanes 1:1-3), mendukung terjemahan ini.



    3.3.3. Prof. Dr. Banawiratma

      Ketika digiring oleh pewawancara, apakah Kekristenan awal rnenyimpulkan Yesus itu Allah, Rm. Bana tegas menjawab: "Menyimpulkan, tapi daIam arti apa ?"[28] Artinya, diakui fakta bahwa gereja purba sudah menyimpulkan bahwa Kristus adalah Allah. Lebih jelasnya, sebagai Firman Allah, Yesus adalah Allah sendiri. Tetapi yang dipersoalkan oleh Rm. Bana, bahwa gereja pada saat itu menyimpulkan demikian karena kalau Yesus bukan Allah maka Ia tidak mnngkin bisa rnenyelamatkan kita. Jadi, keilahian Yesus seolah-olah "terpaksa" ditetapkan, karena adanya pandangan pada zaman itu bahwa banya Allahlah yang bisa menyelamatkan manusia.

      Karena itu, kalau disebut sebagai Juru Selamat, maka Yesus harus Allah. Mengapa begitu? "Itulah kita tidak mengerti", jawabnya, "Karena itu kebudayaan sana pada waktu Itu", Pandangan Banawiratma ini tidak sepenuhnya benar. Sebab tidak ada pandangan bapa-bapa konsili yang mengharuskan bahwa Yesus menjadi Allah sebagai syarat keselamatan, sebaliknya justru ditekankan bahwa Firman Allah menjadi manusia agar manusia bisa diselamatkan. Prinsip penting ini, misalnya diungkapkan oleh Athanasius dari Alexandria (wafat 373) sebagai berikut: "Tidak ada seorang pun yang dapat menciptakan kembaIi manusia dalam Gambar Allah dan Rupa-Nya, kecuali Rupa Sang Bapa itu sendiri" (cf. terjemahan bahasa Arab: "wa lam yakun mumkinan 'an ya'ida li al-basyar shurat Allah matsalihi illa shurat al-abi) [29].

      Pandangan bahwa Firman menjadi manusia agar supaya Ia menyelamatkan manusia, bukan berasal dari filsafat Hellenisme, tetapi justru berusaha "menelanjangi Hellenisme" yang merendahkan tubuh. Dan sejak zaman rasuli prinsip ini sudah ditekankan, bahwa justru ditekankan bahwa roh al-Masih ad-Dajjal (Aram: Meshiha Daggala) yang menyangkal bahwa Yesus telah datang sebagai manusia: "Setiap roh yang mengaku bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh yang tidak mengaku Yesus telah datang sebagai manusia, tidak berasal dari Allah, melainkan berasaI dari aI-Masih ad-Dajjal..." (Peshitta: "Kol ruha dmaudya di Yeshua Mashiha etta ba-bsar, min alaha hi. Wakol ruha dla maudya di Yeshua etta ba-bsar, laytih min alaha, alIa hada min mashiha hi daggala...) [30].

      Soal pernyataan Banawiratma yang lebih menyebut Yesus Anak Allah, dan tidak menyebut Allah, memang itu hanya soal eksplisitasi pengungkapan saja. Dan hal yang sama juga sangat hati-hati dinngkapan Rasul Yohanes, karena ia tidak menulis: "Allah itu telah menjadi Manusia", melainkan: "Firman (Allah) itu telah menjadi manusia" (Yohanes 1:14). Dan kalau pun Yohanes menyebut-Nya sebagai Allah, itu tidak menunjuk kemanusiaan Yesus, melainkan kepada wujud pra-eksistensi-Nya sebagai Firman Allah (Yohanes 1:1). Sebab sejauh menunjuk kepada Yesus sebagai Firnan Allah, seluruh Kitab Suci mengarah kepada kesimpulan bahwa Firman Allah itu adaIah Allah sendiri.

      Patut dicatat pula, kristologi Yobanes mengenai Logos (Firman), berasal dari targum-targum Yahudi pra-Kristen yang menegaskan bahwa sejauh Allah menyatakan Diri kepada umat-Nya,. seperti digambarkan dengan istilah "tangan Allah", "mata Allah", dan sebagainya, selalu disalinnya dengan Memra. Misalnya, dalam Kitab Taurat disebutkan: Me'anah Elohe qedem umitahat zero'at olam. Artinya: "Allah yang abadi tempat perlindunganmu, dan dibawahmu ada lengan-lengan yang kekal" (Ulangan 33:27). Targum Onqelos menerjemahkan ayat ini: Medor Alaha d'milqadmin be Meimre mit'aved 'alama. Artinya: "Inilah perlindungan Allah, yaitu Memra yang oleh-Nya telah dieiptakan alam raya ini" [31].

      Selanjutnya, pandangan Yahudi pra-Kristen tiba pada kesimpulan bahwa Memra itu identik dengan Sang Mesiah yang akan datang. Pandangan ini tidak hanya dijumpai dalam madzab Yahudi arus utama, tetapi juga terdapat dalam madzab Esseni, yang mewariskan bagi kita naskah-naskah Alkitab Laut Mati (The Dead Sea Scrolls) yang berusia lebih dari 2000 tahun. Bahkan pandangan mengenai "kelahiran ilahi Putra Allah" (the divine bith of Jesus Christ), yang dikaitkan dengan konsep Sang Mesiah, juga dijumpai dalam manuskrip Qumran yang disebut "Manuskrip Putra Allah"[32].

      Jadi, saya setuju dengan kehati-hatian Banawiratma, khususnya dalam hal ini sangat penting untuk memahami konteks masyarakat Muslim, tetapi justru dengan sikapnya itu Banawiratma tidak menolak "bahasa dogma" yang harus dipahami menurut kon-teks zarnannya. Sebaliknya, kaum Unitarian yang ''buta sejarah" dan "rata-rata kurang cerdas" itu, memanfaatkan pernyataan para teolog itu untuk '''menyerang ajaran gereja", dan membenarkan ajaran-ajaran ganjil mereka. Jadi, para teolog itu banya "mereka manfaatkan", mereka ingin menjadikannya sebagai antitesis dari argumentasi yang menyerang sengit ajaranajaran mereka [33], padahal para teolog itu juga tidak sepenuhnya sependapat dengan mereka,

      Sayang sekali, apakah para teolog itu sadar kalau mereka sedang dimanfaatkan? Tetapi ya sudahlah, atas nama kebebasan berpikir, saya menghormati kebebasan mereka memilih, meskipun atas nama ke-eintaan saya kepada ilmu, saya sungguh-sungguh menyayangkan kebodohan mereka. Betapa tidak? Membangun sebuah pemikiran - yang mereka puji-puji sendiri sebagai "pemikiran tajam dan berani", "buku langka, inovatif, revolusioner", "mendobrak dogma gereja" - tetapi tidak didasari literatur yang memadai. Buku-buku rujukan mereka sama sekali tidak memadai dari sudut teologis maupun historis. Tetapi mereka sangat gencar "menyerang ajaran gereja", bahkan untuk maksud itu Nugroho juga menjadi pendiri Asosiasi Pendeta Indonesia (API), seolah mereka rancang sebagai tandingan KWI, PGI atau PII yang mewadahi Kristen "mainstream". Dalam wadah API ini, agaknya mereka bisa leluasa menggarap "para pendeta praktisi jemaat" yang menjadi anggotanya, dan pada gilirannya menyeretnya ke ajaran-ajaran mereka.


------------------------
    [11] D. Tjahjadi Nugroho, Keluarga Besar Umat Allah (Semarang: Yayasan Sadar, 1999). Kesalahan fatal seperti ini, blasanya juga diulangulang oleh sekte Saksi-saksi Yehuwa, dan para polemikus Muslim yang sering mengutipnya sejauh menguntungkan.

    [12] Kematian Arius yang mengenaskan ini, diakui baik oleh para pendukungnya maupun oleh para lawan pemikirannya, seperti Athanasius dan Maqarius. Karena itu, tidak ada yang bisa menyangkal fakta historis kematian Arius di kamar mandi, justru ketika Kaisar sedang "all out" membelanya. Kamil Shalih Nakhlah, Tar'ikh Athanasius ar-rasuli: Hama al-iman al-Qawim (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 1982), him. 61-62. Lih. Juga: Ricard D. Rubenstein, Kala Yesus jadi Tuhan (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 300.

    [13] Lihat: Ahad Ruhban Bariyyat AI-Qidis Maqariyus, [b]Dirasat fi Aba' a/-Kanisat[/b] (Subhra, Cairo: Dar Majalat Marqus, 2000), him. 51-141.

    [14] "Epistle of SI. Policarp", dalern J.B. Lighfoot - J.R. Hermer (ed.), The Apostolic Fathers. Greek texts with Introduction and English Translations (Michigan: Baker Book House, 1984), him. 195.

    [15] Menurut sumber sejarah abad kedua, seperti juga dirujuk dalam sejumlah Synaxarion, mencatat: "Ignatius menjadi murid Rasul Yohanes, Sang Penulis lnjil, dan mengabarkan Injil bersamanya di beberapa negeri, lalu meninggalkannya di Antiokia, negeri Syria" (kana talmidzu li Yuhanna al-Besyir, wa basyara ma'ahu fi 'iddatin biladin, tsumma rasamahu 'ala Anthikiyyah bi Suriya). Rene Bassett, Mukhthathun al-Synaksar al-Qibthi al-Ya'qubi. Tarjamah: MlkM'il M. Iskandar (Cairo: Muktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 152-153.

    [16] Igantius menulis: "Sesungguhnya Allah itu Esa, Ia telah menyatakan diri-Nya sendiri melalui Yesus Kristus Putra-Nya, yaitu Firman-Nya yang keluar dari keheningan kekal (hos estin auto seges proelton), "Epistle of St. Policarp", dalam 1.B. Lighfoot - J.R. Hermer (ed.), Ibid, him. 195.

    [17] "Igantius sudah menyebut kodrat ganda Kristus, sebelum konsili-konsili gereja membicarakannya: " ... yang menurut daging dan menurut Roh, yang dilahirkan dan yang tidak dilahirkan, yang keluar dari Maria, dan yang keluar dari Allah (kai sarkikos kai pneumatikos, gennetos kai agennetos, kal ek marias kai ek theos), yang pertama terpikirkan dan yang kedua tak teirpikirkan". Lih. "The Epistle of St. Ignatius to Ephesians (VII)", dalam Ibid, him. 107. cf. Tadros Ya'qub Malathi, AI-Qidis Ignatius al-Anthaki (Cairo: Markaz al-Delta Ii al-Nasyr, 2003), hlm. 13.

    [18] Dokumen yang disebut Risalah Barnaba ini sangat dihormati di gereja-gereja kuno, bersama dengan dokurnen-cokumen post-rasuli yang lain, sepertl misalnya: Gembala Hermas, Didache, surat-surat Ignatius, Kesyahidan Polikarpus, dan sebagainya. Risalah Barnaba/ Epistle of Barnabas (ditulis 90-120 M) dan Qishah Barnabii/Acts of Barnabas (dari abad ke-5 M) harus dibedakan dengan dokumen palsu berbahasa Itali dan Spanyol dart abad ke-16 M yang berjudul Injil Barnaba/The Gospel of Barnabas. Aneh, Nugroho juga mencantumkan dokumen palsu The Gospel of Barnabas dalam "Daftar Kepustakaan" bukunya, Lih. Pembahasan dokumen palsu Inl dalam buku saya: Bambang Noorsena, Telaah Kritis Injll Barnabas (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1990).

    [19] Yustln al-Syahid (100-167 M) menegaskan bahwa Yesus sebagai Firman "tidak diciptakan" (ghayr al-makhluq). "Kami menyembah Allah", katanya, "tetapi kami juga mengasihi Firman yang keluar darl Allah, yang tidak diciptakan dan kebesaran-Nya tidak terhingga". Alexander Robert - James Donaldson (ed.), The Writings of the Father Down to AD. 325: Ante-Nicene Fathers. Vol. I (Peabody, Massachusetts: Hedrickson Publishers, 1995). him. 193.

    [20] Mahir Yunan 'Abd al-Lah, AI-Thawa'if a/-Masihiyyat fi Mishra wa al-'alam (al-Qahirah: al-Nasyir Mahir Yunan 'Abd al-Lah, 2001), hlm. 35-36. Sedangkan hasil putusan lengkap konsili-konsili ekumenis gereja, lihat: O. Cummings (ed.), The Rudder (Pedalion) of The Metaphorical Ship of the One Holy Catholic and Apostolic Church of the Orthodox Christians or All the Sacred and Divine Canons (Illinois: The Orthodox Christian Educational Society, 1957).

    [21] Nugroho, Op. cit., 16.

    [22] Dalam banyak kutipan dalam bukunya, ta banyak mengutip ungkapan bahasa Arab tetapi banyak melakukan kesalahan. Misalnya, Hablum minallah dan hablun minannas, diejanya: Hablo minallah, Hablo minan nas. Juga, La Ilaha iIallah ditulisnya: Lailah hailalah, dan meskipun intinya paralel dengan Alkitab (Keluaran 20:2,3), tetapi "Jangan ada ilah lain di hadapan-Ku", tidak bisa dicantumkan dalam tanda kurung setelah ungkapan itu, karena bukan terjemahan darinya. Secara harfiah La Ilaha illallah, artinya: "Tidak ada ilah selain Allah". Ini memang bukan pokok permasalahan, tetapi membaca keamawan Nugroho, ktta dapat melihat bahwa ia sangat tidak memadai menjadi narasumber hubungan agama-agama, kecuali kalau sekedar sebagai "seorang aktifis" yang peduli dengan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Ibid, hlm. 31.

    [23]Nasr mengkritik kecenderungan umat Islam pada umumnya, yang mengukur iman Kristen dari "frame of reference" agamanya. Misalnya, menyamakan Yesus dengan Muhammad, atau Alkitab dengan AIQur'an. Menurut Nasr, Yesus tidak sebanding dengan Muhammad, tetapi dengan AI-Qur'an. Sebab berbeda dengan Nabi Muhammad yang sekedar "penerima Firman Allah", Yesus adalah Firman Allah sendiri (Yah. 1: 1). Sedangkan dalam Islam Firman Allah adalah AI-Qur'an. Lalu apakah sulitnya memahami Firman menjadi Manusia, sedangkan pada saat yang sama umat Islam bisa memahami Firman yang kekal dan "bukan makhluk" itu bisa menjadi Kitab? Seyyed Husein Nasr, dengan sangat bagus menulis sebagai berikut: "The Word of God in Islam is the Qur'an, In Christianity it is Christ. The vehicle of the divine message in Christianity is the Virgin Mary, in Islam is the soul of the Prophet. The Prophet must be unlettered for the same reason that the Virgin Mary must be virgin. The human vehicle of the divine message must be pure and untained. The Divine Word can only be written on the pure and "untouched" tablet of human receptivity. If this Word is the form of flesh the purity is symblolized by the virginity of the mother who gives birth to the word, and if it is in the form of a book this purity is symbolized by the unlettered nature of the person who ts chosen to announce this word among men", Seyyed Husein Nasr, Ideals and Realities of Islam (Cairo: American University of Cairo, 1989), hlm. 43-44.

    [24] Frans Donald, Allah dalam Alkitab dan AI-Quran (Semarang:
    Penerbit Borobudur, 2005).

    [25] Herlianto menilai bahwa penguasaan bahasa Yunani tokoh-tokoh Unitarian - yang saya keberatan bila disebut "Kristen Tauhid" - sangat minim, sehingga mereka tidak layak mengadili penerjemahan Kristen trinitarian. Lih. Herlianto, Kristen Tauhid: Siapa dan Bagaimana Ajaran mereka? Seri Buku Saku Yabina, edisi 07 (Jakarta: YABINA Ministry, 2007), hlm. 26.

    [26] Lihat Wawancara: "Romo Tom Jacobs: Membedah teks-teks Sulit dalam Alkitab", dimuat dalam Majalah Crescendo, No. 323, 2007, hlm. 42-43.

    [27] Teks "Qanun al~Iman" (Konstltusl Iman) putusan konsut Nicea-Konstantinopel, dikuitip darl The Divine Liturgy of Saint James, Brother of the Lord (Brookline, Massachusetts: Holy Cross Orthodox Press, 1988), hlm. 18-19.

    [28] Lih. Wawacara: "Prof. Dr. Banawiratma: Saya tidak mengatakan Yesus Allah, tapi Anak Allah", dimuat dalam majalah Crescendo, No. 323, 2007, him. 38-41.

    [29] Athanasius ar-RasuIi, Dhida al-Ariyusiyyin (Cairo: Mu'asasah al-Qidis AnthuniOs - al-Markaz al-Urthuduks Ii at-Dtrasat al-Anba'iyyah, 2003), II:24,33, hlm. 54.

    [30] Teks Peshitta dalam bahasa Aram dikutip dari: Qyama hadatsa - Ha Brit ha Hadasyah: The New Covenant Aramaic Peshitta Text with Hebrew Translation (Jerusalem: The Bible Society in Israel and the Aramaic Scriptures Research Society in Israel, 1986).

    [31] Rabbi Nessen Scherman - Rabbi Meir Zlotowitz, Humash Humasi Torah 'im Targum Onqelos, Farash" Haftarot wehumash Migilot (The Torah: Haftaros and Five Miggillos with A Commentary Anthologized from the Rabbinic Writings. Hebrew-Aramaic-English (New York: The Mesorah Publishing, Ltd., 1996), him. 375.

    [32] Dalam teks 1 QSa 1,11 yang ditemukan di gua pertama Laut Mati, ada ungkapan Ibrani: 'Im yolid EI et ha Mashiah. "Ketika Allah melahirkan Mesiah-Nya". R. Gordis, seorang sarjana beragama Yahudi, terheran-heran membaca naskah ini, sebab ungkapan ini dengan terang membuktikan bahwa ide "kelahiran ilahi Sang Mesiah dari Allah" itu ternyata tidak berasal dari luar Israel - seperti sering diduga oleh para teolog Kristen Barat selama inl - melainkan - berakar pada pengharapan mesianis Yahudi sendiri. Lihat jugai Risto Santala, AI-Masih fi AI-'Ahd al-Qadim (Cairo: AI-Jami'ah wa al-Kharaj al-Fani wa at-Thaba'ah, 2003), him. 59. Llhat artikel saya: Bambang Noorsena, "Konsep keilahian Sang Mesias dalam Naskah-naskah laut Mati", bahan untuk Kuliah Umum Program Pascasarjana Jurusan Sosloloqi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Slatiga, 19 Februari 2008.

    [33] "Pemanfaatan" pendangan para teolog yang sering dicap liberal Itu, tampak sekali dar; buku Frans Donald, Menjawab 'Ajaran Tritunggal, yang sedikit-sedikit "menurut Romo Tom", "menurut Prof. Banawiratma", seolah-olah Donald mencari pembenaran pendapat Unitarian dari mereka (Op. Cit, him. xxv-xix).
4. "Eisegese" Kecurigaan


Penafsiran Alkitab yang bertanggung-jawab mensyaratkan untuk menggali makna dari ayat-ayat, lengkap dengan kajian babasa-bahasa asli, latar belakang historis dan konteks penulisannya, barulah "mengeluarkan (Yun, "ek") makna yang sebenarnya dari sebuah ayat" (eksegese), dan bukan sebaliknya" mempunyai prapaham terlebih dahulu, lalu "memasukkan pandangannya dengan mencari pernbenaran dari sebuah ayat" (Eisegese). Bukan hanya itu, suatu eisegese mereka juga penuh dengan kecurigaan, karena "pra-paham" mereka yang sebelumnya sudah "anti-Trinitas".

Sekedar sebagai contoh, di bawah ini akan saya kemukakan 2 ayat saja, yaitu Yesaya 63:8-9 dan Yohanes 20:28 yang dikutip oleh Donald sebagai berikut:


4.1. Yesaya 63:8-9

      ".... maka Ia menjadi Juruselamat mereka dalam segala kesesakan mereka. Bukan seorang Duta atau utusan, melainkan Ia sendirilah yang menyelematkan mereka. Dialah yang menebus mereka dalam kasih-Nya dan belas kasihan-Nya" (TB).

      So, He became their Saviour in all their affliction. He was afflicted. And the Angel of His Presence saved them, in His love and His pity He redeemed them" (KJV).

    Membandingkannya dengan terjemahan King James Version (KJV), dalam bukunya itu Donald menuduh Yesaya 63:8-9 terjemahan LAI sudah diubah "mungkin oleh oknum-oknum dalam upaya mengajarkan Trinitas"[34]. Coba bandingkan dengan uraian-uraian sebelumnya, Donald memuji-muji Tom Jacobs, Banawiratma dan Hortensius F. Mandaru, karena kebetulan pandangan mereka yang ingin mengontekstualisasikan "bahasa dogma" (berbeda dengan kaum Unitarian yang "menyerang dogma gereja"), dianggapnya menguntungkan pendapat kaum Unitarian.

    Nah, tuduhan bahwa ayat ini diubah oleh oknum-oknum untuk menyisipkan ajaran Trinitas, sama sekali tidak benar. Kedua terjemahan sama-sama menrujuk kepada teks asli bahasa Thrani, yang memang memungkin keduanya. Bahkan terjernahan yang dituduh Donald telah "diubah derni ajaran Trinitas" itu, ternyata malah dijumpai dalam terjemahan Yahudi yang notabene: tidak percaya kepada ajaran Trinitas. Sebelum kita kutip terjernahn Yahudi yang dimaksud, marilah kita kutip Yesaya 63:9 dalam bahasa asli Ibrani:

      "Be kal tsareham, lo tsar u-melek phanu hosyi'im ... "
      Artinya: "Dalam kesesakan mereka, bukan seorang Duta atau utusan, melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka ... " (TB-LAI) [35].

      atau, bisa juga berarti: "Dalam segala kepicikan mereka itu, Iapun kepicikan sertanya, dan Malak alhadirat-Nya sudah memeliharakan mereka ... " (TL, Klinkert) [36]

    Mengapa terjemahannya bisa berbeda? Jawabannya dapat kita ikuti dari catatan The Jewish Bible - Tanakh: The Holy Scriptures, sebagai berikut:

      "Ancient version read: So He was their deliverer! 9No ([i]so kethib) angel, or merssenger, His own Presence delivered them .. [/i]" (Dalam teks kuno dibaca: Ia menjadi Juru Selamat mereka, 9Bukan (demikian kethib, atau
      ''yang tertulis"dalam ayat ini) malaikat atau utusan, Dia sendirilah yang menyelamatkan mereka) [37].

    Seperti catatan terjemahan Yahudi di atas, justru "yang tertulis" (kethib) dalam teks tradisional yang dikenal dengan naskah Masoretik: "Lo tsar" (Tidak ada utusan), sedangkan yang menerjemahkan: "He was troubled" (Ia pun kepicikan sertanya, Klinkert), justru mendasarkan pada Qere (bacaan kira-kira). Dan buktinya teks tradisional Masora itu dibuktikan kesahihannya dengan penemuan Qumran. yang berusia 1000 tahun lebih tua, dan bacaanya sarna: "Lo tsar" (Tidak ada utusan)[38]. Karena itu, logislah apabila ayat ini bersambung dengan kalimat berikutnya: "umelek" ("dan duta", atau "dan malaikat"), dan ungkapan: "phanu" (''Wajah-Nya'', "Hadirat-Nya") menjadi pembuka kalimat baru, sehingga berbunyi: "phanu hosyi'im" (Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka).

    Ungkapan "phanu" dalam makna "Ia sendiri" - seperti dicatat selanjutnya dalam The Jewish Bible tersebut - juga dijumpai dalam Keluaran 33:14; Ulangan 4:27.39 Terjemahan ini juga didukung oleh naskah Septuagina, yang juga dibuat oleh orang Yahudi di Alexandria era pra-Kristen yang berbunyi: "Ou presbus oude anggelos, all' autos esosen auto" (bukan seorang utusan atau malaikat, melainkan Ia sendiri yang menyelamatkan mereka) [40].

    Dalam hal ini terjemahan Septuaginta (LXX), seperti yang juga terjadi pada Yesaya 7:14 [41], lebih menegaskan maksud yang sebenarnya dari teks asli Ibrani. Karena itu, "tuduhan lancang" bahwa terjemahan itu dibuat oleh oknum-oknum untuk memasukkan ajaran Trinitas, sungguh tidak beralasan, culas dan kurang pengetahuan. Lebih-lebih lagi, "ada udang dibalik batu" mengapa harus dipersoalkan ayat ini, karena kalau yang Juru Selamat itu "malaikat alhadirat-Nya", tinggal satu langkang lagi untuk menggiring kepada ajaran ganjil mereka, bahwa kalau begitu Yesus adalah Malaikat Mikhael.



4.2. Yohanes 20:28

    Contoh kedua - dan kiranya ini eukup untuk membaca mutu seluruh tulisan Donald - diambil dari Yohanes 20:28. Dalam hal ini, argumentasi Donald hanya "menjiplak" Thomas Mc Elwain, tanpa mampu memeriksa langsung "teks-teks bahasa asli", atau check and recheck dan membandingkannya deugan pendapat puluhan ahli lain yang berbeda dengan Elwain. Menurut Elwain, teks asli Yohanes 20:28 pada frasa: "My Lord and my God", dalam bahasa Yunani menggunakan bentuk nominatif, baik pada kata Lord (Tuhan) maupun God (Allah). Dalam bahasa Yunani, bentuk sapaan lazim disebut "bentuk vokatif", yaitu bentuk kata yang menunjuk kepada orang yang diajak bicara.

    Lebih jelasnya, Yohanes 20:28 memakai bentuk nominatif "Kurios" dan "Theos" dan bukan dalam bentuk vokatif "Kurie" dan "Thee". Karena itu, menurut Elwain, seruan: "Ya Tuhanku dan AIahku" (Yunani: "ho kurios mou kai ho theos mou''), tidak membuktikan bahwa Tomas mengakui bahwa Yesus yang dihadapannya adalah Tuhan dan Allah [42], melainkan lebih merupakan seruan kaget, seperti seruan dalam bahasa Indonesia: ''Ya Allah, ya Tuhanku!", ketika seorang keget menyaksikan gelombang Tsunami, misalnya, tetapi bukan berarti gelombang Tsunami itu Tuhan dan Allah. Demikianlah misalnya argumentasi Donald menjiplak Elwain, mencoba menjabarkan "tafsiran aneh Elwain" yang dikutipnya.

    Kenyataannya, teori Elwain ini justru asing dan tidak dapat dibuktikan dari Alkitab. Memang pada umumnya bentuk vocative case lebih lazim dipakai sebagai seruan, tetapi nominative case sering dipakai juga menggantikan vocative case, yang memberi kesan lebih khidmat. Contohnya, seruan bahasa Aram: Eloi, eloi, Lamma Sabhaktani, atau: Eli, Eli, Lamma Shabakhtani, ternyata diterjemahkan dengan bentuk bahasa Yunani yang berbeda dalam Matius dan Markus. Dalam Matius 27:46 diterjemahkan: Thee mou, Thee mou, hinati me egkatelipes (digunakan bentuk vocatif Thee), berbeda dengan Markus 15 :34 yang berbunyi: Ho Theos mou, ho Theos mou, eis ti egkatelites me (digunakan bentuk nominative: "Theos").

    Demikian juga, bentuk seruan nominatif juga dipakaidalam Septuaginta (LXX) , misalnya dalam Mazmur 35:23, teks asli Ibrani: "Elohai we Adonay" diteIjemahkan: "Kurie, ho Theos mou" (bentuk vocative case dan nominative case digabungkan). Jadi, teori Elwain tidak bisa dibuktikan, dan hanya mengada-ada. Tampaknya, Elwain demi memaksakan kesamaan dalam rangka dialog Kristen-Islam, telah mngorbankan iman Kristen agar diterima oleh Islam. Dialog sejati ternoda oleh cara-cara kompromistis semacam ini, suatu yang juga dilakukan oleh "gerombolan Unitarian" di Indonesia yang suka bikin sensasi itu.


-------------------------------
    [34] Frans Donald, Op. cit., hlm. 59-60.

    [35] Terjemahan yang sama antara lain: "and He become their deliverer in their troubles, It was no envoy, no angel! but he himself that delivered them ... " (Isaiah 63:9, NEB).

    [36] Sebaliknya, New International Version menerjemahkan sama dengan Klikert: "In all their distress he too was distressed, and the angel of his presence save them ... " (Isaiah 63:9, NIV).

    [37] Dikutip dan Perjanjian Lama edisi . agama Yahudi : The Jewish Bible - Tanakh: The Holy Scriptures. The New Jewish Publication Society Translation According to the Traditional Hebrew Text (Philadelphia, New York: The Jewish Publication Society, 1968), him. 752.

    [38] "Lihat "Crikicus Apparatus" pada Yesaya 63:9 dalam R. Kittel - H.P.
    Ruger, Biblia Hebraeca Stuttgartensia (Stuttgart: Deutsche Bibelgesselshaft, 1990). Sedangkan buktl manuskrlp Qumran, hasil foto halaman demi halaman Kitab Nabi Yesaya, lihat: John C. Trever, Shalosh Megilot me Qumran: Megilot Yesyayahu ha Gedulah, Sefer Hayahad, Fasarh Habquq (Jerusalem: The Alibright Institute of Archeological Research and The Shrine of the Book, 1972), him. 116.

    [39] "The Jewish publication Society, Loc. Cit.

    [40] Teks Yunani Septuaginta (LXX) dlkutlp darl: John R. Kohlenberger III, The NIV Triglot Old Testament (Michigan: Zondervan Publishing House, 1961).

    [41] Dalam teks Ibrani "almah" bisa berarti "perawan" maupun "perempuan muda", tetapi dalam LXX tegas-tegas diterjemahkan "Perawan". Teks Yesaya 7:14 ini berkaitan dengan nubuat Imannuel yang akan dilahirkan oleh seorang anak dara (Mat. 1:23).

    [42] Thomas Me Elwain, Bacalah Bibel (Jakarta" Penerbit Citra, 2006), hlm. 92-93.

5. Apa Kata Yesus Kristus mengenai Diri-Nya sendiri?


5.1. Apakah Hikmat dalam Amsal 8:22 adalah Ciptaan?

    Berakar dari Tauhid (Monoteisme) Yahudi pra Kristen, Allah berkarya melalui Firman-Nya yang dalam tradisi kesusastraan disebut juga dengan Hokmah (Hikmat) yang bersifat pra-eksisten bersama Allah, seperti misalnya disebut dalam Kitab Amsal di bawah ini:

      יְהוָה קָנָנִי רֵאשִׁית דַּרְכֹּו
      YHWH (Adonay) qenani reasith derekho ...
      "TUHAN memiliki aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya ... " (Amsal 8:22, teks Vulgata).


    Berbeda dengan dengan kata bara ("menciptakan"), yang menunjuk kegiatan Allah untuk "mengadakan dari yang tidak ada menjadi ada" (creation ex nihilo), kata Ibrani qana ("memiliki", atau "memperoleh"), seperti kedua ayat lain dalam Kitab Amsal: " .... baiklah orang yang berpengertian rnemperoleh (yigneh) bahan pertimbangan" (Amsal 1:5). Lagi, disebutkan dalam ayat lain:

      קְנֵה חָכְמָה קְנֵה בִינָה
      Qeneh hokmah, qeneh binah. "Perolehlah hikmat, perolehlah pengertian" (Amsal 4:5).


    Hikmat Allah, yang berperan dalam penciptaan itu, menyeru manusia untuk mengikuti jalan-Nya. Dalam 1 Korintus 1:24, Kristus disebut kekuatan Allah dan Hikmat Allah. Tentu saja, ini tidak menunjuk kepada kemanusiaan Yesus, melainkan menunjuk kodrat ilahi-Nya sebagai Firman Allah, dan Firman Itu Allah (Yohanes 1:1).

    Dalam kemanusiaan-Nya, Yesus adalah anak-anak dari Hikmat. "Tetapi Hikmat dibenarkan oleh semua orang yang menerimanya" (Lukas 7:35, teks asli: ton teknon autes panton, "oleh anak-anaknya"). Sebaliknya, dalam keilahian-Nya, Tuhan Yesus menyeru kepada manusia dengan seruan yang tidak pernah diucapkan manusia biasa dimanapun juga, kecuali oleh Hikmat (Yunani: Sophia) Allah sendiri: "Marilah kepada-Ku, sernua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu" (Matius 11:28). Meskipun demikian, patut dicatat pula bahwa dogma keilahian Yesus dan ketritunggalan Ilahi tidak hanya cukup didasarkan atas ayat-ayat Perjanjian Lama saja, tetapi harus lebih mengacu kepada ayat-ayat Perjanjian Baru. Sebab Perjanjian Lama "...hanya terdapat bayangan saja dari keselamatan yang akan datang, dan bukan hakikat keselamatan itu sendiri" (Ibrani 10:1). Seperti yang juga dikatakan Rasul Paulus, "... semuanya itu hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya adalah Kristus" (Kolose 1:17). Tidak bisa misalnya Yohanes 1:1 yang jelas dan tegas malah ditafsir berdasarkan "ayat puitis" dari Amsal 8:22, sebab Kitab Amsal ditulis sebelum zaman Yesus, sedangkan Injil Yohanes ditulis oleh Rasul Yohanes di Efesus, yang jelas-jelas berasal dari murid Yesus langsung.



5.2. Sabda Kristus: Amin, Amin, amar Ana lekhon

    Semua nabi mengajarkan firman yang diterima dari Allah, seperti ungkapan: wayomer Adonay alai. "Berfirmanlah TUHAN kepadaku" (Yesaya 8:1): wayehi davar Adonay el Yonah. "Datanglah firman TUHAN kepada Yunus" (Yunani 1:1), dan masib banyak contoh lain. Begitu pula, kata Amin selalu diucapkan di belakang doa dan ucapan Nabi-nabi. Misalnya, doa Raja Daud:
      "Terpujilah TUHAN, Allah Israel, dari selama-lamanya sampai selama-lamanya, Amin, ya Amin" (Mazmur 41:14).

    Hanya Yesus yang mengawali sabda-Nya demi Nama-Nya sendiri, dan mengawali sabda tersebut dengan kewibawaan Ilahi yang diawali dengan kata Amin. Meskipun Yesus membaca Kitab Taurat dan Kitab Nabi-nabi dalam bahasa Ibrani, tetapi Dia mengajar murid-murid-Nya dalam bahasa Aram, Ketika sabda-sabda-Nya dicatat para rasul dalam bahasa Yunani koine, ungkapan Amen yang mengawali sabda-sabda-Nya itu tetap dipertahankan: "Amen, Amen lego hemin". Sabda Yesus ini pasti aslinya diucapkan dalam bahasa Aram, seperti yang direkonstruksikan teks Peshitta: "Amin, Amin amar Ana lehon". Artinya: "Sesungguhnya Aku berkata kepadamu" (Yohanes 8:56) [43].



5.3. "... before Albraham come into being, I AM" (Yohanes 8:58)

    Kepada orang-orang Yahudi yang mendebat-Nya, Yesus bersabda: "Abraham bapamu bersuka cita bahwa ia akan melihat hari-Ku dan ia telah melihatnya dan ia bersuka cita" (Yohanes 8:56). Orang-orang Yahudi dalam beberapa tafsiran Taurat, benar-benar meyakini, - entah dengan cara bagaimana - pada waktu Abraham masib hidup sudah rnempunyai penglibatan ke depan mengenai sejarah Israel dan kedatangan Mesias. Kedatangan Sang Mesias itu, menggenapi janji Allah sendiri kepada Abraham "dan oIehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat" (Kejadian 12:3).

    Dengan ungkapan di atas, Yesus hendak menegaskan bahwa Ia sendirilah Mesias yang dijanjikan kepada Abraham. Ungkapan "ia akan melihat hari-Ku", menunjukkan bahwa Yesuslah yang akan menggenapi penglihatan Abraham dahulu. Selanjutnya, dengan kedatangan-Nya ke dunia, Abraham "telah melihatnya dan dla bersuka cita". Jadi, kini Abraham melibat Yesus dari Firdaus, dapat dipahami seperti perumpamaan mengenai Lazarus dau Abraham (Luk, 16:22-31). Orang-orang Yahudi sulit memaharni per.kataan Yesus, dan menyangka bahwa ''Aku''-nya Yesus itu terbatas dengan kemanusiaan-Nya di bumi yang terbatas: "Umur-Mu belum sampai lima puluh tahun dan Engkau telah melihat Abraham?" (Yohanes 8:57).

    Untuk itulah Yesus menegaskan eksistensi Ilahi-Nya sebagai Firman Allah: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku ada" (Yohanes 8:58). Penegasan Yesus itu dalam bahasa aslinya berbunyi: "Amen, Amen, lego hymin: Prin Abraham genesthai, Ego eimi". Sabda Yesus diawali dengan ungkapan: "Amen, amen Aku berkata kepadamu", yang menjelaskan posisi-Nya sebagai Firman Allah. Selanjutnya, ungkapan Ego eimi (I AM, "Aku ADA"), jelas mengacu kepada nama kekudusan Allah ketika menyatakan diri kepada Musa dalam Keluaran 3:14. Ungkapan Ibrani: Ehyeh asyer ehyeh (Aku Ada yang Aku Ada), diterjemahkan dalam Septuaginta (Perjanjian Lama Yunani): Ego eimi ho on. Artinya: "Akulah Dia Yang ADA" [44].

    Ungkapan Ehyeh asyer Ehyeh, menegaskan bahwa Allah itu adalah yang ada, yang sudah ada, dan yang akan datang (band. Wahyu 1:8), membuktikan keabadian Allah sendiri. Jadi, jelas bahwa sabda ini menegaskan pengakuan Yesus bahwa adalah "Firman yangpada mulanya bersama-sama dengan Allah", dan "Firman itu adalah Allah". Disini Yesus Kristus, sebagai Firman Allah, menuntut bahwa Dia tidak terbatas pada waktu (timeless). "Tidak pernah ada suatu waktu dimana Firman Allah itu pernah dijadikan (come into being), dan "tidak pernah ada suatu waktu dimana Dia tidak ada lagi" (not in being).



5.4. "Ego Eimi" - Terjemahan dari "Ani Hu" (Akulah Dia)

    Menurut argumentasi kaum anti-Trinitas, jawab Yesus dalam Yohanes 8:58 tersebut menjawab pertanyaan orang-orang Yahudi berkenaan dengan usia, dan bukan identitas. Bantahan seperti ini hanya "debat kusir", bukan argumentasi ilmiah sama-sekaJi. Mengapa? Sebab pertanyaan orang Yahudi "Usia-Mu belum limapuluh tahun", memang berkaitan dengan usia lamanya Yesus hidup, tetapi jawaban Yesus tidak sekedar mengemukakan praeksistensi-Nya "sebelum Abraham jadi", tapi kuncinya juga terletak pada sabda: Ego eimi ("Aku ADA").

    Selain Ego eimi (Akulab Dia) berkaitan dengan ungkapan Ego eimi ho on (Aku adalah Dia Yang ADA) dari Septuaginta dari Keluaran 3:14, ungkapan ini juga merupakan terjemahan Yunani dari firman TUHAN dalam Yesaya 43:10, yang dalam bahasa Ibrani: Ani Hu (Aku tetap DIA). Lebih jelasnya, demikian firman TUHAN dalam Yesaya 43:10 tersebut: " ... supaya kamu tahu, dan percaya kepada-Ku, dan mengerti bahwa Aku tetap DIA" (Ibrani: "le ma'an tad'u we taminu Ii we tavinu ki Ani Hu", dalam Septuaginta diterjemahkan: "hina gnote kai pisteusete kai sunete hoti Ego Eimi". Jadi, ungkapan Ego Eimi menjelaskan kesatuan Yesus sebagai Firman Allah dengan Wujud Allah dalam keabadian.


--------------------------------
    [43] Lih. Teks Peshitta, Loc. Cit. Band. Juga: Alqus Abu Faraj, Tafsir Al-Masyriq lnji Yuhanna (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 1991), hlm. 231- 237.

    [44] Teks Septuaginta (LXX) dalam tulisan ini dikutip dari John R. Kohlenberger III, Loc. Cit.
     
6. Sekte Unitarian Bukan Kristen Tauhid


6.1. Yesus bukan "suatu ilah" selain Allah Yang Maha Esa


    Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sama dengan Saksi-saksi Yehuwa, kaum Unitarian menerjemahkan akhir ayat Yohanes 1:1 kai ho theos en ho logos "... and the Word was a god" (NW). Jadi, dalam logika mereka, Yesus sebagai Firman bukanlah Allah, tetapi "suatu ilah". Jadi, Yesus adalah ilah kedua yang berbeda dengan Allah Yang Maha Esa, dan karena itu berada di luar Allah, atau tidak sehakikat dengan Allah dalam Dzat-Nya Yang Serba Esa.

    Selanjutnya, marilah kita masuk dalam kajian linguistik, khususnya ditinjau dari kasus pemakaian bahasa Arab di mana kata ilah, al-ilah dan Allah itu berasal. Karena kaum Unitarian di Indonesia mengaku diri "Kristen Tauhid", maka mau tidak mau kita akan masuk dalam dalam konteks hubungan Kristen-Islam. Dalam sub bahasan ini saya akau banyak mengutip Alkitab dalam bahasa Arab, dan sumber-sumber literatur Kristen Timur Tengah. Perlu ditegaskan, bahwa bahasa Arab kita tidak mungkin menyebut adanya suatu ilah lain selain Allah, tanpa mencederai keesaan-Nya. Sesuatu keyakinan yang lazim disebut syrik atau mempersekutukan Allah.

    Padahal, karena keawaman mereka dalam ilmu Tauhid, dengan terjemahan Yohanes 1:1 tersebut mereka bermaksud mempertahankan keesaan Allah dengan menurunkan derajat Firman Allah. Tetapi argumentasi itu, sebaliknya ibarat "senjata makan tuan". Sebab kalau Yesus, yang adalah Firman itu "suatu ilah", yang kedudukannya lebih rendah dari Allah, dan berada diluar Dzat-Nya, itu berarti ada lebih dari satu ilah, yaitu Allah dan "suatu ilah" yang bernama Firman. Justru karena alasan itu, dalam Konsili Nikea (325 M), Gereja yang kudus dan am mengutuk ajaran bidat Arius, yang tidak lain "nenek kakek spiritual" Unitarian dan Saksi-saksi Yehuwa.

    Allah dan Firman- Nya harus sama-sama kekal, sebab apabila Firman yang kekal itu berada diluar Dzat-Nya, maka keesaan Allah menjadi tidak jelas. Jadi, harus dikatakan bahwa Firman itu adalah Allah, sebab "tidak ada sesuatu yang ilahi di luar Allah". Allah adalah satu-satunya ilah, dan tidak mungkin mengatakan ada "suatu ilah" (a god) keeuali Allah. Itulah makna kalimat tauhid: "La ilaha illa llah": Artinya: "Tidak ada ilah selain Allah". Ungkapan ini ternyata juga dijumpai dalam 1 Korintus 8:4, Good News Arabic Bible. Dalam tata bahasa Arab, ungkapan: La ilah (Tidak ada ilah) adalah al-nafi, "negasi", atau penyangkalan, yang segera harus disusul dengan al-isbat, "konfirmasi", atau pengecualian: illa Allah (kecuali Allah).

    Sebagai Firman Allah, Yesus memang biasa disebut ilahiyya (bersifat Ilahi), tetapi itu tetap bukan "di luar Allah"[45]. Karena itu, menganggap Kristus sebagai "suatu ilah" selain Allah justru bertentangan dengan prinsip Tauhid: - Allahu wahidun, wa la ilaha siwahu. Artinya: "Allah itu Esa, dan tidak ada ilah selain Dia" (Markus 12:32, Good News Arabic Bible). Begitu juga, anggapan mereka bahwa Yesus "suatu ilah" yang diciptakan oleh Allah, bertentangan dengan penegasan Allah: Ana al-awwalu wa ana al-akhiru, wa la ilaha al-kauni ghairi. Artinya: "Akulah yang terdahulu, dan Akulah yang terkemudian, tidak ada ilah selain Aku" (Yesaya 44:6).

    Dalam Yesaya 43: 10, penegasan: "Sebelum Aku tidak ada ilah dibentuk (wa kana min qabli ilahun)", menunjukkan bahwa Allah bersifat qidam (terdahulu). Sedangkan ungkapan: "dan tidak ada ilah lagi sesudah-Ku" (wa lam yakun min ba'di), menutup rapat-rapat paham bahwa Yesus adalah "suatu ilah", "a god", "suatu allah", "bersifat ilahi", dan semua pandangan serupa yang membuat "sekutu ilahi" Allah, baik hal itu ada sebelum Allah, atau sesudah Allah, sebagaimana yang diyakini oleh kelompok Unitarian.


6.2. Firman itu "...suatu ilah": Sebuah Gelar Belaka?

    Sebaliknya, mereka berdalih bahwa istilah "suatu ilah" yang diterapkan bagi Yesus itu sebagai gelar belaka, sebab dalam Alkitab Perjanjian Lama tertulis: "Kamu adalah Ilah-ilah (antum alihatun), dan anak-anak Yang Maha Tinggi kamu sekalian" (Mazmur 82:6). Argumentasi inipun sangat dangkal, sebab kalau "suatu ilah" hanya diterapkan sebagai gelar, bagaimana mungkin seorang ciptaan dikaitkan dengan karya Allah dalam menciptakan segala sesuatu? Bagaimana pula Allah bergantung ciptaan-Nya, yang membantu-Nya dalam penciptaan?

    Pandangan ganjil ini, jelas-jelas sebuah bentuk kemusyrikan (politeisme) di abad modern ini. "Akulah TUHAN", tantang Allah kepada mereka yang mempersekutukan-Nya, "yang telah menjadikan segala sesuatu, yang seorang diri membentangkan langit, yang menghamparkan bumi, siapakah yang mendampingi Aku?" (Yesaya 44:24). Sekali lagi, TUHAN "seorang diri membentangkan Iangit, dan menghamparkan bumi", tanpa sekutu, tanpa teman, tanpa pedamping, semulia apapun pendamping itu, tidak terkecuali apa mereka sebut sebagai "Juru Bicara Allah".

    Harus ditekankan, baik Perjanjian Lama (Taurat dan Kitab Nabi-nabi), maupun Perjanjian Baru (Injil dan surat-surat rasuli), mengatakan dengan tegas bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan Firman dan Roh-Nya (Kejadian 1:1-3; Mazmur 33:6; Yohanes 1:1-3; 15:26; 1 Korintus 2:10-11; 8:4-6; Kolose 1:15-17) [46]. Karena Allah itu Maha Esa, maka Firman dan Roh Allah itu tidak boleh dipahami berada di luar Dzat-Nya. Memang, Firman dan Roh adalah "Allah sendiri", daJam makna azali tidak berpermulaan, dan qadim kekal tidak berkesudahan dalam Dzat-Nya (ilahan wa 'azaliyatan wa qadimatan fi al-dzat) [47].

    Merujuk Yohanes 1:14 bahwa Finnan itu telah menjadi manusia, Konsili Nikea merumuskan bahwa Firman Allah yang homoousios "satu dan sehakikat dengan Sang Bapa dalam Dzat-Nya" (teks Arab: wahid ma'a al-Abi fi al-Dzat) itu, "telah menjadi manusia" (wa shara insanan). Konsili Konstantinopel (381 M), selanjutnya mempertegas dalam rumusan: "dan telah turun dari surga dan menjelma oleh kuasa Roh Kudus, dan dari Perawan Maryam dan menjadi Manusia" (teks Arab: nazala min as-sama'i wa tajjasada bi ar-ruh al-quddus wa min maryam al-adzra'i wa shara insanan)[48].

    Karena hubungan antara keilahian Yesus sebagai Firman Allah dan wujud nuzul-Nya sebagai Putra Maryam itu sedemikian rupa "tidak bercampur, tidak berubah", tetapi juga "tidak terbagi, tidak terpisah", maka kesatuan antara keduanya tidak membaurkan kemanusiaan dengan keilahian-Nya. Karena itu, nuzuInya Firman menjadi Manusia, "sama sekali tidak memisahkan Firman dari Allah", dan tidak pula "Allah turut mati karena kematian kemanusiaan-Nya" (1 Petrus 3:18).

    Penjabaran seperti ini tidak sulit dipahami kalau kita menggunakan "Iogika metafisika", bukan dengan "logika matematika". Masalahnya, kaum Unitarian memahami Tritunggal dengan "logika kaum primitif" (yang tidak bisa membedakan "satu Allah" (secara metafisik) dengan kesatuan bilangan: "satu batu", "satu bakpao", "satu pohon" (secara nurnerik), sehingga mereka membayangkan Tritunggal sebagai "Monster Berkepala Tiga". Padahal sebaliknya, justru berdasarkan argumentasi untuk mempertahankan keesaan Allah itu, konsili ekumenis (al-majma' al-maskuniyyat) di Nikea menjatuhkan anathema terhadap ajaran bidat Arius. Anathema tersebut kira-kira berbunyi, bahwa Gereja yang satu, kudus, katolik (am) dan rasuli, menyatakan sesat kepada mereka yang mengajarkan bahwa: "pernah ada waktu dimana Firman Allah pernah tidak ada" (kana waqtun lam yakun fihi), "sebelum dilahirkan Sang Putra tidak ada" (qabla 'an yulada lam yakun), dan "Firman itu ciptaan" (innahu makhluqun), karena "Firman telah diciptakan dari tidak ada" (qad khuliqa milt al-'adam)[49].

    Karena ajaran Rasuli ini akan sulit dipahami oleh "logika bakpao" kaum Unitarian dan Saksi-saksi Yehuwa, disini akan dijelaskan dalam bahasa yang sesederhana mungkin, Logika bapa-bapa gereja dalam konsili Nikea pada waktu itu kira-kira sebagai berikut: Kalau Yesus sebagai Firman Allah yang kekal (bukan dalam kemanusiaan-Nya) "pernah tidak ada", padahal Allah menciptakan segala sesuatu dengan Firman-Nya" (Mazmur 33:6). Itu berarti TUHAN bukanlah Allah Yang Maha Sempurna. Mengapa? Karena ada suatu waktu dimana Allah pernah ada tanpa Firman-Nya. Allah pernah tidak memiliki Firman? Allah semacam apakah ini? Selanjutnya, kalau Firman Allah itu sekedar ciptaan belaka, padahal Allah menciptakan dengan Firman-Nya, lalu patut dipertanyakan secara kritis: "Lalu dengan Firman mana lagi Allah menciptakan "firman"-Nya sendiri?


6.3. "Creatio ex Nihilo" atau "Emanasi" dari Dzat Allah?

    Sebagaimana sudah dikemukakan, berbicara mengenai Logos, dan untuk memahami apa yang dikehendaki oleh Yohanes dalam InjiInya, memang harus sangat hati-hati. Mengapa? Karena penulis Injil keempat itu - demi alasan kontekstualisasi - meminjam istilah Yunani yang sangat sarat dengan makna Neo-Platonis, meskipun tujuannya justru menghantam alam pikiran Yunani itu. Jadi, Rasul Yohanes hanya "meminjam istilah", yang sebelumnya sudah muncul di Septuaginta, lalu mengisinya dengan konsep Ibrani pra-Kristen mengenai Firman atau Sabda Allah (Ibrani: Davar; Aramaik: Memra).

    Harus dicatat, perbedaan konsep antara Logos Neo-Platonis dengan Memra atau Davar Ibrani sangat berbeda jauh. Perbedaan ini sangat berpengaruh dalam pandangan kedua alam pikiran tersebut mengenai terjadinya dunia, Dalam alam pikiran Alkitab jelas bahwa dunia ini dieiptakan oleh Allah dengan FirmanNya "dari tidak ada menjadi ada" (Creatio ex Nihilo), Alkitab membedakan seeara mutlak antara Allah sebagai Sang Pencipta (al-Khaliq) dan alam semesta sebagai Ciptaan-Nya (makhluq), Antara keduanya tidak ada persamaan daIam zat, Alam semesta adalah "ciptaan yang diawali oleh waktu", dan Allah adalah Sang Pencipta, yang tidak diawali dan tidak diakhiri oleh waktu. Semua ciptaan terjadi dengan Firman Allah: "Hendaklah ada Terang, maka Terang itu ada" (Kejadian 1:3).

    Sebaliknya, dalam alam pikiran Neo-Platonisme segenap jagat raya ini mengaIir dari to Hen (yang Esa). "Yang Esa" ini juga bukan Pribadi, tetapi sebuah realitas tanpa gerak, tanpa kehendak, lalu mengalir dari Yang Esa itu semua realitas lain. Karena itu, tidak dikenal konsep penciptaan "dari tidak ada menjadi ada", yang ada emanasi (pengaliran) "dari keberadaan tunggal kepada keberadaan-keberadaan lain yang banyak". Dunia ini ibarat sarang laba-laba yang mengalir dari air liur laba-laba itu sendiri. Laba-Iaba itu "to Hen" (yang Esa), dan "sarang laba-Iaba" itu "kosmos" (alam semesta). Singkat kata, alam semesta ini satu zat dengan "Yang Esa". Alam semesta ini bukan ciptaan Allah, tetapi pancaran-pancaran dari "Yang Esa". Panearan pertama disebut Logos, yang darinya lalu mengalir menjadi wujud-wujud lainnya di jagat raya ini.

    Nah, kembali ke konsep penciptaan. Dalam Alkitab kata Ibrani bara ("menciptakan") hanya diterapkan bagi TUHAN. Makna kata ini adalah menciptakan sesuatu "dari tidak ada menjadi ada". "Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi" - Ibrani: בְּרֵאשִׁית בָּרָא אֱלֹהִים אֵת הַשָּׁמַיִם וְאֵת הָאָרֶץ - Bereshit bara Elohim et hasyamayim we'et ha'arets (Kejadian 1:1). Sebaliknya, untuk menjadikan dari bahan yang sudah ada digunakan kata Ibrani 'asah. Makna kata 'asah. adalah "menjadikan dari bahan yang sudah ada dan membuatnya menjadi suatu yang lain". Misalnya, manusia "menjadikan meja dan kursi dari kayu jati", atau "membuat sambaI pedas dari cabai merah".

    Perlu dicatat pula, bahwa dalam bahasa aslinya, Kejadian 1:3 berbunyi: וַיֹּאמֶר אֱלֹהִים יְהִי אֹור וַיְהִי־אֹור - [b]Wayomer Elohim: Yehi or wayehi or[/b]. - Dan berfirmanlah Allah:
    "Jadilah terang!", laIu Terang itu jadi". Kata perintah "Jadilah!" - yehi, mempunyai akar kata yang sama dengan nama ilahi YHWH, yaitu HYH - artinya "ada". Bandingkan juga: "Lo yihye leka..." - "Jangan ada padamu ... " (Keluaran 20:3). Jadi, aktivitas penciptaan adalah hak Allah semata-mata, karena tidak seorang makhlukpun dapat menciptakan, dalam makna "men-ada-kan", atau "membuat ada, yang sebelumnya tidak ada". Jadi, sesuatu yang tidak mungkin dilaksakan oleh seorang ciptaan, semulia apapun ciptaan itu.

    Lebih jelasnya, dalam konteks pemikiran alkitabiah Sang Pencipta haruslah "tidak diawali oleh waktu", padahal Yesus Kristus itu mempunyai permulaan. "Ada suatu waktu dimana Anak Allah pernah tidak ada", kata Arius, yang ajarannya diwarisi kaum Unitarian. Pertanyaan kritis bisa dimajukan disini, "Bagaimanakah mungkin Yesus Kristus - bersama-sama Allah - dikatakan "menciptakan", atau "menjadi pengantara dalam penciptaan", padahal menciptakan adalah "meng-ada-kan sesuatu dari tidak ada menjadi ada", sedangkan sebagai seorang eiptaan Yesus Kristus sendiri diawali oleh waktu? Tidak dapat diterima aksl sehat, seorang ciptaan yang "pernah tidak ada" dapat menciptakan segala sesuatu dari "tidak ada".

    Jadi, seorang ciptaan belaka bagaimana pun juga, tidak akan mampu mencipta, tidak pula berperan membantu dalam penciptaan. Namun kaurn Unitarian mungkin saja bertanya, apakah tidak muugkin kedua konsep mengenai terjadinya dunia itu didamaikan? Philo, seorang filosof Yahudi dari Alexandria, pernah mengusahakan perkawinan dun konsep yang saling kontradiktif tersebut. Menurutnya, Logos adalah "makhluk yang tertua", dan in adalah alat yang dipakai oleh Allah untuk menciptakan dunia dan seluruh isinya ini.

    Bagi Philo, Allah sebagai pengendali jagat raya, memegang Logos, laksana "seorang pembajak sawah". Logos adalah perantara antara theos (Allah) dan kosmos (alam semesta), dan juga sebagai imam yang membawa jiwa-jiwa kepada-Nya. Sejarah mencatat, Philo gagal mendamaikan kedua konsep tersebut. Sistem pemikiran filsafatnya tidak bisa menjawab, bagaimana pada suatu pihak Allah "menciptakan dari tidak ada menjadi ada", tetapi pada pihak lain melibatkan seorang "demiurgos" (sang arsitek)[50] - menurut istilah Plato - yang juga seorang makhluk dan memiliki wujud yang sama dengan yang hendak diciptakannya.

    Jadi, hanya ada 2 pilihan bagi kaum Unitarian dan Saksi-saksi Yehuwa. Kalau mereka bersikukuh bahwa Logos itu hanya "seorang ciptaan", tetapi menyebabkan terjadinya "segala ciptaan lain (Kolose 1:16-17, NW), maka paham penciptaan "creatio ex nihilo" harus ditolak. Sebagai gantinya, mereka harus menerima "ajaran emanasi", yaitu bahwa dunia mengalir (Jawa: "ndlewer") dari Allah. Dari Allah mengalir menjadi Logos, selanjutnya dari Logos menjadi "all of (other) things". Sebaliknya, kalau mereka menerima ajaran "Creatio ex Nihilo", mereka harus mengakui bahwa Logos (Firman) itu adalah Allah sendiri (Yohanes 1:1- 3; Kolose 1:15-17; 1 Korintus 8:4-6). Hanya dengan mengatakan bahwa Firman "tidak tercipta" (ghayr al-makhluq), maka Firman Allah itu dapat menciptakan segala yang kumelip di jagat raya ini "dari tidak ada menjadi ada".




---------------------------
    [45] 'Abd al-Masih Basith Abu al-Khair, Op. Cit., hlm. 173.

    [46] Anthoni M. Coniarls, AI-Urthuduksiyya: Qanun al-Iman Ii Kulli al-'Ushur. Allh Bahasa: Athanasius al-Bani (Cairo: Dar Yusif Kamal Ii al- Thaba'ah, 2005), hlm. 77-82.

    [47] Ibid.

    [48] Isodorus al-Baramus (ed.), AI-Agbeya: Shalawat al-Sa'at wa Ruh al-Tadhra'at (Subhra, Cairo: Maktabah Mar Girgis Svalkulani, 1993), hlm. 79-80.

    [49] Maurice Yuqarin, Tarikh AI-Kaisah. Juz II: AI-Majami' AI-Maskuniyyat al-Awwal wa al-Ghazawat AI-Kubra (Ma'adi, Cairo: Mansyurat AI-Ma'had, 1966), hlm. 15.

    [50] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani Dari Thales Hingga Aristoteles (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm 140.



Image
Targum Onqelos bahasa Aramaik yang memuat Kejadian 33. Dalam tafsir Yahudi pra-kristen Ini sejauh Allah menyatakan diri disebut Memra (Firman).

Image
• Surat Ignatius (30·107), salah seorang dari murid rasul-rasul di Antiokhia, yang menegaskan keilahian Kristus dan tabiat lIahi-lnsani-Nya, membuktikan bahwa ajaran ini bukan baru muncul pada Konsili Nikea tahun 325.


======================
*) Makalah disajikan dalam "Forum Kajian Injil" Institute for Syriac Christian Studies (ISCS), di Gedung Keuskupan, Jl. W.R. Supratman No.4, Surabaya, 11 Maret 2008. 

No comments: